
Rumit & Penuh Drama, Begini Hubungan AS-China

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan antara dua raksasa ekonomi global Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas. Eskalasi tensi geopolitik terus terjadi di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang tak kunjung mereda.
Konflik terbaru antara kedua belah pihak dipicu oleh AS yang menginstruksikan penutupan konsulat China di Houston pekan lalu tepatnya pada Selasa (21/7/2020). Langkah tersebut diambil pemerintah AS dengan dalih China telah melakukan spionase dan pencurian kekayaan intelektual Negeri Paman Sam.
Mengutip laporan BBC, instruksi tersebut datang setelah beredar video orang tak dikenal terekam sedang membakar sebuah dokumen di konsulat China yang berlokasi di Houston.
"Hari ini, China menjadi otoritarian di negaranya dan semakin agresif dalam memusuhi kebebasan di negara lain" kata Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo. "Dunia yang bebas harus menang melawan tirani ini" tambahnya, sebagaimana dilaporkan BBC.
Aksi sepihak itu jelas memancing kemarahan China. Dalam sebuah konferensi, juru bicara kementerian China, Wang Wenbin menuding langkah AS yang menutup konsulat China di Houston tersebut dianggap sebagai 'gado-gado kebohongan anti-China'.
Lebih lanjut, Wenbin juga mengatakan bahwa penyataan Mike Pompeo dipenuhi dengan bias ideologi serta mentalitas perang dingin. Sebagai aksi balasan, China akhirnya menginstruksikan penutupan konsulat AS di Chengdu pada akhir pekan lalu, Jumat (24/7/2020).
Chengdu sendiri merupakan daerah dengan perkembangan pesat di sektor industri dan jasa yang ada di China. Wilayah ini dipandang memiliki nilai strategis bagi AS karena memberikan peluang bagi Negeri Adikuasa untuk mengekspor produk agrikultur, mobil serta permesinan miliknya.
Mengutip China Global Television Network (CGTN), Kementerian Luar Negeri China hari ini mengkonfirmasi Konsulat Jenderal AS di Chengdu, ibu kota provinsi barat daya Sichuan, ditutup pada pukul 10:00 pagi (waktu Beijing). Pemerintah China telah memasuki gedung dan mengambil alih konsulat yang sekarang ditutup.
Hubungan AS-China memang mulai tak akur sejak Presiden ke-45 AS Donald Trump menjabat. Trump menuding Negeri Tirai Bambu telah melakukan praktik dagang yang jauh dari kata 'fairness'. Akibatnya AS harus menanggung defisit neraca dagang yang terus membengkak selama puluhan tahun.
Sejak 1985-2019, AS terus tekor berdagang dengan China. Pada 2018, defisit neraca dagang AS dengan China mencapai nyaris US$ 419 miliar.
China juga dituding sebagai negara yang melakukan manipulasi terhadap mata uangnya. Yuan (renmimbi) dinilai dibiarkan terdepresiasi terus menerus di hadapan dolar AS sehingga barang-barang China yang berbasis industri manufaktur menjadi jauh lebih murah di pasaran.
Anggapan praktik dagang yang tidak fair juga dibumbuhi dengan berbagai tudingan lain seperti pencurian hak atas kekayaan intelektual AS terutama di sektor teknologi.
Pada 2018 Trump resmi menabuh genderang perang dagang dengan China melalui penerapan bea masuk terhadap barang impor asal China yang bernilai ratusan miliar dolar. China mulai melakukan retaliasi dengan menerapkan bea masuk impor serupa pada 2019.
Bagaimanapun juga fenomena menaikkan bea masuk terhadap produk impor dari suatu negara menjadi suatu kemunduran dari globalisasi yang dalam tiga dekade terakhir ditandai dengan perdagangan bebas (free trade).
Kenaikan bea masuk barang impor telah melukai ekonomi kedua belah pihak. Konsumen di AS yang bergantung pada barang-barang murah made in China merasakan dampaknya. Petani AS pun ikut merasakan getahnya.
Perang dagang antara keduanya telah membuat ekonomi global mengalami perdagangan. Volume perdagangan mengalami perlambatan yang signifikan akibat kisruh dagang duo raksasa ekonomi global.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat volume perdagangan barang pada 2019 hanya tumbuh 1,2%. Jauh lebih rendah dari perkiraan bulan April di 2,6%.
Pertumbuhan ekonomi pun melambat. Bank Dunia menyebutkan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh 2,5% tahun lalu. Padahal ketika 2018 PDB global masih mampu tumbuh di angka 3,1%.
Melihat kondisi ekonomi yang bergejolak dan juga membebani kedua belah pihak, Washington-Beijing pun mencoba akur. Keduanya mulai mau berunding.
Harapan keduanya rujuk pun sempat bersemi. Apalagi ketika kedua belah pihak akhirnya menandatangani kesepakatan dagang fase 1 pada pertengahan Januari tahun ini. Hanya saja poin yang disasar dalam kesepakatan itu tidaklah substansial.
AS tak benar-benar mencabut semua tarif yang dikenakan. Negeri Adikuasa hanya memotong tarif dari 15% menjadi 7,5% untuk barang impor dari China senilai US$ 120 miliar mulai September. Sementara untuk barang senilai US$ 250 miliar masih dikenakan tarif sebesar 25%.
Beralih ke China, Negeri Panda sepakat untuk membeli barang dari AS senilai US$ 200 miliar dalam dua tahun ke depan. Kesepakatan ini dinilai tidaklah rasional. S&P memperkirakan China harus menaikkan impornya sebesar 6% per bulan untuk memenuhi kesepakatan tersebut.
Kendati tak ada yang substansial, Washington dan Beijing akan terus berupaya untuk mencapai kesepakatan yang benar-benar menyasar permasalahan utama.