Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengumpulkan para menterinya hari ini. Untuk kali kesekian, eks gubernur DKI Jakarta itu menagih janji para menteri untuk menyusun kebijakan ramah investasi.
Wajar jika Jokowi begitu menyoroti investasi. Sebab investasi menjadi kunci agar Indonesia bisa meredam perlambatan ekonomi.
Dengan investasi, maka akan tercipta lapangan kerja baru sehingga konsumsi rumah tangga tetap terjaga. Investasi juga bisa mendorong kinerja ekspor. Ketika investasi, konsumsi, dan ekspor tumbuh bersamaan maka hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang cepat dan kuat.
"Ratas (Rapat Terbatas) ini kelanjutan dari rapat terdahulu dalam rangka upaya yang diperlukan dalam mendorong terciptanya sebuah ekosistem usaha yang mendukung investasi. Dari informasi yang saya terima, ekonomi global yang melambat. Banyak negara masuk pada resesi. Oleh sebab itu kita berpacu dalam waktu dan harus bergerak cepat dengan pemangkasan deregulasi yang menghambat," tegas Jokowi.
Mengutip riset Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) berjudul Checklist for Foreign Direct Investment Incentive Policy, setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat investor berkenan menanamkan modalnya yaitu:
- Kebijakan yang bisa diperkirakan (predictable) dan tidak diskriminatif.
- Lingkungan makroekonomi yang stabil, termasuk kemudahan mengakses pasar internasional.
- Sumber daya yang memadai termasuk manusia dan infrastruktur.
Poin yang disebut pertama cukup menarik, yaitu kebijakan non-diskriminatif. Masalahnya, ada tendensi Indonesia mempraktikkan kebijakan semacam itu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kebijakan yang ditempuh adalah pengutamaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mendorong perekonomian. Pemerintah memberikan berbagai keberpihakan, mulai dari penugasan hingga penyikapan fiskal.
Dari sisi fiskal, pemerintahan Jokowi getol memberikan 'subsidi' berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015, anggaran perdana Jokowi sebagai RI-1, pagu PMN mencapai Rp 71,66 triliun.
Menurut Jokowi kala itu, memberikan uang dari APBN kepada BUMN jauh lebih berguna ketimbang ke kementerian. Dia menilai Rp 1 yang diberikan kepada BUMN bisa diangkat (leverage) menjadi berkali lipat, sementara kalau disalurkan ke kementerian hasilnya tetap Rp 1.
Pemerintah pun memberikan penugasan kepada BUMN untuk membangun proyek-proyek infrastruktur. Untuk menyelesaikan penugasan itu, BUMN menjadikan modal dari PMN untuk menarik utang.
Baca: Genjot Infrastruktur, BUMN Jadi Risiko Besar APBN
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Well, dari skema ini saja sudah berisiko menimbulkan masalah. Pertama, BUMN kini menanggung beban utang akibat penugasan pemerintah.
Laporan lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, dua BUMN karya yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) akan mengalami kesulitan dalam menurunkan beban utang. Fitch mencatat leverage WIKA pada semester I-2019 adalah 5,6 kali, naik dibandingkan periode yang sama pada 2018 yaitu 4 kali. Sementara leverage WSKT dalam waktu yang sama naik jadi 8,8 kali dari 7,2 kali.
Untuk membayar utang tersebut, bukan tidak mungkin WIKA dan WSKT akan mengakses pembiayaan dari pasar seperti penerbitan obligasi. Kalau ini terjadi, maka perebutan dana di pasar akan semakin ketat sehingga biaya menjadi lebih mahal. Hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi alias inefisiensi.
Baca: Fitch: Utang BUMN Karya Terdongkrak, Perlu Pembayaran Segera
Kedua, utang BUMN yang menggunung membuat perbankan ikut merasakan dampaknya. Wimboh Santoso, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), beberapa waktu lalu menyebut Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) sudah hampir mendekati puncak. Sebagai informasi, BMPK untuk BUMN adalah 30% dari modal seperti diatur di Peraturan OJK N0 32/POJK.03/2018.
Baca: Periode I Jokowi, Utang BUMN Karya Bertambah Rp 169 T Lebih
Ketiga, dan yang paling utama, BUMN yang mendapat beking dari pemerintah menjadi begitu dominan. Atas nama sinergi BUMN, nyaris tidak ada ruang bagi pemain swasta. Semua 'dimakan' BUMN, swasta nyaris tidak kebagian 'kue' aktivitas ekonomi.
Apa yang terjadi di Indonesia sangat pas dengan studi Dana Moneter Internasional (IMF) di negara-negara Eropa. Berdasarkan temuan IMF, peran BUMN yang terlalu dominan dan tidak disertai pengelolaan yang baik akan menyebabkan tiga hal, yaitu:
- Penularan risiko yang bisa menjadi beban anggaran negara.
- Risiko membahayakan stabilitas sistem keuangan.
- Minimnya dampak aktivitas BUMN terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Menarik saat menyimak pernyataan pemerhati BUMN, Wahyu Sakti Trenggono. Menurutnya, BUMN semestinya bersinergi dengan sektor swasta sehingga bisa mewujudkan harapan Jokowi, yaitu ekosistem yang mendukung investasi.
"BUMN harus menjadi agen pembangunan, bagaimana bisa menghidupkan industri lain di sektor yang sama sehingga ekosistem dapat terbentuk. Dampaknya ekonomi akan semakin menggeliat, dunia usaha bergerak, dan penerimaan pajak bisa tumbuh," jelasnya.
Selain itu, Trenggono juga mengatakan, BUMN harus fokus kepada bisnis intinya tanpa mengambil alih bisnis lain yang akan mematikan dunia usaha. BUMN yang jumlahnya besar ini harusnya bisa menjadi pendorong dan pembimbing bagi dunia usaha, sehingga ekonomi bisa kembali hidup dan berputar di tengah guncangan ekonomi global yang terjadi.
Bila BUMN terlalu mendominasi, lanjut Trenggono, tidak mungkin pihak swasta mau melakukan investasi. Karena semua bisnis mayoritas diambil oleh BUMN.
Sebelumnya hal yang sama juga dikatakan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Mantan Direktur Bank Dunia ini mengatakan investasi sulit masuk bila BUMN terlalu mendominasi seperti saat ini.
"Kalau kita ingin meningkatkan produktivitas, teknologi, dan inovasi, aturan investasinya, utamanya FDI, ini menjadi isu yang sangat kritikal. Investasi tidak akan datang kalau mereka lihat BUMN terlalu mendominasi," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Baca: Wah, Sri Mulyani Sindir Dominasi BUMN!
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]