Sudah 11 Bulan Ekspor Tekor, RI Jangan Malu Tiru Vietnam!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2019 12:30
Sudah 11 Bulan Ekspor Tekor, RI Jangan Malu Tiru Vietnam!
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan internasional Indonesia belum kunjung membaik, ekspor dan impor masih sama-sama mengalami kontraksi. Tidak bisa dipungkiri, perlambatan ekonomi sudah menjangkiti Ibu Pertiwi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor September 2019 turun 5,74% year-on-year (YoY). Sementara impor turun 2,41% YoY.



Sebenarnya kontraksi ekspor dan impor lebih landai ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias negatif 6,1% YoY dan impor diperkirakan mengalami kontraksi 4,5% YoY.

Namun kenyataannya neraca perdagangan yang diramal surplus US$ 104,2 juta tidak terjadi. Malah yang ada defisit US$ 160 juta.



Seperti tahun lalu, net ekspor rasanya masih belum bisa diharapkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Justru yang ada malah menjadi beban, mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB).

Akibatnya, hampir mustahil mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti yang diasumsikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, mengungkapkan sepertinya pertumbuhan ekonomi 2019 berada di kisaran 5,1%.

Baca: Mohon Maaf, Ekonomi RI di 2019 Diramal Cuma 5,1%

Perlambatan ekonomi tidak bisa dihindari lagi. Perdagangan internasional yang negatif dan menjadi beban bagi seperti ini menjadi pelajaran berharga.

Ke depan, jangan lagi perdagangan Indonesia terlalu bergantung kepada komoditas. Sebab kala situasi ekonomi tidak menentu dan harga komoditas turun, ya seperti ini akibatnya.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



BPS mencatat ada dua komoditas ekspor utama Indonesia yaitu bahan bakar mineral (terutama batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (didominasi minyak sawit mentah/CPO). Sepanjang Januari-September, yang disebut pertama menyumbang 14,66% terhadap total ekspor sementara yang kedua berkontribusi 10,81%.

Celakanya, harga dua komoditas ini amblas. Dalam setahun terakhir, harga CPO turun 1,55% sedangkan batu bara anjlok 36,86%.

Harga Batu Bara dan CPO (Refinitiv)
 
Dalam 15 bulan terakhir, arus perdagangan dunia kacau-balau karena perang dagang. Tidak hanya Amerika Serikat (AS) vs China, tetapi ada AS vs Uni Eropa, AS vs Kanada-Meksiko, AS vs India, Jepang vs Korea Selatan, dan sebagainya.

Arus perdagangan rusak karena berbagai negara saling hambat. Akibatnya dunia usaha memilih mengurangi produksi, ekspansi ditunda dulu. Artinya, investasi pun melambat.

Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi global melambat. Permintaan global berkurang, dan kontraksi ekspor menjadi pemandangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia.

Baca: IMF: Ekonomi Dunia Fix Melambat, Perang Dagang Biang Keroknya

Akan tetapi, Indonesia merasakan lebih dari sekadar perlambatan ekonomi global. Indonesia menerima dua pukulan, yaitu perlambatan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas. Double hit itu memukul telak ekspor Indonesia sehingga terkontraksi 11 bulan beruntun.



"Kita dihadapkan kepada persoalan negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan berkurang. Ditambah dengan harga komoditas yang berfluktuasi cenderung menurun," ungkap Suhariyanto, Kepala BPS.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Morale of the story, Indonesia harus berubah. Jangan lagi mengandalkan komoditas mentah sebagai barang ekspor utama. Sebab kalau masih bergantung kepada komoditas, Indonesia akan terpukul dua kali saat perekonomian dunia bergejolak seperti saat ini.

Mungkin ini barang lama dan sudah sering dikemukakan, tetapi jangan pernah bosan. Indonesia harus menghidupkan kembali industri manufaktur. Ubah deindustrialisasi menjadi reindustrialisasi.



Saat produk manufaktur menjadi andalan ekspor, maka Indonesia akan menikmati hasil yang sangat menguntungkan. Ambil contoh negara tetangga, sang darling investor yang baru, yaitu Vietnam.

Satu hal yang menonjol dari Vietnam adalah kinerja ekspor mereka. Sejak 2015, nilai ekspor Vietnam sudah melampaui Indonesia. Bahkan kini jurang itu semakin lebar.




Mengapa ekspor Vietnam bisa begitu pesat? Sebab tidak seperti Indonesia, Vietnam tidak mengandalkan komoditas.

Pada 2018, 40,4% ekspor Vietnam adalah mesin dan alat elektronik. Kemudian disusul oleh alas kaki (7,8%) dan mesin termasuk komputer (5,5%).

Dengan begitu, terlihat nyata bahwa ekspor Vietnam lebih berkualitas dan mahal. Mana yang harganya lebih tinggi, menjual 1 kg batu bara atau 1 kg alat elektronik?



TIM RISET CNBC INDONESIA




(aji/aji) Next Article Neraca Dagang Memang Surplus, Tapi Jangan Senang Dulu!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular