MP3EI ke Paket Kebijakan Ekonomi, Eh Sekarang Omnibus Law

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 February 2020 06:17
MP3EI ke Paket Kebijakan Ekonomi, Eh Sekarang Omnibus Law
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada yang menarik dari tiga periode pemerintahan Indonesia yaitu 2009-2014, 2014-2019, hingga yang sekarang 2019-2024. Masing-masing punya ajian andalan, obat dari segala obat, solusi dari semua masalah terutama di bidang ekonomi.

Pada pemerintahan 2009-2014 yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, jurus itu bernama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kemudian pada 2014-2019, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) punya 'maskot' yaitu Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Teranyar, pemerintahan 2019-2024 yang masih dikomandoi oleh Jokowi punya gacoan baru yakni Omnibus Law.



Masa depan yang terakhir disebut belum bisa ditebak, karena dimulai saja belum. Omnibus Law akan berbentuk Undang-undang yang dibahas pemerintah dan DPR. Sampai detik ini, proses perdebatan di Senayan belum juga kick-off.

Namun nasib MP3EI dan PKE sudah jelas. Hilang lenyap, tidak lagi dilirik, bahkan mungkin terlupakan (atau sengaja dilupakan, entah). Padahal dua kebijakan itu digadang-gadang mampu membuat Indonesia tinggal landas menuju negara maju berpendapatan tinggi. Negara kuat dengan masalah struktural di bidang ekonomi yang sudah selesai.

Akan tetapi, ternyata selesainya periode pemerintahan menandai berakhir pula MP3EI dan PKE. Sementara masalah struktural Indonesia masih here to stay, seperti defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) atau aktivitas ekonomi yang belum merata di seluruh wilayah.



Sejarah adalah guru yang terbaik. Dari sejarah kita akan memetik hikmah kealpaan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih cerah.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari MP3EI atau PKE, semuanya punya tujuan mulia. Hanya saja mungkin terlalu ambisius sehingga mustahil diwujudkan dalam jangka lima tahun. Karena di Indonesia yang namanya paradigma pembangunan memang lima tahunan. Ganti pemerintahan, rombak kebijakan, lupakan kontinuitas. Sedih, tetapi begitu kenyataannya.

Agar bisa belajar dari masa lalu, ada baiknya kita ingat kembali apa itu MP3EI dan PKE. Bagaimana proses kelahiran mereka, apa saja isinya, sampai bagaimana mereka terlupakan begitu saja.


[Gambas:Video CNBC]



Pertama adalah MP3EI. Kala itu, Presiden SBY barangkali berniat untuk membangun kontinuitas kebijakan pembangunan agar lebih tertata dan berkesinambungan. Pemikiran ini melahirkan MP3EI yang sedianya bertujuan menjadi arah pembangunan Indonesia hingga 2025.

"Tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap perubahan. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.

"Dalam konteks inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari perlunya penyusunan MP3EI untuk memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga 2025. Melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini, perwujudan kualitas Pembangunan Manusia Indonesia sebagai bangsa yang maju tidak saja melalui peningkatan pendapatan dan daya beli semata, namun dibarengi dengan membaiknya pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa," demikian tulis bagian pembuka dokumen MP3EI yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pada intinya MP3EI bertujuan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia jangan lagi berpusat di Jawa, tetapi di seluruh daerah. Sayang, hingga kini cita-cita itu belum terwujud.




Untuk menuju ke sana, MP3EI membagi wilayah Indonesia menjadi enam koridor yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, serta Papua-Kepulauan Maluku. Setiap koridor ditetapkan memiliki fokus pembangunan berbeda.

Bappenas

Membangun kantong-kantong ekonomi baru tidak hanya butuh tenaga, tetapi juga biaya yang besar. Tidak main-main, kebutuhan pembiayaannya mencapai ribuan triliun rupiah.

"Untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama, telah diindikasikan investasi yang pelaksanaannya dimulai dalam waktu 2011-2014 di keenam koridor ekonomi tersebut dengan nilai sekitar Rp 4.000 Triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, serta rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, sedangkan sisanya diupayakan akan dipenuhi dari swasta maupun BUMN dan campuran," tulis dokumen MP3EI.

Bappenas

Tujuan akhir MP3EI adalah membuat pembangunan lebih dan mengantar Indonesia menjadi negara maju. Pada 2025, PDB Indonesia ditargetkan mencapai US$ 4-4,5 triliun dan pendapatan per kapita di kisaran US$ 14.250-15.500. Dengan begitu Indonesia akan resmi menjadi negara berpendapatan tinggi.

"Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara US$ 14.250-15.500 dengan nilai total perekonomian berkisar antara US$ 4-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5% pada periode 2011-2014, dan sekitar 8-9% pada periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5% pada periode 2011-2014 menjadi 3% pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju," sebut dokumen MP3EI.


Keseriusan pemerintahan SBY untuk menjadikan MP3EI sebagai arah pembangunan jangka panjang sampai dituangkan menjadi produk hukum yaitu Perpres No 32/2011 tentang MP3EI yang kemudian diubah menjadi Perpres No 48/2014. Dengan begitu, pemerintahan selanjutnya sudah punya dasar hukum jika ingin mengacu ke MP3EI sebagai arah kebijakan pembangunan.

Rencana yang terbaik adalah rencana yang terwujud. Sayang sekali, ini tidak berlaku untuk MP3EI.

Sejak 27 Mei 2011 hingga kuartal I-2014, total realisasi proyek MP3EI adalah Rp 838,9 triliun terdiri dari infrastruktur Rp 397,7 triliun dan sektor riil Rp 441,2 triliun. Jauh dari target Rp 4.000 triliun.

Pada 2014, pemerintahan SBY berakhir. Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang Pilpres sah menjadi penggantinya. Di tangan eks Gubernur DKI Jakarta tersebut, MP3EI terlupakan. Tidak lagi disebut, disentuh, apalagi dijadikan sandaran kebijakan pembangunan. Padahal Perpres MP3EI masih ada, belum lagi dicabut...


Pemerintahan Jokowi-JK pun berpindah ke lain hati. Bukan apa-apa, sebab fokus kebijakan pembangunan yang dianut pun terasa berbeda.

Jika SBY dan Wakil Presiden Boediono ingin membangun pusat-pusat ekonomi baru untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2025, prioritas pembangunan Jokowi-JK lebih jangka pendek. Pemerintah kala itu (dan mungkin sampai sekarang) melihat masalah utama di perekonomian Indonesia adalah defisit transaksi berjalan.

Adanya defisit transaksi berjalan menandakan pasokan valas dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa tidak seimbang, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Padahal pasokan devisa dari pos ini lebih kuat secara jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).


Minimnya pasokan devisa dari transaksi berjalan membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh. Sejak Indonesia mengidap defisit transaksi berjalan pada 2011 sampai sekarang, rupiah bergerak melemah di hadapan dolar Amerika Serikat.



Saat rupiah melemah, apalagi terlalu dalam, Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam. Salah satu kebijakan yang ditempuh MH Thamrin adalah menaikkan suku bunga acuan, dengan harapan memancing hot money untuk masuk dan menutup kekurangan valas di transaksi berjalan. Hot money masuk, depresiasi rupiah bisa dikendalikan.

Namun kenaikan suku bunga acuan akan direspons oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga deposito. Kalau suku bunga deposito naik, maka suku bunga kredit akan ikut terangkat. Dunia usaha dan rumah tangga bakal kesulitan untuk berekspansi sehingga pertumbuhan ekonomi tidak bisa melaju kencang.

Oleh karena itu, wajar Jokowi-JK ingin memerangi defisit transaksi berjalan. Caranya adalah mengundang investasi di sektor riil, terutama yang berorientasi ekspor dan substitusi impor.

Selain itu, langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan juga dilakukan dengan mengurangi ketergantungan terhadap pemain asing, terutama di sektor jasa. Ini akan membuat keuntungan dari aktivitas jasa tidak 'kabur' ke luar negeri.

Dilandasi oleh tujuan mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintahan Jokowi-JK punya jurus andalan yaitu PKE. Tidak tanggung-tanggung, ada 16 PKE yang dirilis yaitu:

1. PKE I (9 September 2015)
Berfokus untuk mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha, mempercepat Proyek Strategis Nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti.

2. PKE II (29 September 2015)
Deregulasi dan debirokratisasi investasi dengan layanan tiga jam, insentif pajak, dan pengurangan perizinan di sektor kehutanan.

3. PKE III (7 Oktober 2015) Penurunan tarif listrik, harga Bahan Bakar Minyak, dan gas, perluasan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta penyederhanaan izin pertanahan.

4. PKE IV (15 Oktober 2015)
Formulasi penetapan Upah Minimum Provinsi.

5. PKE V (22 Oktober 2015) Revaluasi aset BUMN dan individu serta menghilangkan pajak berganda untuk Dana Investasi Real Estat (DIRE).

6. PKE VI (5 November 2015)
Insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pengelolaan sumber daya air, serta penyederhanaan izin impor bahan baku industri obat dan makanan.

7. PKE VII (4 Desember 2015)
Kemudahan perizinan investasi, keringanan pajak karyawan industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah.

8. PKE VIII (21 Desember 2015)
Kebijakan Satu Peta, mempercepat pembangunan kilang minyak, dan insentif jasa pemeliharaan pesawat terbang.

9. PKE IX (27 Januari 2016)
Percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan, stabilisasi harga daging, dan peningkatan logistik desa-kota.

10. PKE X (11 Februari 2016)
Memperbaiki peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) dengan kemudahan mendirikan bangunan, pendaftaran properti, pembayaran pajak, akses pembiayaan kredit, penegakan kontrak, akses sambungan listrik, perdagangan internasional, penyelesaian pailit, dan perlindungan terhadap investor minoritas.

11. PKE XI (29 Maret 2016)
Penyempurnaan aturan KUR dan DIRE, penyederhanaan waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling time), serta pengembangan industri farmasi dan kesehatan.

12. PKE XII (18 April 2016)
Kemudahan berusaha bagi UMKM.

13. PKE XIII (24 Agustus 2016)
Mempercepat penyediaan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

14. PKE XIV (10 November 2016)
Peta jalan perdagangan berbasis elektronik (e-commerce).

15. PKE XV (15 Juni 2017)
Peningkatan peluang bisnis bagi angkutan dan asuransi dalam negeri serta meningkatkan usaha galangan dan pemeliharaan kapal domestik.

16. PKE XVI (16 November 2018)
Perluasan fasilitas tax holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan memperkuat pengendalian devisa dengan insentif perpajakan.


Wow. Paket-paket tersebut terlihat sangat komprehensif dan kalau terwujud bisa sangat membantu mengurangi defisit transaksi berjalan atau malah membaliknya menjadi surplus.

Namun sama seperti MP3EI, rencana yang ciamik tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Hambatan utama pelaksanaan PKE adalah banyaknya aturan yang harus diubah agar seiring sejalan.

Ambil contoh kecil di PKE I. PKE tersebut mewajibkan Kementerian Perindustrian merevisi 10 Peraturan Menteri yaitu Permenperin No 76/2015, Permenperin No 80/2015, Permenperin No 81/2015, Permenperin No 79/2015, Permenperin No 75/2015, Permenperin No 78/2015, Permenperin No 84/2015, Permenperin No 77/2015, Permenperin No 83/2015, dan Permenperin No 82/2015. 

Itu baru satu kementerian. Bagaimana kalau PKE mengharuskan perubahan regulasi lintas sektoral? Bagaimana kalau urusannya sampai ke daerah? Berapa puluh peraturan yang harus diubah? Butuh waktu berapa lama untuk mengubah aturan-aturan tersebut?

"Reformasi sepertinya melangkah di jalan yang benar. Namun ada gangguan yang masih masih membebani daya saing industri dalam negeri, salah satunya seperti sumbatan (bottleneck) di sisi regulasi," sebut laporan Bank Dunia pada Desember 2018.

PKE boleh eksis, bahkan sampai belasan jilid. Namun defisit transaksi berjalan tidak kunjung pergi. Pelaksanaan PKE yang tidak optimal membuat tujuannya pun tidak tercapai.




Sampailah kita ke Pesta Demokrasi 2019. Jokowi kembali terpilih menjadi presiden, kali ini didampingi oleh Ma'ruf Amin sebagai wakilnya.

Dilantik pada 20 Oktober 2019, sampai sekarang Jokowi rasanya belum pernah menyinggung lagi soal PKE. Seperti MP3EI, PKE pun berstatus bak mantan kekasih yang sebaiknya dilupakan saja.


Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi sudah punya kekasih baru bernama Omnibus Law. Setidaknya ada dua Omnibus Law yang terdeteksi yaitu Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan.

Undang-undang (UU) Omnibus Law akan menjadi payung hukum yang merangkum lebih dari 70 UU yang ada sebelumnya. Jadi investor nantinya tidak perlu membolak-balik ratusan bahkan mungkin ribuan halaman peraturan perundang-undangan, cukup merujuk ke UU sagala aya ini.

Omnibus Law akan menawarkan berbagai kemudahan bagi dunia usaha. Misalnya di bidang perpajakan, ada janji untuk menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga ke 20% sampai 2023. Saat ini tarif PPh Badan adalah 25%. Perusahaan-perusahaan terbuka yang melantai di pasar modal juga akan mendapatkan potongan tarif tambahan sebesar 3%, syarat dan ketentuan berlaku.

Kemudian pajak atas dividen akan dihilangkan, jika diinvestasikan kembali di Indonesia. Lalu warga negara asing hanya dikenakan pajak atas pendapatan yang diterima di Indonesia.

Sementara Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (yang sering dipelesetkan menjadi Cilaka) akan berisi 11 kluster yaitu:

1. Penyederhanaan perizinan tanah.
2. Persyaratan investasi.
3. Ketenagakerjaan.
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM.
5. Kemudahan berusaha.
6. Dukungan riset dan inovasi.
7. Administrasi pemerintahan.
8. Pengenaan sanksi.
9. Pengendalian lahan.
10. Kemudahan proyek pemerintah.
11. Kawasan Ekonomi Khusus.


Sepertinya maksud dan tujuan Omnibus Law sama seperti PKE yaitu mendatangkan investasi demi menghapus defisit transaksi berjalan. Kelihatannya Jokowi memang agak terobsesi dengan hal ini.

"Kalau neraca transaksi berjalan kita sudah positif, baik, saat itulah kita betul-betul merdeka. Dengan siapa pun kita berani," tegas Jokowi bulan lalu.

Akan tetapi, Omnibus Law yang menjadi jagoan baru ini belum berlaku. Omnibus Law Perpajakan baru masuk ke DPR, dan akan memasuki proses pembahasan yang entah butuh waktu berapa lama. Sedangkan yang Cilaka (katanya) akan segera dikirim ke DPR.

Apakah Omnibus Law akan bernasib sama dengan MP3EI dan PKE? Apakah Omnibus Law akan dilupakan oleh pemerintahan selanjutnya seperti Jokowi tidak melirik MP3EI?

Kita doakan yang baik saja. Semoga Omnibus Law berhasil menjadi obat mujarab untuk memperkuat fundamental perekonomian Indonesia. Semoga Omnibus Law berhasil mengatasi masalah defisit transaksi berjalan sehingga Indonesia bisa bersaing dan menjadi negara maju.

Semoga...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Next Page
Ambisi MP3EI
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular