Internasional

AS Tak Percaya Data Corona China, Ini Alasannya!

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
17 February 2020 16:44
AS Tak Percaya Data Corona China, Ini Alasannya!
Foto: Topik/Virus Corona/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan tidak yakin China dapat memberikan informasi yang akurat tentang epidemi virus corona yang telah menewaskan ribuan orang di dunia sejak pertama kali muncul di Wuhan, China, pada Desember lalu.

"(Kami) tidak memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap informasi yang datang dari China mengenai jumlah kasus virus corona," kata seorang pejabat senior AS, sebagaimana dilaporkan CNBC International, Senin (17/2/2020).

Pernyataan itu semakin menggema kala China dilaporkan enggan menerima bantuan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan juga diisukan telah meredam informasi mengkhawatirkan tentang wabah dari para ilmuwan. Sampai-sampai, Penasihat Gedung Putih Peter Navarro menyebut China sebagai "inkubator penyakit".

Perlu diketahui, wabah virus corona (COVID-19) telah menewaskan 1.700 lebih orang per Senin pagi (17/2/2020) setelah pemerintah Provinsi Hubei melaporkan tambahan 100 kematian baru. Pemerintah juga melaporkan ada 1.933 kasus baru. Ini menjadikan total pasien terinfeksi corona di seluruh dunia menjadi 70.400 orang.

Pernyataan AS itu bertentangan dengan pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia pada pekan lalu. Lembaga kesehatan PBB itu mengatakan China telah lebih transparan.

"Otoritas kesehatan China dengan cepat mengisolasi urutan genetik virus dan membaginya pada database publik dalam hitungan minggu, memberi para ilmuwan kesempatan untuk mengidentifikasi [virus] itu." kata mereka.

Namun demikian, AS tetap menyatakan kecewa pada cara penanganan China. Pada hari Kamis, penasihat ekonomi utama Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan kepada wartawan bahwa AS "sangat kecewa (pada China)" karena kurangnya transparansi negara itu dalam menangani wabah yang sudah jadi sumber kekhawatiran dunia itu.

Namun ternyata, ketidakpercayaan pejabat AS terhadap China sudah terjadi sejak lama, tepatnya sejak tahun 1950-an. Saat itu otoritas nasional menetapkan kuota produksi yang tidak realistis yang membuat pejabat setempat menaikkan data. Penanganan China atas musibah wabah SARS yang merebak pada 2003 lalu juga turut menjadi catatan bagi AS. Bahkan, cara pelaporan data ekonomi negara itu selama dua dekade terakhir juga semakin membuat AS tidak percaya.

Berikut detail lengkap alasan yang membuat AS sulit percaya pada China:

[Gambas:Video CNBC]





Skeptisisme atas penanganan China terhadap krisis kesehatan masyarakat dimulai pada tahun 2003, menurut Yanzhong Huang, seorang peneliti kesehatan masyarakat di Dewan Hubungan Luar Negeri dan direktur Pusat Studi Kesehatan Global di Seton Hall University.

Pada saat itu, pemerintah China dituduh berusaha menutupi penyebaran Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) tersebut. Penyakit yang dengan cepat menyebar ke banyak negara itu menjangkiti setidaknya 8.098 orang dan menewaskan sekitar 800 selama sembilan bulan mewabah. Sama seperti COVID-19, SARS yang juga berasal dari China sebelumnya juga dinyatakan sebagai ancaman kesehatan global.

Pada saat itu, SARS diperkirakan telah muncul pada bulan November 2002. Otoritas kesehatan China diberitahu tentang penyakit pernapasan misterius itu pada pertengahan Desember. Namun, pejabat kesehatan baru melaporkan kasus ke publik pada 11 Februari 2003 saat sudah ada lebih dari 300 kasus SARS di provinsi Guangdong, tempat wabah muncul.

Pada saat itu, para pejabat juga mengakui bahwa tidak ada obat yang efektif untuk mengobati wabah dan mengatakan bahwa wabah itu hanya bersifat sementara, kata Huang. Lambatnya penyebaran informasi ini membuat banyak pihak menjadi meragukan China.

"Tentu saja ada kesamaan dengan respons SARS dan virus baru," kata Huang. Meski kemudian mengakui bahwa tanggapan China kali ini jauh lebih baik.


Pemerintahan Presiden AS Donald Trump pernah menyebut China sebagai sebagai manipulator mata uang pada Agustus tahun lalu. Pernyataan itu disampaikan di tengah perang dagang kedua negara yang sedang bergejolak.

"China telah memanipulasi mata uang mereka jauh sebelum dan sejak Presiden Trump berkuasa," kata Pemimpin Senat Demokrat Chuck Schumer pada saat itu. "Dia (Trump) akhirnya harus memberitahu Menteri Keuangan untuk memberi label pada China sebagai manipulator mata uang. Hanya itu yang perlu dia lakukan untuk mewujudkannya."

Namun demikian, David Dollar yang adalah seorang rekan senior di John L. Thornton China Center di Brookings Institution, mengatakan ada sedikit bukti yang bisa mendukung pernyataan AS itu. Namun, pernyataan itu lebih cocok disematkan pada China pada 15 tahun lalu, katanya.

"Kembali sekitar tahun 2005, 2006, akan adil untuk mengatakan bahwa China melakukan intervensi untuk menjaga mata uang rendah," katanya. "Secara historis, mereka akan sesuai dengan definisi manipulator mata uang 15 tahun yang lalu."

AS telah menghapus China dari daftar negara manipulator mata uang beberapa bulan lalu, saat kedua ekonomi terbesar dunia itu bersiap untuk menandatangani kesepakatan perdagangan fase-satu.

Namun, Dollar mengakui bahwa China secara historis menekan kenaikan mata uangnya untuk menikmati keuntungan dalam perdagangan dengan AS dan negara-negara lain.


Mengenai kebenaran laporan ekonomi China, telah banyak pihak yang meragukannya. Bahkan pejabat China sendiri pernah menyatakan keraguan. Perdana Menteri China Li Keqiang pada 2007 pernah menyebut data PDB provinsi sebagai "buatan manusia". Komentar itu bahkan sampai melahirkan apa yang sekarang disebut sebagai indeks Li Keqiang.

Indeks itu adalah angka yang digunakan oleh para ekonom untuk memeriksa faktor-faktor yang mendasari ekonomi China, seperti konsumsi listrik, muatan kereta api dan jumlah pinjaman yang disalurkan. Keqiang mengatakan kepada para pejabat AS angka-angka ini lebih akurat daripada data PDB provinsi yang diberikan oleh pejabat lokal yang ditekan untuk menambah jumlah angkanya.

Thomas Rawski, profesor ekonomi dan sejarah di University of Pittsburgh, mengatakan bahwa kurang baiknya data provinsi itu diakui baik oleh para ekonom dan pejabat China.

"Ketika segalanya tidak berjalan dengan baik, dan kami melihat ini di tingkat nasional dan provinsi, mereka menerbitkan data yang menunjukkan hal-hal yang lebih baik daripada sebelumnya," katanya. "Dengan asumsi upaya terbaik, tidak mudah untuk mengukur ekonomi sebesar itu. Selain itu, ada juga pertanyaan tentang apakah ada minat sama sekali dalam melaporkan angka yang akurat."

Rawski telah mengamati pertumbuhan ekonomi China sejak sebelum krisis keuangan Asia sekitar tahun 1997. Sejak saat itulah ia mulai menyadari bahwa data itu jauh dari kenyataan, katanya. Dia menerbitkan sebuah artikel pada tahun 2001 yang mengklaim data tentang output manufaktur tidak sesuai dengan angka-angka yang mendasari konsumsi listrik.

"Pikirkan tentang masalah flu, itu sepenuhnya sama dengan masalah PDB," katanya. "Dalam kedua kasus, ada banyak masalah teknis serta apa yang saya sebut masalah kebenaran. Dan ada pertanyaan tentang motivasi orang-orang yang mengumpulkan dan melaporkan data di semua tingkatan, dan Anda harus bertanya apakah ada insentif untuk mengubahnya. Saya pikir jawabannya jelas ya."


Next Page
Wabah SARS
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular