Jakarta, CNBC Indonesia - Perjanjian
nuklir antara
Iran dan sejumlah negara di 2015 lalu berbuntut panjang. Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dilakukan dengan China, Prancis, Rusia, Inggris, AS, termasuk Jerman dan negara Uni Eropa, kini di ujung tanduk.
Pasalnya, Iran mengingkari perjanjian tersebut. Alhasil tiga negara Eropa yakni Inggris, Jerman dan Prancis mengajukan mekanisme penyelesaian sengketa untuk Iran.
Iran pun kini terancam sanksi lagi. Negara ini mengancam bakal mengambil konsekuensi tertentu jika tiga negara tersebut mengambil tindakan yang merugikan Iran.
Lalu bagaimana sebenarnya masalah ini terjadi:
[Gambas:Video CNBC]
Semua terjadi sejak 208 lalu. Presiden AS Donald Trump merevisi kembali JCPOA dan menilai perjanjian itu tak cukup mengerem nuklir Iran.
JCPOA adalah perjanjian yang membatasi penelitian uranium Iran setidaknya hingga delapan tahun. Buntutnya Trump menarik AS dari perjanjian.
Bukan hanya itu, Iran pun dijatuhi sanksi ekonomi, yang sebelumnya pernah diberlakukan tapi ditarik karena kesepakatan nuklir yang disepakati di 2015. Dalam klausul JCPOA, Iran dibebaskan dari sanksi ekonomi baik dari organisasi multilateral maupun negara lain karena pengembangan nuklirnya.
Sanksi yang dijatuhkan ke AS termasuk sanksi perdagangan di mana Iran dipersulit dalam menjual minyaknya ke negara lain. Alhasil penjualan minyak mentah Iran lebih dari 80% dan akhirnya mengganggu ekonomi negara itu.
Tekanan dari AS membuat Iran ingin kembali melanjutkan program nuklirnya. Eropa pun berupaya untuk menyelamatkan perjanjian tersebut.
Namun, pada saat itu, Iran mengajukan syarat khusus pada Eropa. Iran menagih janji agar bisa mendapatkan dana sebesar US$ 15 miliar, sebagai mana dijanjikan Prancis.
Sebelumnya, Prancis memang mengusulkan pemberian kredit sebesar US$ 15 miliar hingga akhir 2019 jika Teheran mau kembali mematuhi perjanjian nuklir tahun 2015. Pemberian dana ini diberikan dengan skema pembelian minyak Iran.
"Kembalinya kami untuk mengimplementasikan secara penuh perjanjian nuklir tergantung pada penerimaan US$ 15 miliar selama periode empat bulan. Jika tidak, iniakan mengurangi komitmen Iran akan terus berlanjut," kata Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi sebagaimana dilansir Reuters pada September 2019.
"Eropa harus membeli minyak dari Iran atau memberi Iran jumlah yang setara dengan menjual minyak sebagai batas kredit yang dijamin oleh pendapatan minyak Iran, yang bisa diartikan sebagai pra-penjualan minyak,".
Sayangnya langkah itu juga tergantung pada persetujuan AS. Karena tak kunjung terealisasi, Iran sempat menyalahkan Eropa atas keterpurukan perjanjian nuklir tersebut.
Pada 3 Januari 2020, hubungan Iran dan AS kembali memanas. Pasalnya AS melancarkan serangan yang menewaskan Jenderal Iran, Qasem Soleimnai.
Hal ini membuat Iran makin meradang. Beberapa hari setelah serangan, Iran akhirnya mengumumkan tidak akan membatasi lagi riset uranium, yang menjadi bahan bakar nuklir.
"(Pengembangan) nuklir Iran di semua lini, kini tidak lagi dibatasi," tulis AFP mengutip pernyataan pejabat pemerintah Iran.
Mulai dari kapasitas, level pengembangan, jumlah tidak lagi terikat dengan ketentuan yang sebelumnya disepakati dalam JCPOA.
Hal ini pun sempat membuat Trump berkomentar di Twitternya. "IRAN TIDAK AKAN PERNAH MEMILIKI SENJATA NUKLIR!" cuit Trump sebagaimana dikutip dari postingannya di akun @realDonaldTrump sehari setelah pengumuman Iran.
Hal tersebut akhirnya membuat pemimpin Inggris, Prancis dan Jerman membawa masalah ini ke Komisi Bersama di bawah mekanisme penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam kesepakatan nuklir tersebut.
"Eropa tidak bisa lagi membiarkan pelanggaran Iran terhadap perjanjian nuklir tanpa kejelasan," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dikutip Time.
Sementara itu, perwakilan pemerintah AS mengaku mendukung langkah tiga negara Eropa tersebut.
"Kami sangat mendukung keputusan ... menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa," kata juru bicara AS yang tak disebutkan namanya, dalam sebuah pernyataan seperti ditulis AFP.
Langkah ini membuat Iran kecewa. Pasalnya negara itu kemungkinan terancam sanksi lagi.
"Tentu jika Eropa ... memilih mengingkari (proses ini), mereka harus bersiap menerima konsekuensinya," tegas pejabat kementerian luar negeri Iran sebagaimana dikutip AFP.