
Kacau! Lockdown India Picu Panic Buying & Kesenjangan Sosial
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
29 March 2020 17:00

New Delhi, CNBC Indonesia - Kebijakan totalĀ lockdown a la Perdana Menteri India Narendra Modi demi membendungĀ Covid-19 menuai gejolak di masyarakat. Masyarakat di ibu kota India New Delhi dan Mumbai, mulai berbondong-bondong berbelanja. Mereka mulai memenuhi toko hingga apotek lantaran kekhawatiran kekurangan pasokan, terutama bahan pokok.
Salah seorang penjual sayuran di Mumbai, Rafiq Ansari (35 tahun) mengaku kesulitan memperoleh sayur untuk dijual.
"Kita akan menghadapi kekurangan besar di hari-hari mendatang dan pada saat yang sama harga juga naik. Harga tomat naik lebih dari dua kali lipat," katanya kepada kantor berita AFP seperti dikutip cnbcindonesia.com, Minggu (29/3/2020).
Masih di Mumbai, salah satu mal terbesar, yaitu R-City Mall, sekarang kosong melompong. Ia hanya menjadi 'taman bermain' bagi kucing liar. Tidak jauh dari sana, pembangunan metro pun dihentikan.
Apartemen di kota-kota lain juga melarang pekerja paruh waktu atau pekerja harian dan supir untuk masuk. Meski imbauan social distancing terlihat bijaksana di berbagai negara, di India justru semakin menunjukan perbedaan kelas.
"Kebanyakan orang bereaksi karena ketakutan melarang migran, pekerja harian, dan mengusir mereka tanpa bayaran bulanan, dan menyalahkan mereka dalam penyebaran virus," kata Arpita Chatterjee, seorang editor lepas di New Delhi.
Menurut dia, virus ini justru dibawa oleh orang-orang yang bepergian dan migrasi di bandara. Merekalah yang membawa virus ini dan menularkan kepada masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan.
Larangan masuk di wilayah apartemen pun sepertinya hanya berlaku bagi pekerja harian. Ini karena terlihat teman dan kerabat dari pemilik masih bebas keluar masuk tanpa diperiksa atau mencuci tangan.
Di bawah jalan layang selatan New Delhi, masih ada keluarga yang kekurangan makan. Mereka hidup dari pekerjaan harian. Namun karena jalanan sudah sepi akibat lockdown mereka pun kehilangan pekerjaan.
"Karena penyakit ini kami tidak bisa bekerja, kami tidak bisa pulang, dan bagaimana kami harus hidup seperti ini," kata salah seorang warga.
Economic Times menulis masyarakat India masih mencoba memahami lockdown a la Modi. Lockdown juga menunjukkan ketidaksiapan India dalam mempersiapkan kebutuhan bagi jutaan pekerja yang diupah harian, menjaga pasokan barang pokok, dan pelayanan kepada masyarakat yang harus tinggal di rumah selama tiga pekan.
Hingga Sabtu (28/03/2020), India melaporkan 834 kasus positif Covid-19. Dari jumlah itu sebanyak 19 orang meninggal. Tetapi kekhawatiran masyarakatnya akan pandemi ini membuatnya jauh lebih berat.
Sebelumnya Modi memperingatkan bagi siapa pun yang nekat ke luar berarti sangat berisiko membawa virus corona ke dalam rumah mereka. Modi juga menjanjikan anggaran senilai US$ 2 miliar atau Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$) untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan di India.
"Untuk menyelamatkan India dan setiap orang India, akan ada larangan total untuk keluar dari rumah Anda," kata Modi, seraya menambahkan bahwa jika negara itu gagal mengelola langkah isolasi dalam 21 hari ke depan, maka India bisa mengalami kemunduran 21 tahun.
(miq/miq) Next Article Kasus Covid-19 di RI Bertambah 802 Hari ini, DKI Terbanyak!
Salah seorang penjual sayuran di Mumbai, Rafiq Ansari (35 tahun) mengaku kesulitan memperoleh sayur untuk dijual.
"Kita akan menghadapi kekurangan besar di hari-hari mendatang dan pada saat yang sama harga juga naik. Harga tomat naik lebih dari dua kali lipat," katanya kepada kantor berita AFP seperti dikutip cnbcindonesia.com, Minggu (29/3/2020).
Apartemen di kota-kota lain juga melarang pekerja paruh waktu atau pekerja harian dan supir untuk masuk. Meski imbauan social distancing terlihat bijaksana di berbagai negara, di India justru semakin menunjukan perbedaan kelas.
"Kebanyakan orang bereaksi karena ketakutan melarang migran, pekerja harian, dan mengusir mereka tanpa bayaran bulanan, dan menyalahkan mereka dalam penyebaran virus," kata Arpita Chatterjee, seorang editor lepas di New Delhi.
Menurut dia, virus ini justru dibawa oleh orang-orang yang bepergian dan migrasi di bandara. Merekalah yang membawa virus ini dan menularkan kepada masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan.
Larangan masuk di wilayah apartemen pun sepertinya hanya berlaku bagi pekerja harian. Ini karena terlihat teman dan kerabat dari pemilik masih bebas keluar masuk tanpa diperiksa atau mencuci tangan.
Di bawah jalan layang selatan New Delhi, masih ada keluarga yang kekurangan makan. Mereka hidup dari pekerjaan harian. Namun karena jalanan sudah sepi akibat lockdown mereka pun kehilangan pekerjaan.
"Karena penyakit ini kami tidak bisa bekerja, kami tidak bisa pulang, dan bagaimana kami harus hidup seperti ini," kata salah seorang warga.
Economic Times menulis masyarakat India masih mencoba memahami lockdown a la Modi. Lockdown juga menunjukkan ketidaksiapan India dalam mempersiapkan kebutuhan bagi jutaan pekerja yang diupah harian, menjaga pasokan barang pokok, dan pelayanan kepada masyarakat yang harus tinggal di rumah selama tiga pekan.
Hingga Sabtu (28/03/2020), India melaporkan 834 kasus positif Covid-19. Dari jumlah itu sebanyak 19 orang meninggal. Tetapi kekhawatiran masyarakatnya akan pandemi ini membuatnya jauh lebih berat.
Sebelumnya Modi memperingatkan bagi siapa pun yang nekat ke luar berarti sangat berisiko membawa virus corona ke dalam rumah mereka. Modi juga menjanjikan anggaran senilai US$ 2 miliar atau Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$) untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan di India.
"Untuk menyelamatkan India dan setiap orang India, akan ada larangan total untuk keluar dari rumah Anda," kata Modi, seraya menambahkan bahwa jika negara itu gagal mengelola langkah isolasi dalam 21 hari ke depan, maka India bisa mengalami kemunduran 21 tahun.
(miq/miq) Next Article Kasus Covid-19 di RI Bertambah 802 Hari ini, DKI Terbanyak!
Most Popular