Fitch: Utang BUMN Karya Terdongkrak, Perlu Pembayaran Segera

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
28 August 2019 19:03
Daya utang (leverage) BUMN karya kembali berada di posisi yang rentan, menurut Fitch Ratings.
Foto: Tol Balikpapan-Samarinda (Dok. Jasa Marga)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tingkat utang BUMN karya yang terus naik di tengah lemahnya penandatanganan kontrak baru serta lambatnya proses konstruksi pada kuartal II-2019 dinilai membahayakan daya utang (leverage) perusahaan-perusahaan pelat merah.

Dalam riset yang dirilis hari ini (28/8/19), Fitch Ratings menilai kondisi tersebut memicu risiko kegagalan untuk menurunkan tingkat utang mereka tahun depan secara material dari posisi sekarang, terutama bagi PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Risiko itu dapat berbuntut aksi melemahnya peringkat perusahaan.

Meski demikian, lembaga riset global tersebut juga memprediksi posisi leverage perusahaan konstruksi milik pemerintah akan melonggar pada semester II-2019 karena biasanya pada periode tersebut pembayaran akan diterima dari pemerintah dan dari pemberi kerja swasta.

Selain itu, berlanjutnya pemerintahan Joko Widodo dapat memicu dimulainya tender proyek infrastruktur dan mendorong didapatkannya kontrak baru bagi perusahaan infrastruktur pada semester II-2019. Pemerintah mendongkrak anggaran infrastruktur sebesar 4,9% (Year on Year/YoY) pada RAPBN 2020 menjadi Rp 419,2 triliun.

Fitch Ratings mencatat leverage WIKA saat ini, yang dihitung dari utang bersih disesuaikan terhadap EBITDAR 12 bulan terakhir yang disesuaikan, naik menjadi 5,6 kali pada semester I-2019 dari 4 kali pada kuartal I-2019. Untuk WSKT, level utang perusahaan yang dipimpin I Gusti Ngurah Putra itu naik menjadi 8,8 kali dari periode sebelumnya 7,2 kali.

EBITDAR adalah laba kotor yang dihitung sebelum memfaktorkan beban bunga, pajak, depresiasi, amortisasi, restrukturisasi/sewa (interest, tax, depreciation, amortization, and restructuring/rent cost).

WSKT dan WIKA adalah dua perusahaan BUMN karya terbesar baik dari sisi aset maupun dari sisi kapitalisasi pasar, disusul PT PP Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI). Berbasis harga pasar saat ini, kapitalisasi pasar duo kontraktor raksasa tersebut adalah Rp 23,69 triliun dan Rp 20,18 triliun, sedangkan nilai asetnya Rp 132,57 triliun dan Rp 59,64 triliun.

Secara umum, tingkat utang yang meningkat juga memperburuk kondisi perusahaan konstruksi milik pemerintah di mana pendapatan perseroan juga turun karena proyek baru yang tertahan di paruh tahun pertama mengingat bertepatan dengan ajang pilpres sedangkan arus modal keluar masih tetap terjadi.

Arus modal keluar WIKA terutama dialami pada tiga proyek utama dengan skema pembiayaan awal yang ditanggung kontraktor (turnkey/contractor pre-financing-CPF), di mana perusahaan baru akan menerima pembayaran sesuai termin waktu yang telah disepakati atau setelah pengerjaan konstruksinya rampung.

Modal kerja WIKA dan leverage-nya dapat melonggar pada paruh kedua tahun ini karena diprediksi akan menerima dana segar Rp 8,4 triliun pada kuartal IV-2019 dari rampungnya dua proyek CPF yaitu jalan tol Balikpapan-Samarinda dan Kunciran-Cengkareng bernilai proyek sekitar Rp 2,2 triliun.

Nilai kontrak Balikpapan-Samarinda diklaim emiten Rp 5,9 triliun dan saat ini pengerjaannya diklaim perusahaan sudah hampir selesai dan memiliki porsi penyelesaian hingga 92,88%. Selain dua proyek itu, satu proyek CPF lain yang sedang ditangani WIKA adalah jalan tol Serang-Panimbang yang nilai proyeknya Rp 3,56 triliun.

Leverage Waskita yang juga berkontraksi menjadi 8,8x pada semester I-2019 disebabkan perusahaan kembali menjadi pemodal awal proyeknya pada beberapa proyek turnkey (proyek yang dibangun dengan dana kontraktor dan dibayarkan setelah selesai) dan menjadi penyebab utama negatifnya arus kas perseroan pada semester I-2019.

Meskipun demikian, Fitch Ratings memprediksi leverage Waskita akan melonggar pada semester II-2019 karena diprediksi akan menerima pembayaran proyek turnkey senilai total Rp 25,2 triliun, di mana total utang perseroan pada akhir Juni Rp 77 triliun.

Kondisi itu didukung oleh selesainya pengerjaan proyek tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang di Lampung-Sumsel dan jalan tol Jakarta-Cikampek II yang pengerjaannya sudah mencapai 94% pada pertengahan Agustus.

Lebih jauh, turunnya porsi kontrak turnkey Waskita yaitu 46% dari 55% pada akhir 2018 dapat memicu membaiknya aliran arus kas, meskipun sifat margin dari kontrak non-turnkey cukup lebih rendah daripada proyek turnkey.

Arus kas utama untuk Waskita diprediksi pada Juli-Desember akan datang dari divestasi tol dan biaya penggantian (disbursement) dana pembebasan lahan yang sudah dikeluarkan perseroan.

Fitch juga menyatakan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) sudah menandatangani perjanjian dengan 29 entitas jalan tol, termasuk delapan di bawah Waskita, untuk mengganti dana pembebasan lahan Rp 28,4 triliun.

Lembaga pemeringkat itu juga memprediksi profitabilitas dan kontrak baru pada semester II-2019 akan didorong oleh tender jalan tol Balikpapan-Penajam senilai Rp 10,52 triliun karena Waskita berpotensi mengerjakan proyek konstruksinya karena menjadi perintis dari proyek tersebut.

Saat ini, harga saham WSKT turun 0,57% menjadi Rp 1.740 per saham dan membentuk kapitalisasi pasarnya menjadi Rp 23,61 triliun, dan saham WIKA naik 0,9% menjadi Rp 2.250 per saham dan membentuk kapitalisasi pasarnya Rp 20,18 triliun.

 


 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/irv) Next Article Bangun Proyek Jokowi, Utang 4 BUMN Karya Tembus Rp 218,88 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular