Industri Teriak Hanya Dapat 60% Gas Murah, Sisanya Harus Bayar Mahal

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
07 October 2025 13:15
ABB meresmikan fasilitas manufaktur baru yang memproduksi Gas Insulated Switchgear (GIS) tegangan tinggi di Tangerang. Fasilitas ini dibangun untuk memenuhi peningkatan permintaan pasokan listrik di Indonesia. (dok. ABB Indonesia)
Foto: Ilustrasi Suasana pabrik yang memproduksi Gas Insulated Switchgear (GIS) tegangan tinggi di Tangerang. (dok. ABB Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha industri mengeluhkan implementasi harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk sektor industri. Pasalnya, pelaksanaan HGBT di lapangan masih jauh dari harapan karena pasokan gas bersubsidi itu belum mencukupi kebutuhan industri.

"Teman-teman industri kadang menyampaikan uneg-uneg gimana industri tumbuh jika suplai gas tidak tercukupi. Kadang suplai gas hanya 60% dari kebutuhan," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin di Menara Kadin, Selasa (7/10/2025).

Pemerintah sebelumnya menetapkan HGBT sebesar USD6 per MMBTU sejak 2016 sebagai insentif bagi tujuh sektor industri strategis, belakangan naik menjadi USD7 per MMBTU. Namun faktanya, para pelaku industri kerap tidak menerima 100% gas dengan harga subsidi tersebut. Mereka terpaksa membeli sisanya dengan harga pasar yang jauh lebih tinggi.

"Ketika saya di dalam (Menteri Perindustrian) 2015 harganya USD6 per MMBTU, sekarang HGBT USD7 per MMBTU, tapi dalam pelaksanaannya industri hanya mendapat 60% dari gas HGBT, sisanya kawan-kawan membeli dengan harga pasar, kalau nggak salah USD16,77 per MMBTU, ini tentu tinggi, akibatnya produk industri kita daya saingnya tidak kuat, dikhawatirkan lama-lama barang jadi (impor) yang masuk," lanjut Saleh.

Ia juga mengungkapkan banyak pelaku industri merasa dibebani karena belum mendapatkan jatah penuh HGBT namun sudah harus membayar harga pasar. Hal ini berpotensi melemahkan daya saing industri nasional bahkan mengancam kelangsungan bisnis.

"Kadang kawan-kawan teriak, saya nggak mendapat suplai gas sesuai produksi yang diharapkan. Pemikiran kami jika lebih dari penggunaan baru boleh dengan harga pasar, tapi jangan sampai belum digunakan 100% malah harus membayar dengan harga pasar, ini memberatkan industri, daya saing produk kurang, dikhawatirkan nanti akhirnya mati dan untuk bangkit lagi sulit," tegasnya.

Tak hanya itu, ancaman relokasi industri juga menjadi kekhawatiran. Menurut Saleh, biaya energi yang tinggi di dalam negeri bisa membuat pelaku usaha memilih pindah ke negara lain yang menawarkan tarif lebih kompetitif.

"Atau juga kalau misalnya terlalu tinggi juga bisa-bisa beberapa industri lari ke negara tetangga yang harga energi lebih kompetitif, nanti barang jadi yang masuk ke kita. Ketika barang jadi yang masuk akhirnya kita nggak dapat nilai tambah dan lapangan kerja nggak tercipta, Hal ini harus jadi perhatian pemerintah," ujar Saleh.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menperin Buka Peluang Impor Gas Industri, Ini Alasan dan Syaratnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular