Harga Gas Bukan Tahu Bulat, Pak Jokowi! Susah Mendadak Murah

Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
07 January 2020 14:08
Harga Gas Bukan Tahu Bulat, Pak Jokowi! Susah Mendadak Murah
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di Istana Negara untuk membahas soal harga gas Industri. Jokowi menginginkan harga gas untuk industri bisa ditekan semurah-murahnya, kalau bisa jadi cuma US$ 6 per MMBTU.

Soal harga gas ini memang jadi polemik sejak dulu, bahkan Jokowi menyebut sejak 2016. "Ini sudah terjadi sejak 2016, nggak beres-beres. Saya harus cari terobosan," kata Jokowi, Senin (6/01/2020).

Lantas apa yang menyebabkan harga gas untuk industri di Indonesia tergolong tinggi?

Bicara harga gas industri tidak bisa dilihat secara parsial, tapi harus dilihat secara komprehensif dari sektor hulu sampai hilir. Artinya, di sini disinggung mulai dari upaya pencarian atau eksplorasi gas bumi, pencarian pasar untuk membeli gas bumi, pembangunan infrastruktur untuk menampung gas bumi, sampai distribusi dan dikonsumsi langsung oleh end user yang juga membutuhkan infrastruktur.

Ada rantai yang panjang dari mengambil gas di perut bumi sampai bisa disedot oleh pelanggan industri. Singkat kata, bukan masalah yang ujug-ujug bisa selesai murah dan cepat, ibarat slogan pedagang tahu bulat "Tahu, bulat, digoreng, dadakan, lima ratusan..."

[Gambas:Video CNBC]



Selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, industri gas bumi di Indonesia bisa dibilang tidak begitu dilirik pemerintah. Permasalahan pun bermacam-macam, mulai dari kontrak yang beragam antara KKKS (Kontraktor-kontrak Kerja Sama) dengan pembeli gas, infrastruktur yang belum terbangun atau terbangun tapi tidak terkoneksi dan terintegrasi, sampai hadirnya trader yang bikin harga bertumpuk.

Baru belakangan, pemerintah terbitkan regulasi dan mengotak-atik skema untuk membenahi tata kelola gas bumi. Hasilnya, tentu saja masih perlu menunggu waktu tak bisa cepat seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.



Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin menyebut salah satu biang kerok mahalnya harga gas industri adalah harga yang terlalu tinggi di sektor hulu.

"Harga bahan baku gas di hulunya kita tinggi, jadi bahkan sebelum sampai ke PGN sudah di atas US$ 5 (per MMBTU), rata-rata US$ 5-7," kata Budi di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Senin (6/1/20).

Melihat tingginya harga gas di hulu juga tidak bisa dipukul rata. Perlu dilihat lagi di balik tingginya harga gas tersebut, misal soal tantangan pengembangan di lapangan. Harga gas yang diambil dari lepas pantai dan laut dalam, tentu beda dengan yang ada di daratan.

Untuk mengembangkan lapangan gas, kontraktor juga memerlukan kepastian pembeli agar bisa dihitung keekonomiannya. Acapkali lapangan gas ditemukan jauh lebih dulu ketimbang tumbuhnya permintaan industri.



Kontraktor, rata-rata butuh kepastian pembeli jangka panjang 5 sampai 20 tahun. Sementara, Indonesia kerap tidak bisa memberi jaminan penyerapan gas ini.

Ini pernah diungkap oleh mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pada 2018 lalu, saat polemik harga gas industri mencuat.

"Kita tidak bisa pastikan demand dalam 7 tahun, siapa yang bisa pastikan deman dalam 20 tahun. Persoalan di kementerian, kami komitmen untuk deliver 100 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) 2018, yang terjadi off taker tidak ada," kata Arcandra saat memberi sambutan di acara The 7th International Indonesia Gas Infrastructure Conference & Exhibition IndoPIPE 2018, di Hotel Pullman, Selasa (25/9/2018).

Dampaknya, ia melanjutkan, beralih ke mekanisme take or pay. Lalu, ketidakpastian permintaan ini dirusak lagi dengan kontrak yang tidak jelas. Yakni, menggunakan kata "dapat" yang bisa diartikan iya atau tidak, terutama terkait harga gas.

Ketidakpastian di sektor hulu inilah yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Jokowi, sebelum obrak-abrik harga gas industri di sisi hilir.

Perlu dicatat, berdasar RUEN, kebutuhan atas gas pada 2025 sebesar 9.200 MMSCFD. Bila Proyek Strategis Nasional (PSN) kategori migas yaitu Blok Masela, Indonesia Deep Water (IDD), Jambaran Tiung Biru, Jangkrik, dan Tangguh Train 3 telah rampung, produksi gas diyakini akan melebihi jumlah tersebut. Ini perlu segera disiati agar bisa terserap.

Tambahan lainnya, pemerintah juga harus mengingat bahwa harga gas di hulu sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Sehingga langkah awal yang perlu dilakukan adalah review harga kontrak gas yang ada saat ini dan rencana ke depan.

Pembenahan tata kelola gas dimulai sejak 2016, sejak Presiden Jokowi mengamanatkan penurunan harga gas dengan terbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Dalam aturan disebut 7 jenis industri dapat menikmati penurunan harga gas, yakni industri baja, pupuk, petrokimia, keramik, kaca, sarung tangan, dan oleochemical.

Sejak saat itu, selain repot mengevaluasi di sisi hulu, juga diterbitkan berbagai regulasi untuk menata sektor hilir. Salah satunya adalah memberantas trader gas yang bertumpuk, yang sering disebut-sebut bikin harga gas bengkak di hilir.

Kementerian ESDM pun merilis aturan untuk berantas trader gas ini, yakni dengan penerbitan Permen 6/2016, di mana kegiatan usaha niaga gas dengan dua atau lebih pemegang izin yang berbisnis dalam satu ruas pipa telah dilarang. Sebab, hal tersebut menjadi penyebab harga gas yang mahal di tingkat konsumen.

Pemerintah bahkan mewajibkan trader gas membangun infrastruktur gas. Hasilnya baru terlihat di 2018, sebanyak 21 badan usaha atau trader gas sudah sepakat untuk berbisnis sesuai aturan. Harga gas pun ditetapkan sesuai aturan yang berlaku dan pembagian margin ditentukan trader secara business to business.

Adapun batasan margin untuk trader gas, maksimal sebesar 7%. Selain itu, tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR) trader gas dipatok maksimal 11%.

Tapi tantangan belum berhenti di situ. Sektor hilir adalah kunci untuk berkembangnya gas di sektor hulu, selama hilir masih kesulitan bangun infrastruktur maka produsen gas akan lebih pilih ekspor gas ke luar negeri.

Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) pernah menghitung, jika benar-benar serius terintegasi dari hulu ke hilir, harga gas bahkan bisa ditekan sampai US$ 2 per MMBTU. Tapi di sini badan usaha tidak bisa bekerja sendiri, perlu dukungan dan insentif dari pemerintah.

Salah satu upaya yang bisa diberikan pemerintah adalah dengan sediakan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di mana lahan diberikan gratis oleh Pemerintah/

Selain lahan diberikan gratis, berikutnya dibutuhkan jaminan pemerintah, tax holiday di hilir, dan percepatan insentif. Harga gas US$ 2 juga diyakini dapat tercipta selama industri di hilir bisa menyerap seluruh pasokan yang ada. Maka dari itu, Pemerintah perlu juga memberi insentif seperti tax holiday di downstream dan percepatan insentif.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular