Sedih! Industri Baja RI Sangat Terpuruk, Menunggu Ambruk

Efrem Siregar, CNBC Indonesia
19 November 2019 07:46
Industri baja masih belum lepas dari tekanan impor
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri baja nasional masih mengalami masalah kritis yang belum berkesudahan. Serbuan baja impor dari China sehingga membuat kapasitas produksi baja dalam negeri rendah karena sulit bersaing dengan produk impor, sebagai masalah klasik yang belum tuntas.

Ironisnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) yang harusnya jadi pelindung bagi industri baja nasional, justru jadi masalah teknis yang malah membuat produk baja lokal susah bersaing dengan produk impor.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), Yerry Idroes, mengatakan tantangan di lapangan adalah penerapan SNI. Jika dibiarkan, maka industri baja dalam negeri yang sudah mengikuti SNI akan sulit bersaing.



"Dari coated sheet dan cold rolled di atas standar base metal 0,2 [mm] tapi di bawahnya ada SNI sukarela 0,2 [mm] tapi belum wajib. Ini yang membuat mereka bebas impor dengan yang 0,17 [mm]," kata Yerry.

"Apa yang terjadi, ketika mereka impor 0,17 sementara kita diwajibkan 0,2 [mm]. Itu kan sudah ada beda sekitar 15 persen. Kalau ini terjadi, industri dalam negeri yang sudah mengikuti SNI kalah bersaing dengannya," kata Yerry dalam dialog di Squawk Box CNBC Indonesia, Senin (18/11/2019).

Industri baja yang sulit bersaing membuat, membuat tingkat utilisasi produksi baja lokal terbilang rendah di kisaran 33-66% akibat masuknya baja impor. Utilisasi atau tingkat pemanfaatan produksi dari kapasitas produksi ini terbilang sangat minim, susah untuk menjalankan roda bisnis bagi industri.

Selama ini, baja impor yang masuk ke pasar antara lain jenis HRC, CRC, WR Carbon, Bar Carbon, Bar Alloy, Section Carbon, Carbon Steel, Alloy Steel dan lainnya. Pada 2018 volume impor mencapai 6,07 juta ton dimana porsi baja paduan sebanyak 2,85 juta ton atau 47%.

Yerry menilai pentingnya Permendag 110/2018 tentang ketentuan impor besi baja dan baja panduan dan produk turunannya untuk menyelamatkan investasi yang sudah ada sekaligus menarik investasi baru di sektor hulu baja guna mengurangi gap impor.

Namun, Permendag ini dinilai belum efektif lantaran masih banyak outstanding SPI (Surat Perizinan Impor), selain itu regulasi tak efektif jika belum disertai Peraturan Menteri Keuangan termasuk di Bea Cukai.

Yerry tak mau berspekulasi siapa oknum yang bermain dalam memanfaatkan importasi ini. Memang, pedagang dalam hal ini adalah yang diuntungkan. Dia bahkan menyebut beberapa produsen sudah beralih juga menjadi pedagang karena situasi yang dihadapi saat ini. Beberapa lainnya sudah tak beroperasi lagi dan mem-PHK pegawainya.

"Kalau oknum yang diuntungkan, saya tidak komen di situ. Tapi yang jelas kami industri baja sangat terpuruk," kata Yerry.

Selain SNI dan tata niaga, upaya pemerintah untuk melindungi industri baja sudah sampai tahap perlindungan melalui tarif impor, misalnya Kementerian Keuangan memperpanjang masa bea masuk anti dumping terhadap produk impor besi atau baja berjenis H section dan I section yang berasal dari China.

Hal ini diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk H Section dan I Section dari Negara Republik Rakyat Tiongkok yang diteken 18 Maret 2019.

Namun, sialnya industri baja belum mampu bersaing dari derasya produk impor, termasuk dari China yang terkenal murah.

[Gambas:Video CNBC]


(hoi/hoi) Next Article Duh! Industri Baja RI di Ambang Kematian

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular