
Genjot Infrastruktur, BUMN Jadi Risiko Besar APBN
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
26 August 2019 06:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Masifnya pembangunan infrastrukur di era pemerintahan Presiden Jokowi tidak hanya punya implikasi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) turut menjadi sumber risiko yang besar bagi defisit anggaran dalam APBN, akibat penugasan dari pemerintah.
Pembangunan infrastruktur yang begitu masif memang tidak cukup hanya mengandalkan sumber pembiayaan dari instrumen APBN. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menyebutkan, proyeksi kebutuhan infrastruktur selama periode 2015-2019 mencapai Rp 4.700 triliun. APBN diprediksi hanya mampu menutup 41,3% kebutuhan, sedangkan BUMN ditargetkan dapat menyumbang 22% atau Rp 1.034 triliun.
Kondisi ini dapat menyebabkan defisit anggaran, yang pada akhirnya pemerintah menutup celah defisit tersebut dengan berutang.
"Defisit fiskal tidak hanya diakibatkan oleh melesetnya penerimaan pajak ataupun membengkaknya belanja pemerintah pusat, tetapi juga dipengaruhi beban pemerintah kepada BUMN," kata Imaduddin, dalam diskusi daring INDEF bertajuk "Utang dan Defisit APBN" Minggu (25/8/2019).
Berdasarkan hasil macro stress test yang dipublikasi Kementerian Keuangan, hasil menunjukkan risiko BUMN terhadap APBN cukup signifikan.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, utang perusahaan pelat merah yang bersumber dari utang luar negeri (ULN) mengalami peningkatan. Pada 2018 jumlahnya sudah meningkat 36,91%. Pada triwulan kedua 2019, jumlahnya membengkak menjadi 43%.
Imaduddin juga mencermati, laba BUMN dalam tiga tahun belakangan trennya terus mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan beratnya tekanan yang ditanggung perusahaan pelat merah karena beberapa penugasan pemerintah seperti proyek infrastruktur.
Atas dasar itu, menurutnya, sudah sepatutnya pemerintah tidak lagi memaksakan BUMN mengerjakan penugasan pemerintah, apalagi bila proyek tersebut memang tidak layak secara bisnis.
Sebab, jika risiko bisnis yang ditanggung BUMN pada gilirannya juga akan berimbas terhadap APBN baik dari sisi pengeluaran, Penyertaan Modal Negara (PMN), maupun dari sisi penerimaan perpajakan. Indef menekankan, pemerintah harus lebih banyak melibatkan pihak swasta agar risiko bisnisnya tidak semakin membebani BUMN yang pada akhirnya akan berimbas pada APBN.
"Berikan BUMN kesempatan untuk mereview ulang feasibility study dari tiap proyek yang di inisiasi pemerintah, apakah proyek tersebut memang layak secara bisnis," jelas Imaduddin.
[Gambas:Video CNBC]
(hoi) Next Article Said Didu Bongkar Pemicu Utang BUMN Karya Bengkak Triliunan
Pembangunan infrastruktur yang begitu masif memang tidak cukup hanya mengandalkan sumber pembiayaan dari instrumen APBN. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menyebutkan, proyeksi kebutuhan infrastruktur selama periode 2015-2019 mencapai Rp 4.700 triliun. APBN diprediksi hanya mampu menutup 41,3% kebutuhan, sedangkan BUMN ditargetkan dapat menyumbang 22% atau Rp 1.034 triliun.
Kondisi ini dapat menyebabkan defisit anggaran, yang pada akhirnya pemerintah menutup celah defisit tersebut dengan berutang.
"Defisit fiskal tidak hanya diakibatkan oleh melesetnya penerimaan pajak ataupun membengkaknya belanja pemerintah pusat, tetapi juga dipengaruhi beban pemerintah kepada BUMN," kata Imaduddin, dalam diskusi daring INDEF bertajuk "Utang dan Defisit APBN" Minggu (25/8/2019).
Berdasarkan hasil macro stress test yang dipublikasi Kementerian Keuangan, hasil menunjukkan risiko BUMN terhadap APBN cukup signifikan.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, utang perusahaan pelat merah yang bersumber dari utang luar negeri (ULN) mengalami peningkatan. Pada 2018 jumlahnya sudah meningkat 36,91%. Pada triwulan kedua 2019, jumlahnya membengkak menjadi 43%.
Imaduddin juga mencermati, laba BUMN dalam tiga tahun belakangan trennya terus mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan beratnya tekanan yang ditanggung perusahaan pelat merah karena beberapa penugasan pemerintah seperti proyek infrastruktur.
Atas dasar itu, menurutnya, sudah sepatutnya pemerintah tidak lagi memaksakan BUMN mengerjakan penugasan pemerintah, apalagi bila proyek tersebut memang tidak layak secara bisnis.
Sebab, jika risiko bisnis yang ditanggung BUMN pada gilirannya juga akan berimbas terhadap APBN baik dari sisi pengeluaran, Penyertaan Modal Negara (PMN), maupun dari sisi penerimaan perpajakan. Indef menekankan, pemerintah harus lebih banyak melibatkan pihak swasta agar risiko bisnisnya tidak semakin membebani BUMN yang pada akhirnya akan berimbas pada APBN.
"Berikan BUMN kesempatan untuk mereview ulang feasibility study dari tiap proyek yang di inisiasi pemerintah, apakah proyek tersebut memang layak secara bisnis," jelas Imaduddin.
(hoi) Next Article Said Didu Bongkar Pemicu Utang BUMN Karya Bengkak Triliunan
Most Popular