Sah, Indonesia Jadi Korban Perang Dagang! Ini Buktinya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 February 2020 06:30
Sah, Indonesia Jadi Korban Perang Dagang! Ini Buktinya
Foto: Presiden Joko Widodo tinjau pabrik perakitan Isuzu Traga di Kawasan Industri Suryacipta, Karawang Timur pada Kamis, 12 Desember 2019. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan data pertumbuhan ekonomi terbaru. Hasilnya boleh dibilang mengecewakan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 adalah 4,97% year-on-year (YoY). Lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,04%. Ini menjadi pencapaian terendah sejak kuartal IV-2019.


Sementara laju pertumbuhan ekonomi domestik sepanjang 2019 adalah 5,02%. Juga di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 5,04%. Angka 5,02% adalah yang terendah sejak 2015.

Ditinjau dari sisi sektoral, industri pengolahan masih menjadi kontributor utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal IV-2018, sumbangan sektor ini terhadap PDB mencapai 19,63% atau nyaris seperlima. Jadi kalau sektor ini bermasalah bisa merusak tatanan dunia persilatan.

Sayangnya yang terjadi memang demikian. Pada periode Oktober-Desember 2019, industri manufaktur hanya tumbuh 3,66% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,14% dan periode yang sama pada 2018 yakni 4,25%.

Sementara secara keseluruhan tahun, industri manufaktur membukukan pertumbuhan 3,8% pada 2019. Melambat ketimbang pencapaian 2018 yang sebesar 4.27%.

Sudah lama pertumbuhan sektor manufaktur tidak secepat laju pertumbuhan ekonomi umum (headline). Tren ini masih berlanjut sampai 2019.





[Gambas:Video CNBC]



Industri batu bara dan pengilangan migas sebenarnya membaik, meski laju pertumbuhannya masih lambat. Pada kuartal IV-2019, industri ini tumbuh 1,06% YoY. Membaik ketimbang kuartal sebelumnya yang terkontraksi alias tumbuh negatif -0,8% maupun periode yang pada 2018 yang -0,01%.

Masalahnya memang ada di industri non-migas. Pada kuartal IV-2019, industri non-migas tumbuh 3,94% YoY. Melambat dibandingkan pencapaian kuartal III-2019 (4,68%) dan kuartal IV-2018 (4,73%).




Sementara untuk keseluruhan 2019, industri batu bara dan pengilangan migas masih -1,1%. Kontraksinya lebih dalam ketimbang 2018 yang -0,01%.

Industri manufaktur non-migas selama 2019 tumbuh 4,34%. Melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan 4,77%.

Pada kuartal IV-2019, sejumlah industri mengalami perlambatan bahkan ada yang sampai kontraksi seperti alat angkutan (-2,13% YoY) serta barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik (-2,13%). Dua sub-sektor ini juga mengalami kontraksi sepanjang 2019, masing-masing -3,43% dan -0,51%.

Foto: Badan Pusat Statistik



Output industri manufaktur yang melambat ini sebenarnya bisa terbaca dari indikator awalan (leading indicator) Purchasing Managers' Index/PMI. Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau angkanya di bawah 50, berarti dunia usaha sedang tidak berekspansi.

Sejak Juli 2019, PMI manufaktur Indonesia terus-menerus di bawah 50 yang berarti industriawan justru melakukan kontraksi. Jadi tidak heran kalau pertumbuhan industri manufaktur melambat.

Sedihnya, belum ada titik terang kala memasuki 2020. Pada Januari 2020, PMI manufaktur Indonesia masih terkontraksi di 49,3.



"Penurunan manufaktur Indonesia berlanjut hingga awal tahun, dengan data PMI menunjukkan penurunan lebih jauh pada kondisi operasional selama bulan Januari. Kondisi permintaan nampaknya melemah pada awal tahun 2020. Penjualan baru menurun, menyumbang penumpukan keluangan kapasitas di sektor yang kemudian membebani perekrutan. Tren melemahnya penjualan mendorong perusahaan mengurangi aktivitas pembelian dan mengakumulasi stok input. Produsen Indonesia juga harus memanfaatkan pesanan sebelumnya untuk mempertahankan produksi," papar Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Hal lain yang tidak mendukung pertumbuhan industri manufaktur adalah minimnya investasi baru di sektor ini. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dua sektor yang menerima investasi paling banyak adalah transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi serta listrik, gas, dan air (utilitas).

Berikut adalah gambaran realisasi investasi berdasarkan sektor sepanjang 2019:

Badan Koordinasi Penanaman Modal
 


So, apa yang membuat performa industri manufaktur tahun lalu kurang oke?

Perlambatan industri manufaktur bukan fenomena unik yang terjadi di Indonesia saja. Kelesuan industri manufaktur adalah sebuah tren global.

Ambil contoh di ASEAN. Seperti halnya Indonesia, PMI manufaktur ASEAN juga cukup lama terjebak di zona kontraksi. Sejak Juni 2019 hingga Januari 2020, PMI manufaktur ASEAN masih saja di bawah 50.



Pangkal masalah ini adalah perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China yang berlangsung selama nyaris dua tahun. Dua negara tersebut saling hambat di bidang perdagangan dengan berlomba-lomba mengenakan bea masuk. Total AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 360 miliar dan China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai lebih dari US$ 110 miliar.

Walau yang 'bertempur' adalah AS dan China, tetapi dunia merasakan getahnya. Globalisasi membuat perekonomian dunia saling terhubung, apa yang terjadi di suatu negara bakal mempengaruhi yang lainnya.

Saat produk China sulit masuk ke AS gara-gara tingginya bea masuk, demikian pula sebaliknya produk AS sulit menembus pasar China, maka dunia usaha kedua negara akan mengurangi produksi.

Ketika produktivitas di AS dan China menurun, otomatis permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut seret. Padahal AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia, pasar terbesar di kolong langit. Semua negara menjual barang kepada mereka.



Penurunan permintaan dirasakan oleh dunia usaha di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Saat permintaan turun, output industri juga tentu ikut turun sehingga tidak heran pertumbuhan sektor manufaktur melambat.

Rantai pasok global rusak gara-gara perang dagang AS-China. Seluruh dunia menjadi korbannya, tidak terkecuali Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular