Konflik Isreal-Palestina, Jalan Mendaki Demi Eksistensi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 January 2020 13:58
Konflik Isreal-Palestina, Jalan Mendaki Demi Eksistensi
Warga Palestina Membakar Bendera AS dan Israel (AP Photo/Mohammed Zaatari)
Jakarta, CNBC Indonesia - Israel dan Palestina bagai air dan minyak, tidak bisa disatukan. Perseteruan kedua negara tersebut sudah terjadi selama puluhan tahun dan belum ada penyelesaian yang memuaskan.

Terbaru, hubungan Isreal-Palestina memanas karena campur tangan Amerika Serikat (AS). Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membikin proposal perdamaian yang dinilai berat sebelah.

Sudah jadi rahasia umum bahwa AS dan Israel adalah sekutu sehidup-semati. Proposal buatan Trump-Netanyahu itu tidak melibatkan Palestina, dan dinilai melanggengkan pendudukan Israel di wilayah tersebut.


Ya, konflik Israel-Palestina sejatinya adalah perebutan wilayah. Pada era modern, awalnya wilayah yang kini menjadi teritori Israel dan Palestina dikuasai Inggris.

Ketika David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 1948, Israel mendapatkan 48% wilayah yang sebelumnya dikuasai Inggris. Setelah deklarasi ini, terjadi perang Arab-Israel. Israel menjadi pemenang dan kemudian menguasai 70% wilayah yang dahulu dikuasai Inggris.

Perebutan wilayah (dan pengaruh) ini menjadi inti konflik Arab-Israel hingga saat ini. Negara-negara Arab (plus Maroko di Afrika Utara) tidak mau mengakui kedaulatan Israel.


Ada 31 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara. Padahal PBB sudah mengakui keberadaan negara Israel melalui Resolusi No 273 tertanggal 11 Mei 1949.

Meski dimusuhi oleh negara-negara di sekitarnya, tetapi Israel tidak sendiri karena punya sekutu yang kuat. AS dan negara-negara Barat adalah sahabat erat mereka.


Berkebalikan dengan Israel, Palestina lebih susah mendapat status sebagai negara yang diakui dunia. Pada 2011, Presiden Palestina Mahmoud Abbas sudah memasukkan permintaan untuk menjadi anggota PBB.

Namun jalan ke arah sana sangat terjal. Untuk menjadi negara yang diakui PBB, Palestina harus mendapat suara dari dua pertiga anggota lainnya. Plus tidak ada veto.

Veto ini yang susah. AS, sebagai salah satu negara pendiri PBB, punya hak veto dan kemungkinan besar akan menggunakannya melawan kehendak Palestina menjadi anggota PBB.


Pada 2012, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi negara peninjau non-anggota di PBB. Permintaan tersebut disetujui melalui voting pada 29 November 2019 dan menjadi Resolusi No 67/19. Status ini disebut sebagai pengakuan de facto dari PBB bahwa Palestina adalah negara berdaulat.

Per Juli 2019, 138 dari 193 negara anggota PBB sudah mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara. Namun karena ada risiko veto dari AS, modal ini belum bisa dimanfaatkan untuk membuat Palestina menjadi anggota PBB.

Sudah banyak upaya diplomasi untuk menjembatani konflik Israel-Palestina seperti kesepakatan Camp David pada 2000. Namun sampai saat ini masih saja belum ada tanda-tanda perdamaian.

Dalam sidang Majelis Umum di New York pada 2012, terlihat bahwa upaya diplomasi melalui PBB tidak berhasil. Negara seperti Iran memilih walk out ketika perwakilan Israel menyampaikan pidato, begitu pula sebaliknya.

Konflik Israel-Palestina sejatinya adalah urusan eksistensi. Masing-masing ingin menjadi negara yang berdaulat dan diakui oleh dunia.

Masalahnya, konflik ini menjadi rumit karena melibatkan pihak luar. Jadi para 'beking' itu, baik di sisi Israel maupun Palestina, harus menyingkirkan ego mereka untuk mencapai resolusi atas konflik Israel-Palestina. Sebab peran mereka dominan dalam melanggengkan Israel-Palestina.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular