Dilema Lockdown: Buka, Tutup, Buka, Tutup, Pusing!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 April 2020 14:11
Wabah Virus Corona di New York (AP/Matt Rourke)
Foto: Wabah Virus Corona di New York (AP/Matt Rourke)
Di satu sisi, social distancing dan lockdown bertujuan mulia yaitu menyelamatkan hidup dan kehidupan. Namun di sisi lain, kebijakan ini membuat roda ekonomi tidak berputar.

Berbagai lembaga memperkirakan ekonomi dunia akan terperosok ke jurang resesi tahun ini. Bahkan sepertinya akan menjadi resesi yang lebih parah ketimbang krisis keuangan global 2008-2009, terparah sejak Depresi Besar pada 1930-an.


"Baru tiga bulan lalu kami memperkirakan ada pertumbuhan ekonomi di 160 negara anggota. Hari ini, angkanya berbalik. Sekarang kami memperkirakan akan ada pertumbuhan negatif," kata Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), seperti diberitakan Reuters.

IMF memperkirakan ekonomi global akan terkontraksi (tumbuh negatif) -3% pada 2020. Jika terwujud, maka akan menjadi pencapaian terburuk sejak Depresi Besar.

 

Dampak ekonomi yang mengkerut sudah dirasakan oleh berbagai negara. Social distancing dan lockdown membuat dunia usaha tidak berdaya, karena penjualan berkurang drastis. Di sisi lain, argometer biaya terus bergerak.

Situasi ini memaksa dunia usaha melakukan efisiensi. Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi fenomena yang tidak terhindarkan.


Di Amerika Serikat (AS), klaim tunjangan pengangguran sejak pertengahan Maret sudah mencapai lebih dari 26 juta. Artinya, kini hampir satu dari enam warga AS menggantungkan hidup dari uluran tangan pemerintah karena menjadi korban PHK sehingga tidak bisa mencari nafkah sendiri.

Situasi serupa terjadi di Inggris. Pada Maret, jumlah klaim tunjangan pengangguran bertambah 12.100 dari bulan sebelumnya.

Di Spanyol, kondisinya tidak lebih baik. Sejak pertengahan Maret, sekitar 900.000 orang kehilangan pekerjaan. Sementara 620.000 orang lainnya dirumahkan (furlough).

"Data ini luar biasa, sama sekali tidak terduga. Ini mencerminkan bagaimana gangguan aktivitas masyarakat begitu nyata," kata Jose Luis Escriva, Menteri Kesejahteraan Sosial Spanyol, sebagaimana diwartakan Reuters.

Sedangkan di Italia, situasi pun memburuk. Awalnya, warga masih bisa menghibur diri dengan bernyanyi di balkon apartemen saat mereka tidak bisa pergi ke mana-mana. Lockdown menjadi sesuatu yang romantis, menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang selama ini mati dibunuh oleh kesibukan rutinitas. 

Namun lambat laun tidak ada lagi suara nyanyian lagu Andra Tutto Bene (Semua Akan Baik-baik Saja) di balkon apartemen warga Italia. Romantisme lockdown berganti menjadi kekhawatiran, kira-kira besok bisa makan atau tidak ya...

"Sekarang orang-orang lebih takut kepada kemiskinan ketimbang dengan virus. Sudah banyak yang kehilangan pekerjaan dan kelaparan," tegas Salvatore Melluso, seorang romo di Caritas Diocesana di Naples, seperti dikutip dari Reuters.

"Gara-gara lockdown, restoran tempat saya bekerja ditutup. Saya punya istri dan dua anak. Sekarang kami hidup dari tabungan, tetapi saya tidak tahu bisa bertahan berapa lama. Saya sudah meminta bank untuk memberi keringanan penundaan cicilan, tetapi mereka bilang tidak. Situasi ini membuat kami bertekuk lutut," keluh Paride Ezzine, seorang pelayan restoran di Palermo, seperti diberitakan Reuters.



(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular