
Duh! Industri Baja RI di Ambang Kematian
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
20 December 2019 12:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha baja nasional berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melindungi industri baja nasional yang tengah tertekan akibat serbuan baja impor yang umumnya berasal dari China.
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan serbuan impor baja itu membuat utilisasi produksi baja nasional sangat rendah, hanya 43%. Tekanan amat dirasakan industri hilir baja.
"Kita saat ini mengimpor banyak produk-produk hilir baja. Ini akan mematikan industri hilir, belum Krakatau Steel," kata Silmy di Jakarta, belum lama ini.
Tahun 2018 volume impor mencapai 6,07 juta ton di mana baja paduan sebanyak 2,85 juta ton atau 47% dari total impor. Keadaan inilah yang mengganggu pasar produsen nasional. Silmy menyebut derasnya impor baja terjadi lewat praktik pengalihan pos tarif (HS code) dari baja karbon menjadi paduan (alloy).
Harga baja paduan impor dari China sangat murah lantaran eksportir di sana mendapatkan keunggulan tax rebate atau insentif sebesar 9%-13%. Negara pemasok baja impor khususnya China terhindari dari bea masuk anti dumping 20% karena ada perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
Namun, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto menjelaskan impor baja terjadi karena industri hulu masih fokus memproduksi baja untuk konstruksi ketimbang untuk mesin.
Akibatnya, kebutuhan baja untuk industri hilir tak tercukupi, misalnya baja untuk mesin. Bahkan Indonesia juga masih harus impor komponen baja untuk membuat bodi kulkas. Itu yang membuat impor baja menjadi tinggi.
"Nah ini kondisi pabrik kita di dalam negeri memang masih fokus di baja-baja konstruksi," kata Harjanto dikutip dari detikcom.
Meski demikian, yang tetap menjadi catatan adalah rendahnya utilisasi produksi baja nasional. Pabrik baja tutup dan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di pabrik baja.
Silmy mengklaim 7 pabrik baja sudah tutup. Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan Direktur Eksekutif IISIA Yerry Idroes. Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu, dia mengklaim hanya 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi.
Untuk keluar dari masalah ini, industri baja nasional harus dilindungi. Silmy mengaku nasib industri baja nasional saat ini sudah dalam 'bahaya'.
Ia mengatakan instrument trade remedies untuk baja Hot Rolled Coils (HRC) dan Cold Rolled Coils (CRC) perlu dimaksimalkan. Sama halnya untuk produk hilir coated sheet juga perlu perhatian.
"Bea Masuk Anti Dumping untuk HRC dan CRC sebaiknya sampai ke hilir juga. Kemudian penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) harus wajib, jangan sukarela. Ini bahaya," kata Silmy.
(hoi/hoi) Next Article Sedih! Industri Baja RI Sangat Terpuruk, Menunggu Ambruk
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan serbuan impor baja itu membuat utilisasi produksi baja nasional sangat rendah, hanya 43%. Tekanan amat dirasakan industri hilir baja.
"Kita saat ini mengimpor banyak produk-produk hilir baja. Ini akan mematikan industri hilir, belum Krakatau Steel," kata Silmy di Jakarta, belum lama ini.
Harga baja paduan impor dari China sangat murah lantaran eksportir di sana mendapatkan keunggulan tax rebate atau insentif sebesar 9%-13%. Negara pemasok baja impor khususnya China terhindari dari bea masuk anti dumping 20% karena ada perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
Namun, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto menjelaskan impor baja terjadi karena industri hulu masih fokus memproduksi baja untuk konstruksi ketimbang untuk mesin.
Akibatnya, kebutuhan baja untuk industri hilir tak tercukupi, misalnya baja untuk mesin. Bahkan Indonesia juga masih harus impor komponen baja untuk membuat bodi kulkas. Itu yang membuat impor baja menjadi tinggi.
"Nah ini kondisi pabrik kita di dalam negeri memang masih fokus di baja-baja konstruksi," kata Harjanto dikutip dari detikcom.
Meski demikian, yang tetap menjadi catatan adalah rendahnya utilisasi produksi baja nasional. Pabrik baja tutup dan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di pabrik baja.
Silmy mengklaim 7 pabrik baja sudah tutup. Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan Direktur Eksekutif IISIA Yerry Idroes. Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu, dia mengklaim hanya 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi.
Untuk keluar dari masalah ini, industri baja nasional harus dilindungi. Silmy mengaku nasib industri baja nasional saat ini sudah dalam 'bahaya'.
Ia mengatakan instrument trade remedies untuk baja Hot Rolled Coils (HRC) dan Cold Rolled Coils (CRC) perlu dimaksimalkan. Sama halnya untuk produk hilir coated sheet juga perlu perhatian.
"Bea Masuk Anti Dumping untuk HRC dan CRC sebaiknya sampai ke hilir juga. Kemudian penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) harus wajib, jangan sukarela. Ini bahaya," kata Silmy.
(hoi/hoi) Next Article Sedih! Industri Baja RI Sangat Terpuruk, Menunggu Ambruk
Most Popular