
Trump Ingin Robohkan Kekuatan Manufaktur China, Mampukah?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 May 2020 16:37

Sebelum masuk ke persoalan mampu atau tidak mampu mari ulas terlebih dahulu peran China dalam sektor manufaktur global. Menurut catatan divisi statistik PBB, kontribusi China terhadap output manufaktur global mencapai 28,4%. Lebih dari separuh keluaran (output) manufaktur dunia dihasilkan China.
Bahkan China sudah menyalip AS sebagai negara dengan output manufaktur terbesar dunia sejak 2010. Tepat di tahun yang sama, China juga menyalip Jepang dan resmi menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia menguntit AS.
Harus diakui, China memang unggul dari sisi manufaktur. Berbagai produk dengan label 'made in China' memang membanjiri pasar global mulai dari mainan anak-anak, hingga alat-alat elektronik canggih.
Produk-produk unggulan China lain meliputi baju di mana saat ini China memiliki lebih dari 100 ribu garmen, perangkat otomotif hingga furnitur. Jadi wajar saja kalau China dijuluki sebagai 'Pabriknya Dunia".
Terbaru yang bikin AS gusar, pada 2025 China mengumumkan visinya untuk menjadi pemain dunia dalam industri strategis, dengan menjadi pemimpin dunia dalam produk unggulan berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Nah sekarang mulai muncul pertanyaan baru, kenapa China bisa sehebat itu di sektor manufaktur? Apa resepnya?
Pertama, China merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia. Pada 2018 saja total penduduk di China sudah mencapai 1,39 miliar orang. Dengan banyaknya orang artinya suplai tenaga kerja, dan secara bersamaan: pasar, yang melimpah.
Per 2017 saja, warga China yang bekerja di sektor manufaktur jumlahnya mencapai 129 juta orang atau hampir 17% dari total populasi China. Jadi untuk membangun pabrik di China akses untuk tenaga kerja bukan jadi masalah.
Kedua, ongkos produksi yang relatif rendah. Mengapa bisa demikian? Karena biaya untuk man, machine dan materials di China juga rendah. Murahnya tenaga kerja, ekosistem bisnis yang well established dari hulu ke hilir, kebijakan industri yang terkoordinir dari pusat, dan perizinan yang efektif menjadi kunci di balik capaian itu.
China juga tidak abai pada infrastruktur, sehingga menjadi destinasi yang menarik bagi pelaku usaha dunia untuk membangun pabrik yang murah, aman, efisien, dan stabil. Tak sedikit perusahaan-perusahaan teknologi AS yang membangun pabrik di China, sebut saja Apple dan Tesla.
Ketiga, mata uang China yang cenderung terus terdepresiasi. Pelemahan mata uang Yuan ini sempat membuat Trump melabeli China sebagai manipulator mata uang. Dengan nilai tukar yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS, harga barang-barang China pun menjadi lebih murah di pasar dunia sehingga lebih kompetitif.
Namun di tengah situasi pandemi, ketergantungan terhadap China telah membuat pengusaha mulai berpikir untuk merelokasi pabriknya. Di sisi lain, biaya pekerja China juga terus naik tiap tahunnya dan tak murah lagi. Menurut survei Euromonitor, pada 2017 gaji pekerja China per jamnya sudah mencapai US$ 3,6 atau naik 64% dibanding tahun 2011.
Trump ingin memanfaatkan momentum ini Trump untuk merongrong kekuatan China. Saat perang dagang berkecamuk, banyak yang merelokasi pabrik ke Bangladesh hingga Asia Tenggara seperti Vietnam.
Namun, mencari "the new China" tidak lah mudah. Beberapa negara yang mungkin bisa menjadi kandidat manufaktur global adalah India, Meksiko, Brazil hingga negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam maupun Indonesia.
India yang paling mendekati China dari sisi populasi pun masih belum memiliki logistik dan infrastruktur yang memadai seperti China. Padahal aspek ini sangat penting dalam sektor manufaktur. Demikian juga negara-negara yang lain tersebut.
Berdasarkan realitas tersebut, besar kemungkinan Trump hanya membidik perusahaan AS untuk minggat dari China. Trump pun menggodok berbagai strategi, termasuk merogoh kocek untuk memberikan insentif yang cukup agar korporasi AS mau mengikuti kemauan politisnya ini.
Efektifkah itu? Kita lihat saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/sef)
Bahkan China sudah menyalip AS sebagai negara dengan output manufaktur terbesar dunia sejak 2010. Tepat di tahun yang sama, China juga menyalip Jepang dan resmi menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia menguntit AS.
Produk-produk unggulan China lain meliputi baju di mana saat ini China memiliki lebih dari 100 ribu garmen, perangkat otomotif hingga furnitur. Jadi wajar saja kalau China dijuluki sebagai 'Pabriknya Dunia".
Terbaru yang bikin AS gusar, pada 2025 China mengumumkan visinya untuk menjadi pemain dunia dalam industri strategis, dengan menjadi pemimpin dunia dalam produk unggulan berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Nah sekarang mulai muncul pertanyaan baru, kenapa China bisa sehebat itu di sektor manufaktur? Apa resepnya?
Pertama, China merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia. Pada 2018 saja total penduduk di China sudah mencapai 1,39 miliar orang. Dengan banyaknya orang artinya suplai tenaga kerja, dan secara bersamaan: pasar, yang melimpah.
Per 2017 saja, warga China yang bekerja di sektor manufaktur jumlahnya mencapai 129 juta orang atau hampir 17% dari total populasi China. Jadi untuk membangun pabrik di China akses untuk tenaga kerja bukan jadi masalah.
Kedua, ongkos produksi yang relatif rendah. Mengapa bisa demikian? Karena biaya untuk man, machine dan materials di China juga rendah. Murahnya tenaga kerja, ekosistem bisnis yang well established dari hulu ke hilir, kebijakan industri yang terkoordinir dari pusat, dan perizinan yang efektif menjadi kunci di balik capaian itu.
China juga tidak abai pada infrastruktur, sehingga menjadi destinasi yang menarik bagi pelaku usaha dunia untuk membangun pabrik yang murah, aman, efisien, dan stabil. Tak sedikit perusahaan-perusahaan teknologi AS yang membangun pabrik di China, sebut saja Apple dan Tesla.
Ketiga, mata uang China yang cenderung terus terdepresiasi. Pelemahan mata uang Yuan ini sempat membuat Trump melabeli China sebagai manipulator mata uang. Dengan nilai tukar yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS, harga barang-barang China pun menjadi lebih murah di pasar dunia sehingga lebih kompetitif.
Namun di tengah situasi pandemi, ketergantungan terhadap China telah membuat pengusaha mulai berpikir untuk merelokasi pabriknya. Di sisi lain, biaya pekerja China juga terus naik tiap tahunnya dan tak murah lagi. Menurut survei Euromonitor, pada 2017 gaji pekerja China per jamnya sudah mencapai US$ 3,6 atau naik 64% dibanding tahun 2011.
Trump ingin memanfaatkan momentum ini Trump untuk merongrong kekuatan China. Saat perang dagang berkecamuk, banyak yang merelokasi pabrik ke Bangladesh hingga Asia Tenggara seperti Vietnam.
Namun, mencari "the new China" tidak lah mudah. Beberapa negara yang mungkin bisa menjadi kandidat manufaktur global adalah India, Meksiko, Brazil hingga negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam maupun Indonesia.
India yang paling mendekati China dari sisi populasi pun masih belum memiliki logistik dan infrastruktur yang memadai seperti China. Padahal aspek ini sangat penting dalam sektor manufaktur. Demikian juga negara-negara yang lain tersebut.
Berdasarkan realitas tersebut, besar kemungkinan Trump hanya membidik perusahaan AS untuk minggat dari China. Trump pun menggodok berbagai strategi, termasuk merogoh kocek untuk memberikan insentif yang cukup agar korporasi AS mau mengikuti kemauan politisnya ini.
Efektifkah itu? Kita lihat saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/sef)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular