Kelar Marah-marah BBM, Jokowi Kini Jengkel Soal Harga Gas

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
07 January 2020 08:45
Presiden kembali menunjukan ekspresi kekesalan karena masalah di sektor energi yang tak kunjung rampung
Foto: CNBC Indonesia TV
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menunjukan ekspresi kekesalan karena masalah di sektor energi yang tak kunjung rampung.

Setelah sebelumnya, Jokowi marah-marah gara-gara impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bikin defisit, kini Jokowi kembali jengkel gara-gara harga gas industri mahal dan susah turun.


Senin (6/01/2020), di depan jajaran menteri dalam rapat terbatas dengan topik pembahasan 'Ketersediaan Gas untuk Industri', Jokowi menumpahkan kekesalannya.

Jokowi mengaku tidak habis pikir mengapa upaya yang selama ini pemerintah lakukan demi menurunkan harga gas industri tidak kunjung berhasil. Padahal, penting untuk memberikan kepastian.

"Sudah beberapa kali kita berbicara mengenai ini, tetapi sampai detik ini kita belum bisa menyelesaikan mengenai harga gas kita yang mahal," katanya.

Jokowi menegaskan gas tidak semata-mata sebagai komoditas saja, namun juga jadi model pembangunan yang akan memperkuat industri nasional.

Pemerintah mencatat, saat ini ada sekitar 6 industri yang menggunakan gas. Di antaranya pembangkit listrik, industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, hingga industri gelas.

 "Artinya ketika porsi gas sangat besar pada struktur biaya produksi, maka harga gas akan sangat berpengaruh pada daya saing produk industri kita di pasar dunia," tegas Jokowi.

Jokowi pun meminta agar para jajaranya mengkalkulasi harga gas agar lebih kompetitif. Menurut Jokowi, produk yang kita hasilkan akan terus-terusan kalah jika harga gasnya mahal.

"Karena itu saya minta soal harga gas betul-betul dihitung, di kalkulasi agar lebih kompetitif. Coba dilihat betul penyebab tingginya harga gas mulai dari harga di hulu, di tingkat lapangan gas, di tengah terkait dengan biaya penyaluran gas, biaya transmisi gas, di tengah infrastruktur yang belum terintegrasi dan sampai di hilir di distributor," jelasnya.


Sementara itu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan hasil rapat terbatas di Istana Negara merumuskan 3 opsi sebagai solusi menekan harga gas.

Mulai dari pemangkasan jatah gas buat pemerintah, rencana pemberlakuan DMO gas, dan terakhir adalah opsi untuk membuka keran impor gas. 

"Ini yang akan dikaji 3 bulan ke depan, diharapkan bisa ada kesimpulan untuk memilih opsi mana yang terbaik," ujarnya.

Dwi menerangkan, jika opsi pertama yang diambil yakni jatah pemerintah di sektor hulu dihapus artinya akan ada dampak di penerimaan negara.

"Ada penurunan di perpajakan tentu harus ada kenaikan pajak di sektor lain. Ada jaminan industri akan naik," katanya.

Opsi kedua adalah pemberlakuan DMO gas seperti batu bara, yang menurut Dwi masih dikaji juga. Lalu opsi terakhir adalah impor. Dwi mengaku keberatan pada opsi ini, sebab perlu dipertimbangkan soal kondisi defisit migas yang berkali-kali juga disinggung oleh Presiden Joko Widodo.

"Defisit di perdagangan migas akan nambah, harus dikaji. Kompensasinya buat defisit yang bagaimana," ungkapnya. Opsi-opsi ini masih akan dikaji 3 bulan ke depan.

Menteri ESDM Arifin Tasrif di kesempatan yang sama juga menambahkan masih banyak hal yang didiskusikan, terutama dengan Kementerian Keuangan sebelum diputuskan hingga 3 bulan ini. Terutama untuk opsi di mana akan memangkas jatah pemerintah di sisi penerimaan hulu migas, dengan nilai sekitar US$ 2 per MMBTU.

"Ini dianggap memberikan beban tersendiri untuk komponen harga gas, ini bagian bagi hasil KKKS," kata mantan Dirut Pupuk Indonesia itu.

[Gambas:Video CNBC]
















(sef/sef) Next Article Pak Jokowi, Ada Usul Industri Penerima 'Gas Murah' Ditambah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular