MP3EI ke Paket Kebijakan Ekonomi, Eh Sekarang Omnibus Law

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 February 2020 06:17
Paket Kebijakan Ekonomi Beraksi
Presiden Joko Widodo tinjau pabrik perakitan Isuzu Traga di Kawasan Industri Suryacipta, Karawang Timur pada Kamis, 12 Desember 2019. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Pemerintahan Jokowi-JK pun berpindah ke lain hati. Bukan apa-apa, sebab fokus kebijakan pembangunan yang dianut pun terasa berbeda.

Jika SBY dan Wakil Presiden Boediono ingin membangun pusat-pusat ekonomi baru untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2025, prioritas pembangunan Jokowi-JK lebih jangka pendek. Pemerintah kala itu (dan mungkin sampai sekarang) melihat masalah utama di perekonomian Indonesia adalah defisit transaksi berjalan.

Adanya defisit transaksi berjalan menandakan pasokan valas dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa tidak seimbang, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Padahal pasokan devisa dari pos ini lebih kuat secara jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).


Minimnya pasokan devisa dari transaksi berjalan membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh. Sejak Indonesia mengidap defisit transaksi berjalan pada 2011 sampai sekarang, rupiah bergerak melemah di hadapan dolar Amerika Serikat.



Saat rupiah melemah, apalagi terlalu dalam, Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam. Salah satu kebijakan yang ditempuh MH Thamrin adalah menaikkan suku bunga acuan, dengan harapan memancing hot money untuk masuk dan menutup kekurangan valas di transaksi berjalan. Hot money masuk, depresiasi rupiah bisa dikendalikan.

Namun kenaikan suku bunga acuan akan direspons oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga deposito. Kalau suku bunga deposito naik, maka suku bunga kredit akan ikut terangkat. Dunia usaha dan rumah tangga bakal kesulitan untuk berekspansi sehingga pertumbuhan ekonomi tidak bisa melaju kencang.

Oleh karena itu, wajar Jokowi-JK ingin memerangi defisit transaksi berjalan. Caranya adalah mengundang investasi di sektor riil, terutama yang berorientasi ekspor dan substitusi impor.

Selain itu, langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan juga dilakukan dengan mengurangi ketergantungan terhadap pemain asing, terutama di sektor jasa. Ini akan membuat keuntungan dari aktivitas jasa tidak 'kabur' ke luar negeri.

Dilandasi oleh tujuan mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintahan Jokowi-JK punya jurus andalan yaitu PKE. Tidak tanggung-tanggung, ada 16 PKE yang dirilis yaitu:

1. PKE I (9 September 2015)
Berfokus untuk mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha, mempercepat Proyek Strategis Nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti.

2. PKE II (29 September 2015)
Deregulasi dan debirokratisasi investasi dengan layanan tiga jam, insentif pajak, dan pengurangan perizinan di sektor kehutanan.

3. PKE III (7 Oktober 2015) Penurunan tarif listrik, harga Bahan Bakar Minyak, dan gas, perluasan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta penyederhanaan izin pertanahan.

4. PKE IV (15 Oktober 2015)
Formulasi penetapan Upah Minimum Provinsi.

5. PKE V (22 Oktober 2015) Revaluasi aset BUMN dan individu serta menghilangkan pajak berganda untuk Dana Investasi Real Estat (DIRE).

6. PKE VI (5 November 2015)
Insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pengelolaan sumber daya air, serta penyederhanaan izin impor bahan baku industri obat dan makanan.

7. PKE VII (4 Desember 2015)
Kemudahan perizinan investasi, keringanan pajak karyawan industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah.

8. PKE VIII (21 Desember 2015)
Kebijakan Satu Peta, mempercepat pembangunan kilang minyak, dan insentif jasa pemeliharaan pesawat terbang.

9. PKE IX (27 Januari 2016)
Percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan, stabilisasi harga daging, dan peningkatan logistik desa-kota.

10. PKE X (11 Februari 2016)
Memperbaiki peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) dengan kemudahan mendirikan bangunan, pendaftaran properti, pembayaran pajak, akses pembiayaan kredit, penegakan kontrak, akses sambungan listrik, perdagangan internasional, penyelesaian pailit, dan perlindungan terhadap investor minoritas.

11. PKE XI (29 Maret 2016)
Penyempurnaan aturan KUR dan DIRE, penyederhanaan waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling time), serta pengembangan industri farmasi dan kesehatan.

12. PKE XII (18 April 2016)
Kemudahan berusaha bagi UMKM.

13. PKE XIII (24 Agustus 2016)
Mempercepat penyediaan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

14. PKE XIV (10 November 2016)
Peta jalan perdagangan berbasis elektronik (e-commerce).

15. PKE XV (15 Juni 2017)
Peningkatan peluang bisnis bagi angkutan dan asuransi dalam negeri serta meningkatkan usaha galangan dan pemeliharaan kapal domestik.

16. PKE XVI (16 November 2018)
Perluasan fasilitas tax holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan memperkuat pengendalian devisa dengan insentif perpajakan.


Wow. Paket-paket tersebut terlihat sangat komprehensif dan kalau terwujud bisa sangat membantu mengurangi defisit transaksi berjalan atau malah membaliknya menjadi surplus.

Namun sama seperti MP3EI, rencana yang ciamik tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Hambatan utama pelaksanaan PKE adalah banyaknya aturan yang harus diubah agar seiring sejalan.

Ambil contoh kecil di PKE I. PKE tersebut mewajibkan Kementerian Perindustrian merevisi 10 Peraturan Menteri yaitu Permenperin No 76/2015, Permenperin No 80/2015, Permenperin No 81/2015, Permenperin No 79/2015, Permenperin No 75/2015, Permenperin No 78/2015, Permenperin No 84/2015, Permenperin No 77/2015, Permenperin No 83/2015, dan Permenperin No 82/2015. 

Itu baru satu kementerian. Bagaimana kalau PKE mengharuskan perubahan regulasi lintas sektoral? Bagaimana kalau urusannya sampai ke daerah? Berapa puluh peraturan yang harus diubah? Butuh waktu berapa lama untuk mengubah aturan-aturan tersebut?

"Reformasi sepertinya melangkah di jalan yang benar. Namun ada gangguan yang masih masih membebani daya saing industri dalam negeri, salah satunya seperti sumbatan (bottleneck) di sisi regulasi," sebut laporan Bank Dunia pada Desember 2018.

PKE boleh eksis, bahkan sampai belasan jilid. Namun defisit transaksi berjalan tidak kunjung pergi. Pelaksanaan PKE yang tidak optimal membuat tujuannya pun tidak tercapai.




(aji/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular