Perekonomian global tahun ini masih diliputi banyak risiko. Ada yang merupakan 'penyakit' lama, ada pula yang berstatus risiko baru.
Dalam laporannya, Economist Intelligence Unit (EIU) menyebut ada lima risiko besar yang menyelimuti perekonomian global tahun ini. Padahal 2019 saja sudah bukan tahun yang mudah, tetapi ternyata 2020 tidak lebih ringan.
"Pada 2019, ekonomi dunia diwarnai oleh ketidakpastian geopolitik dan perlambatan ekonomi China, yang menghasilkan perlambatan manufaktur global. Dengan sedikit keberuntungan dan stimulus moneter, EIU awalnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan lebih baik pada 2020. Namun dengan masalah geopolitik baru (tensi yang meninggi antara Amerika Serikat/AS-Iran pada Januari) ditambah dengan kemunculan virus corona di China, sepertinya peningkatan iklim usaha dan investasi akan terbatas," demikian tulis laporan EIU yang dirilis Rabu (26/2/2020).
EIU memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2020 adalah 2,9%. Ekonomi masih mampu tumbuh karena dukungan kebijakan moneter longgar yang diperkirakan berlanjut tahun ini.
Meski ekonomi masih tumbuh, tetapi EIU mengingatkan ada lima 'setan' di perekonomian global. Apa saja itu?
Hubungan Washington-Teheran sempat memanas kala serangan militer Negeri Adidaya ke pangkalan udara di Baghdad (Irak) menewaskan pentolan militer Negeri Persia Qassem Soleimani. Setelah beberapa kali berbalasan serangan udara, publik mulai mencemaskan risiko meletusnya Perang Dunia III. Bahkan WW3 sempat menjadi
trending topic di media sosial.
Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah harga minyak. Kalau perang sampai benar-benar meletus, tentu pasokan minyak akan terganggu. Tidak hanya dari Iran, tetapi dari seluruh Timur Tengah yang merupakan kawasan penghasil minyak terbesar di dunia.
Selain produksi, perang AS-Iran (amit-amit) juga bakal mengganggu distribusi si emas hitam. Saat produksi terganggu dan distribusi seret, maka pasti harga bakal naik.
"Walau AS dan Rusia punya kapasitas untuk menambah produksi dan mencegah kekurangan pasokan, tetap saja konflik berkepanjangan di Timur Tengah akan membuat harga minyak naik sampai ke US$ 90/barel. Inflasi global akan naik, dan mempengaruhi sentimen konsumen dan dunia usaha," sebut riset EIU.
Menurut kalkulasi EIU, potensi konflik AS-Iran yang berujung perang adalah 25%. Jadi jangan alihkan perhatian dari Timur Tengah ya...
AS-China boleh sudah 'rujuk' dan meneken kesepakatan damai dagang Fase I. Namun isu perang dagang belum sepenuhnya hilang.
Hubungan dagang AS-Uni Eropa sudah memanas sejak pertengahan 2018. Saat itu, Presiden Donald Trump mengancam bakal mengenakan bea masuk 25% bagi mobil-mobil bikinan Benua Biru atas nama menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Meski ancaman itu belum terwujud, tetapi bukan berarti air sudah tenang. Pada Oktober 2019, AS memenangkan gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Uni Eropa dinilai memberikan subsidi berlebihan bagi Airbus sehingga menciptakan persaingan tidak sehat, terutama Boeing. Keputusan WTO ini memperbolehkan AS mengenakan bea masuk terhadap produk-produk dari Eropa.
"AS memenangkan 'hadiah' senilai US$ 7,5 miliar dari WTO. Uni Eropa sudah bertahun-tahun memperlakukan AS dengan buruk dalam hal perdagangan melalui bea masuk, hambatan dagang (trade barriers), dan lain-lain. Kasus ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kemenangan yang manis!" cuit Trump kala itu.
"Tensi AS-Uni Eropa akan kembali meningkat tahun ini. Setelah AS merampungkan kesepakatan damai dagang Fase I dengan China, Washington akan melihat lagi surplus dagang Uni Eropa terhadap mereka. Akibatnya, risiko pengenaan bea masuk terhadap mobil Eropa sepertinya tidak bisa dihindari," sebut kajian EIU.
Kala AS benar-benar mengenakan bea masuk, maka pasti Uni Eropa tidak akan terima begitu saja. Pasti ada '
counter attack', Uni Eropa akan balas membebankan bea masuk terhadap produk-produk
made in the USA. Viola, ini dia perang dagang AS-Uni Eropa.
Seperti halnya perang AS-Iran, EIU menilai probabilitas perang dagang AS-Uni Eropa adalah 25%. Angka yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja.
Kalau gesekan Timur Tengah dan perang dagang AS-Eropa adalah masalah lama yang belum selesai, maka virus corona adalah risiko baru bagi perekonomian global. Virus ini menyebar pada pekan keempat Januari, seiring perayaan Tahun Baru Imlek.
Serangan virus corona berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China. Namun ya itu tadi, virus menyebar cepat karena Imlek adalah puncak mobilitas masyarakat China.
Kini, corona sudah menyebar ke lebih dari 20 negara. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (27/2/2020) pukul 15:03 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 81.005. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 2.762.
"Pemerintah China sudah menjadikan Hubei sebagai lokasi tertutup. Aktivitas ekonomi di daerah lain termasuk Beijing dan Shanghai juga terganggu dengan kebijakan karantina. Permintaan domestik pun menurun," tulis laporan EIU.
Menurut EIU, dampak ekonomi virus corona akan lebih parah ketimbang wabah SARS pada 2002-2003. Sebab saat ini China memainkan peran kunci dalam rantai pasok global. EIU memiliki empat skenario terkait virus corona.
Pertama adalah yang optimistis yaitu serangan virus di China akan berhenti pada akhir Februari. Kemungkinannya 25%, yang membuat ekonomi China masih bisa tumbuh 5,7% pada 2020.
Skenario kedua adalah penyebaran virus corona di China selesai pada akhir Maret, dengan probabilitas tertinggi yaitu 50%. Ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu menjadi 'hanya' 5,4% pada 2020.
Skenario ketiga adalah yang lebih pesimistis yaitu penyebaran virus baru berhenti pada akhir Juni, dengan peluang 20%. Kalau ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi China kemungkinan cuma 4,5%.
Skenario terakhir, yang berstatus mimpi buruk (
nightmare), adalah penyebaran virus tidak bisa teratasi dan terus berlangsung sepanjang 2020. Kemungkinannya memang hanya 5%, tetapi apabila ini terjadi maka siap-siap pertumbuhan ekonomi China bakal kurang dari 4,5%.
 Economist Intelligence Unit |
"Apabila skenario terburuk yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan di bawah 2,5%," sebut riset EIU.
Sejak masa krisis keuangan global 2008-2009 hingga 2015, dunia begitu terbiasa dengan suku bunga rendah, bahkan ultra rendah. Namun selepas 2015, suku bunga global kembali bergerak ke utara.
Ditambah lagi pada 2018 bank sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) sangat agresif menaikkan suku bunga acuan untuk mengerem laju pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam agar tidak kebablasan. Jadilah arus modal mengarah ke AS dan negara-negara berkembang hanya kebagian remah-remah rengginang.
Akibatnya, sejumlah negara seperti Turki dan Argentina mengalami krisis mata uang yang lumayan parah, terutama pada 2018. Depresiasi mata uang membuat beban utang luar negeri meningkat, karena nilainya menjadi lebih mahal jika dikonversikan ke mata uang domestik. Turki dan Argentina bahkan sempat jatuh ke jurang resesi.
"Negara yang masih rentan seperti Turki dan Argentina bisa kembali memasuki masa krisis jika ada perubahan kebijakan moneter global. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi negara-negara berkembang lainnya dan menjadi masalah global," sebut riset EIU.
Menurut EIU, peluang terjadinya masalah ekonomi global akibat beban utang di negara berkembang adalah 20%. Jadi memang masih harus diwaspadai ya.
Tahun lalu, gelombang protes melanda Hong Kong selama berbulan-bulan. Dipicu oleh rencana pengesahan UU ekstradisi (yang memungkinkan pelaku kejahatan diadili oleh pemerintah China), suara penolakan bermunculan dan memuncak menjadi aksi demonstrasi massa.
Masalahnya, Hong Kong adalah salah satu sentra keuangan terbesar di Asia. Gangguan keamanan bisa membuat investor kabur dari sana.
 Economist Intelligence Unit |
"Status Hong Kong sebagai pusat keuangan terbesar ketiga di dunia bakal terancam. Investor akan memindahkan bisnis mereka dari Hong Kong ke Singapura, Tokyo, Taipei, atau Bangkok. Ditambah lagi ketegangan di Hong Kong bisa mempersulit negosiasi lanjutan antara AS-China, sehingga kesepakatan dagang fase berikutnya bisa terganggu," tulis kajian EIU.
Akan tetapi, risiko demonstrasi di Hong Kong terulang lagi tahun ini cukup kecil, hanya 15% berdasarkan kalkulasi EIU. Sebab, pemilu beberapa waktu lalu sudah menempatkan kubu pro-demokrasi di legislatif sehingga bisa meredam keresahan.