AS-China Bakal 'Kopdar' Minggu Ini, akan ada Kejutan Nggak?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
13 August 2020 18:25
Infografis: Ini Daftar
Foto: Ilustrasi Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah hampir tujuh bulan berlalu dari tanggal 15 Januari 2020 yang menjadi momen bersejarah ketika Washington dan Beijing menandatangani kesepakatan dagang fase I. Kini sudah saatnya kedua belah pihak untuk meninjau kembali kesepakatan yang telah diteken.

Peninjauan (review) periode enam bulan kesepakatan dagang AS-China dikabarkan bakal digelar pada 15 Agustus nanti. Dari AS diwakili oleh penasihat dagangnya yaitu Robert Lightizer sementara dari China diwakili oleh Wakil Perdana Menterinya Liu He.

Pertemuan bilateral rencananya akan diselenggarakan melalui konferensi video. Sekedar mengingatkan, poin yang bakal menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut adalah progress China dalam membeli berbagai produk AS mulai dari pertanian, manufaktur hingga energi senilai US$ 200 miliar selama tahun 2020 dan 2021 selain pembeliannya pada tahun 2017.

Hanya saja progress yang dicatatkan China masih terbilang minim karena capaiannya baru 23% saja untuk target tahun ini. Mau bagaimana lagi, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah mengacaukan segalanya.

Lagipula sejak awal kesepakatan dagang tersebut diteken, banyak pihak yang menilai perjanjian tersebut sangatlah tidak realistis.

Apabila mengacu pada butir-butir perjanjian yang sudah ditandatangani, China harus memenuhi komitmennya dengan membeli produk manufaktur,pertanian dan energi asal AS senilai US$ 63,9 miliar serta $ 12,8 miliar lebih banyak layanan dibandingkan dengan level 2017 pada tahun ini.

Sementara untuk tahun depan, China ditargetkan untuk membeli barang senilai US$ 98,2 miliar dari tiga kategori tersebut dan US$ 25,1 miliar layanan dari AS di atas level 2017.

Sebagai acuan, data perdagangan resmi China dan AS akan digunakan untuk menentukan apakah target terpenuhi, kata perjanjian itu. Kendati mengacu pada hal yang sama, statistik ekspor AS ke China sering kali tidak mencerminkan impor China dari AS.

Hal itu sebagian disebabkan oleh metode dan standar pengumpulan data yang berbeda di kedua negara.

Menurut Peterson Institute for International Economics (PIIE), China harus membeli total sebanyak US$ 142,7 miliar barang Amerika pada akhir tahun ini, jika diukur menggunakan data ekspor AS.

Menggunakan data impor resmi China, pembelian produk-produk tersebut oleh Beijing tahun ini seharusnya berjumlah US$ 172,7 miliar, kata lembaga think tank tersebut.

Namun pada paruh pertama tahun 2020, China membeli kurang dari seperempat dari jumlah produk AS setahun penuh yang ditargetkan berdasarkan kedua set statistik, data yang dikumpulkan oleh PIIE.

Data tersebut tidak termasuk pembelian China atas layanan AS karena itu tidak dilaporkan setiap bulan, tulis lembaga think tank tersebut dalam website resminya.

Apabila menggunakan dua set data dari kedua belah pihak, dari tiga kategori barang-barang AS yang harus dibeli China, komoditas energilah yang paling minim mencatatkan progress.

Merespons fakta ini, pihak dari Gedung Putih pun memberikan komentar. Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany mengatakan, "Kami mendorong China untuk memenuhi kewajiban mereka dalam kesepakatan fase satu", sebagaimana dilaporkan Bloomberg.

Presiden Donald Trump telah berulang kali mengatakan dalam beberapa pekan terakhir bahwa kesepakatan itu tidak sepenting sebelumnya akibat tudingannya terhadap peran China dalam penyebaran virus corona.

"Setelah ini terjadi, saya tidak merasakan hal yang sama tentang kesepakatan itu," kata Trump saat diwawancara Fox Business, Selasa pekan lalu.

Beijing memang tak sepenuhnya melaksanakan komitmennya terutama untuk pembelian pada produk pertanian dan energi AS. Namun, Lighthizer mengatakan pada bulan Juni bahwa China tersebut telah melakukan kemajuan struktural yang baik dan memuji pembelian yang signifikan selama beberapa minggu terakhir di bulan Juni.

Meskipun Beijing terlambat memenuhi kewajibannya, penasihat ekonomi utama Presiden AS Donald Trump Larry Kudlow mengatakan pada Selasa kemarin bahwa pembelian barang-barang Amerika oleh China berada di "angka yang sangat bagus," mengutip Reuters.

Kudlow juga membantah bahwa kesepakatan perdagangan fase satu akan dibatalkan mengingat memburuknya hubungan AS-China baru-baru ini, menurut laporan tersebut.

Hubungan AS dan China telah memburuk secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir, karena kedua belah pihak saling berselisih mengenai masalah yang lebih luas termasuk dari mana virus corona pertama kali berasal, serta otonomi Hong Kong hingga kebebasan melakukan navigasi di Laut China Selatan.

Pengamat lain juga mengatakan AS tidak berkepentingan untuk memperbarui pertarungan tarif dengan China mengingat ekonominya yang terpukul.

"Kami benar-benar berpikir bahwa mereka cenderung menahan diri dalam tindakan apa pun di bidang perdagangan," kata Kelvin Tay, kepala investasi regional di UBS Global Wealth Management, kepada "Street Signs Asia" CNBC pada hari Rabu.

"Jangan lupa bahwa jika Anda menaikkan tarif lebih jauh dari sini, dampaknya terhadap ekonomi AS mungkin akan lebih buruk daripada ... pengaruhnya kepada ekonomi China karena ekonomi China seperti yang Anda lihat di kuartal kedua sebenarnya sudah pulih cukup baik," tambahnya.

Scott Kennedy, seorang ahli China di CSIS di Washington, mengatakan kepada Bloomberg Television minggu ini bahwa "sungguh menakjubkan bahwa meskipun ada badai yang sedang mendera hubungan AS-China, baik Trump maupun Xi Jinping tak ada yang benar-benar ingin membuang kesepakatan tersebut."

"Untuk Trump, singkatnya, ini tentang petani - penjualan yang dapat mereka lakukan untuk negara bagian yang merah [basis Partai Republikan] dalam pemilu ini," kata Kennedy.

Untuk Presiden China Xi, "ini tentang stabilitas dan menjaga hubungan agar tidak sepenuhnya runtuh," lanjut Kennedy, mengutip pemberitaan Bloomberg.

China sedang berusaha untuk meredakan konfrontasi yang tidak dapat diprediksi dengan AS yang membuat beberapa raksasa teknologinya menjadi sasaran amukan Trump.

Seperti diketahui bersama bahwa Trump bakal melarang TikTok di AS kecuali anak perusahaan ByteDance Ltd tersebut menemukan pembeli dari AS sebelum 15 September nanti. Trump juga melarang transaksi dengan aplikasi WeChat dari Tencent Holdings Ltd. di AS..

AS berpendapat bahwa aplikasi China yang mengumpulkan informasi tentang warga AS yang bisa menimbulkan risiko keamanan nasional yang serius karena datanya bakal digunakan oleh pemerintah China.

Well sampai saat ini memang belum terlihat bakal seperti apa hasil dari review yang akan diselenggarakan pada minggu ini tersebut. Namun, satu hal yang jelas baik Trump dan Xi kemungkinan besar tak akan bertindak gegabah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Trump Ingin Robohkan Kekuatan Manufaktur China, Mampukah?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular