
Jadi World War III Batal Meletus?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 January 2020 14:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran yang memanas akhir-akhir ini membuat banyak pihak berspekulasi bahwa perang dunia ketiga (World War III) akan meletus. Namun sikap Trump yang 'tampak' melunak tercermin dalam pidatonya kemarin, seolah menunjukkan perang bukanlah jalan yang ingin ditempuh.
AS dan Iran memang mengalami pasang surut hubungan hampir 7 dekade. Semua berawal dari momen pasca perang dunia II. Saat itu Iran berusaha menasionalisasi aset tambang minyaknya. Namun Inggris tak menyukai hal tersebut. Dengan bantuan CIA, pemerintahan Mossadegh tumbang dan digantikan oleh Shah Reza Pahlevi. Peristiwa itu terjadi tahun 1953.
Sejak peristiwa itu, AS-Iran mulai membangun hubungan yang terbilang mesra. Pada 1957 keduanya bahkan kedua negara terlibat dalam kerja sama nuklir sipil. Di bawah pemerintahan Shah Reza Pahlevi, hubungan Iran dan AS adem ayem.
Hingga akhirnya 20 tahun lebih berselang, tepatnya 1979 revolusi besar-besaran di Iran terjadi. Rezim Shah Reza Pahlevi jatuh dan digantikan oleh pemimpin sekaligus ulama syiah revolusioner Ayatollah Rohullah Khomeini.
Sejak saat itu hubungan AS-Iran menjadi panas. Hubungan yang dulunya mesra, setelah itu hubungan dua negara ini diwarnai dengan saling tuding dan saling serang. Pada 1980 AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Pada 1984, AS mulai menuding Iran sebagai negara yang mensponsori tindakan terorisme. Kala itu Presiden AS George W Bush mengatakan Iran merupakan salah satu bagian dari poros kejahatan bersama Irak dan Korea Utara.
Hubungan kembali membaik kala AS dinakhodai oleh Barrack Obama pada 2009. Kala itu AS melakukan perundingan bersama Iran dan negara besar lain di Oman untuk membahas program nuklir Iran.
Pada 2015 Iran setuju untuk mengurangi peningkatan uranium. Namun sebagai gantinya Iran meminta sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut. Negara-negara Barat menyetujuinya dengan harapan dapat menghambat Iran untuk mengembangkan senjata pemusnah masal.
Di masa Trump hubungan AS dan Iran kembali menegang. Pada lawatan pertamanya ke Arab Saudi Mei 2017, Presiden Donald Trump menyampaikan pidato sepanjang 30 menit dan mengklaim Iran sebagai negara yang bertanggungjawab atas munculnya ekstrimis di berbagai wilayah terutama di Riyadh.
Setahun setelah lawatannya tersebut, Trump ogah menandatangani perjanjian nuklir dengan Iran alias mundur. Sanksi ekonomi pun kembali dikenakan.
Trump berkeyakinan bahwa perjanjian tersebut tak akan berdampak apa-apa. Perjanjian tersebut tak mampu membatasi program misil balistik nuklir Iran maupun agresi yang diluncurkan ke wilayah sekitarnya.
AS dan Iran memang mengalami pasang surut hubungan hampir 7 dekade. Semua berawal dari momen pasca perang dunia II. Saat itu Iran berusaha menasionalisasi aset tambang minyaknya. Namun Inggris tak menyukai hal tersebut. Dengan bantuan CIA, pemerintahan Mossadegh tumbang dan digantikan oleh Shah Reza Pahlevi. Peristiwa itu terjadi tahun 1953.
Sejak saat itu hubungan AS-Iran menjadi panas. Hubungan yang dulunya mesra, setelah itu hubungan dua negara ini diwarnai dengan saling tuding dan saling serang. Pada 1980 AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Pada 1984, AS mulai menuding Iran sebagai negara yang mensponsori tindakan terorisme. Kala itu Presiden AS George W Bush mengatakan Iran merupakan salah satu bagian dari poros kejahatan bersama Irak dan Korea Utara.
Hubungan kembali membaik kala AS dinakhodai oleh Barrack Obama pada 2009. Kala itu AS melakukan perundingan bersama Iran dan negara besar lain di Oman untuk membahas program nuklir Iran.
Pada 2015 Iran setuju untuk mengurangi peningkatan uranium. Namun sebagai gantinya Iran meminta sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut. Negara-negara Barat menyetujuinya dengan harapan dapat menghambat Iran untuk mengembangkan senjata pemusnah masal.
Di masa Trump hubungan AS dan Iran kembali menegang. Pada lawatan pertamanya ke Arab Saudi Mei 2017, Presiden Donald Trump menyampaikan pidato sepanjang 30 menit dan mengklaim Iran sebagai negara yang bertanggungjawab atas munculnya ekstrimis di berbagai wilayah terutama di Riyadh.
Setahun setelah lawatannya tersebut, Trump ogah menandatangani perjanjian nuklir dengan Iran alias mundur. Sanksi ekonomi pun kembali dikenakan.
Trump berkeyakinan bahwa perjanjian tersebut tak akan berdampak apa-apa. Perjanjian tersebut tak mampu membatasi program misil balistik nuklir Iran maupun agresi yang diluncurkan ke wilayah sekitarnya.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular