Andai Jokowi Putuskan Lockdown, Apa Dampaknya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 March 2020 12:37
Andai Jokowi Putuskan Lockdown, Apa Dampaknya?
Foto: Pembuatan Alat Pelindung Diri untuk Cegah Virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona benar-benar merepotkan. Gara-gara virus ini, dunia harus melakukan kebijakan ekstrem demi menyelamatkan nyawa.

Pada Senin (30/3/2020) pukul 10:50 WIB, jumlah pasien corona di seluruh dunia mencapai 722.435 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 33.997 orang meninggal dunia.




Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menetapkan penyebaran virus corona sebagai pandemi global. Penyebaran yang begitu cepat dan masif membuat dunia harus bergerak cepat.

"Peluang semakin hari menjadi semakin sempit, sehingga kita harus bergerak cepat sebelum peluang itu hilang. Penyebaran ini bisa bergerak ke arah mana saja. Kalau kita bertindak dengan benar, maka kita bisa menghindari krisis yang serius. Namun jika kita menyia-nyiakan kesempatan, maka kita akan berhadapan dengan masalah yang sangat serius," tegas Tedros Adhanom Ghebeyesus, Direktur Jenderal WHO, seperti dikutip dari Reuters.

Salah satu bentuk tindakan cepat yang dilakukan berbagai negara adalah membatasi aktivitas masyarakat untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona. Sebab interaksi antar manusia lah yang membuat virus corona menyebar dengan sangat cepat.


Caranya adalah dengan memberlakukan karantina wilayah alias lockdown, bisa parsial maupun total. Lockdown parsial adalah menutup akses masuk/keluar wilayah, sementara lockdown total adalah menambahkannya dengan larangan warga keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak. Dalam skema lockdown total, transportasi publik juga tidak boleh beroperasi.

Negara seperti India dan Filipina telah menerapkan kebijakan lockdown total. Sementara negara-negara lain memilih lockdown parsial, misalnya Australia dan Amerika Serikat (AS).



Sejauh ini Indonesia belum secara resmi menerapkan lockdown. Beberapa daerah punya inisiatif untuk melakukan lockdown parsial, tetapi pemerintah pusat masih memilih imbauan sosial/physical distancing untuk meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini.



Akan tetapi, pemerintah sepertinya mulai melunak dan mempertimbangkan untuk melakukan lockdown, setidaknya secara parsial. Kawasan dengan kasus corona tertinggi di Indonesia yaitu Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) rasanya akan segera menutup perbatasan agar tidak sembarang orang bisa keluar/masuk.

"(Kendaraan) pribadi juga termasuk. Pokoknya angkutan oranglah. Angkutan barang enggak (berlaku). Logistik tidak," ujar Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad Yani kepada CNBC Indonesia, Minggu (29/3/20).


Pembatasan aktivitas publik punya tujuan mulia yaitu menyelamatkan nyawa sehingga sangat layak menjadi prioritas. Namun dampaknya terhadap ekonomi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Ketika lockdown, sektor yang pertama merasakan dampaknya tentu pariwisata. Bagaimana tidak, pergerakan manusia untuk hal-hal tidak penting akan dibatasi dan tentu pelesiran adalah aktivitas pertama yang dikorbankan.

World Travel & Tourism Council mencatat pada 2018 sektor pariwisata menyumbang 6% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Ini sudah menggabungkan dampak langsung dan tidak langsung.

Jadi untuk 2020, sepertinya sulit berharap kepada sumbangan 6% ini. Tanpa sumbangan dari sektor pariwisata, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal.

Selain itu, sektor pariwisata juga menyumbang sekitar 10% dari penciptaan lapangan kerja. Ada sekira 13 juta orang mencari nafkah di sektor ini.

Saat 'lapak' sepi, tentu konsumsi dan daya beli orang-orang yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata akan menurun. Dampaknya akan terasa di di konsumsi rumah tangga, yang dari sisi pengeluaran menyumbang hampir 60% dari PDB Indonesia.




Sektor berikutnya yang bakal terpukul adalah otomotif. Saat pergerakan manusia terbatas, kebutuhan untuk membeli kendaraan bermotor tentu turun.

Padahal sektor ini sedang dirundung duka karena pertumbuhan penjualan yang cenderung melambat. Ditambah lockdown, tentu derita akan semakin parah.




Padahal otomotif adalah salah satu sektor yang menunjukkan arah perekonomian ke depan. Kala penjualan otomotif naik, berarti daya beli rumah tangga meningkat karena ada kelebihan penghasilan untuk membeli kebutuhan tersier. Jadi jika pertumbuhan penjualan otomotif turun, maka bisa ditebak bagaimana prospek ekonomi masa masa mendatang.

Namun ketika pemerintah memutuskan untuk menjalankan lockdown, maka pertimbangan utamanya adalah menyelamatkan nyawa. Pertimbangan ekonomi tentu menjadi prioritas nomor sekian. Memilih menyelamatkan nyawa tentu layak diperjuangkan, meski harus dibayar dengan harga mahal.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular