Subsidi Turun & Utang PLN, Wajarkah Tarif Listrik 2020 Naik?

Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
20 September 2019 06:42
Subsidi Turun & Utang PLN, Wajarkah Tarif Listrik 2020 Naik?
Jakarta, CNBC Indonesia- Nasib tarif listrik untuk tahun masih digantung sampai saat ini, jawaban pemerintah belum pasti apakah akan ada penyesuaian atau tetap.

Sebelum membahas ke tarif, perlu diketahui beberapa fakta terkait kondisi kelistrikan tahun depan. Berikut rangkuman CNBC Indonesia;

Subsidi Listrik Turun



Anggaran subsidi energi yang disepakati untuk 2020 adalah Rp 124,873 triliun, angka ini turun dibanding 2019 Rp157,7 triliun.

Rincinya:
Subsidi BBM dan LPG 3 Kg sebesar Rp 70,08 triliun,
Subsidi listrik sebesar Rp 54,79 triliun.

Untuk alokasi subsidi listrik 2020 ini lebih rendah dibanding APBN 2019 yang sebesar Rp 59,32 triliun.
Anggaran subsidi listrik mengalami penurunan yang disebabkan beberapa faktor, seperti asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) diubah menjadi US$ 63 per barel dari sebelumnya US$ 65 di RAPBN 2020.

Kedua, menghilangkan carry over subsidi energi listrik yang direncanakan pemerintah Rp 6 triliun di RAPBN 2020. Hal ini karena mendapat penolakan dari anggota Banggar DPR RI.

Ketiga, dihilangkannya subsidi listrik untuk daya 900 VA rumah tangga mampu (RTM) yang dinikmati oleh 24,4 juta masyarakat. Sedangkan, anggaran yang dihilangkan dari golongan ini Rp 6,96 triliun.



Berikutnya: Kondisi Keuangan PLN yang Kompleks 



Meski angka subsidi listrik sudah ditekan oleh pemerintah di tahun lalu, namun sebenarnya ada 'subsidi' lain yang dikucurkan pemerintah ke PT PLN (Persero) yang disebut sebagai kompensasi. Seperti diketahui, PLN tak menaikkan tarif listrik sejak 2017.

Ujungnya, pemerintah memberikan kompensasi kepada PLN, karena perusahaan listrik itu tidak melakukan penyesuaian tarif listrik, di saat biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi dibandingkan dengan harga jualnya.

Selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlahnya Rp 23,17 triliun.



Kompensasi inilah yang 'menyelamatkan' keuangan PLN pada tahun lalu. Laporan keuangan 2018 yang sudah diaudit mencatat laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 11,57 triliun, melonjak 162% dibandingkan perolehan laba 2017 yang sebesar Rp 4,41 triliun.

Salah satu komponen yang mendongkrak laba BUMN tersebut yakni adanya pendapatan kompensasi dari pemerintah, sebesar Rp 23,17 triliun terkait penggantian biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah, di mana selisih tersebut belum diperhitungkan dalam perolehan subsidi pemerintah.

Djoko Abumanan yang saat itu menjabat sebagai Plt Direktur Utama PLN menjelaskan, pendapatan kompensasi tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk PLN karena tidak menaikkan tarif listrik ketika kurs dolar dan harga minyak sedang melambung tinggi.

Adapun, lanjutnya, kompensasi tersebut juga merupakan upaya pemerintah dalam mengapresiasi PLN atas keberhasilan melaksanakan penugasan di daerah 3T. Sehingga pada akhirnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.



Pemberian Kompensasi kepada PLN atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia no 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara penjelasan Pasal 66.

Pasal tersebut menyatakan "Meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah".

Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak feasible, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.

Pada tahun 2017 dan 2018 pemberlakuan kenaikan tarif listrik tidak diijinkan, meskipun terjadi kenaikan Kurs Dollar Amerika dan Indonesia Crude Price (ICP). Dengan kondisi sehingga sesuai UU No 19 tahun 2003 PLN diberikan kompensasi oleh negara.

Diselamatkan Piutang
Selain kompensasi, keuangan PLN juga 'diselamatkan' oleh pembayaran piutang pemerintah di 2018 lalu.
Pembayaran piutang pemerintah yang diterima sebesar Rp 7,46 triliun.

Sama halnya dengan pendapatan kompensasi, piutang pemerintah tersebut terkait dengan penggantian BPP yang belum diperhitungkan dalam subsidi listrik di 2017.

Selain itu, juga tercatat ada transaksi penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas hingga Rp 4,04 triliun dari sebelumnya hanya sebesar Rp 688,33 miliar di 2017.

Nah, andai saja tidak ada pembayaran kompensasi dan pembayaran piutang pemerintah, alih-alih mencatatkan keuntungan, PLN justru akan tekor dan membukukan kerugian sebelum pajak hingga Rp 10,73 triliun.

Hal ini dikarenakan, sepanjang tahun lalu biaya bahan bakar terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas alam naik signifikan.

Biaya BBM melonjak 36,12% secara tahunan, dari Rp 23,32 triliun menjadi Rp 31,74 triliun. Sedangkan biaya gas alam naik 16,46% menjadi Rp 55,44 triliun dari sebelumnya senilai Rp 47,6 triliun.

Sementara itu, kerugian kurs yang dicatatkan perusahaan tahun lalu bahkan lebih besar dibandingkan 2017, di mana nilainya naik 272,27% YoY menjadi Rp 10,93 triliun.

Dengan demikian, dari segi operasional tahun lalu, perusahaan sejatinya belum membukukan kinerja yang memuaskan. Performa PLN tertolong dengan adanya pengakuan dan atau pembayaran piutang dari penggantian BPP.


Berikutnya: Utang PLN Semakin Tinggi  Posisi utang PT PLN (Persero) hingga kuartal I-2019 tercatat Rp 394,2 triliun. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari posisi akhir 2018 yang jumlahnya Rp387,4 triliun.

Sejak akhir 2015 hingga kuartal I-2019 ini, penambahan utang perusahaan tercatat Rp 160,7 triliun, yang sudah termasuk dalam jumlah Rp 394,2 triliun tersebut.

Kendati demikian, perseroan menegaskan kondisi masih sehat. Sebab, jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tambahan penyerapan investasi di periode yang sama, yang jumlahnya Rp 334,7 triliun. Posisi utang yang masih aman dan terjaga juga ditandai dengan total aset PLN yang hingga kuartal I-2019 yang sebesar Rp 1.500 triliun. Jumlah ini meningkat dibanding posisi akhir tahun yang sebesar Rp 1.492 triliun.

Adapun, dari jumlah posisi utang saat ini, bila dirinci terbagi atas mata uang dolar AS setara Rp 214,9 triliun, mata uang rupiah Rp 135,14 triliun, mata uang yen Jepang setara Rp 40,57 triliun, mata uang Euro setara Rp 3,4 triliun dan lainnya Rp 119 miliar

Besarnya biaya kompensasi yang mesti ditanggung 2018 kemarin untuk 'menyelamatkan' PLN tampaknya jadi pembelajaran tersendiri bagi pemerintah. Apalagi tahun ini, kondisi ekonomi serba tak pasti.

Wacana pengurangan kompensasi bahkan sampai setop pun mengemuka dari Kementerian Keuangan. Seperti subsidi listrik, "Kita lihat sejak 2016 pembayaran subsidi listrik realisasinya lebih tinggi dari yang dianggarkan. Karena ini untuk keperluan masyarakat tentu dibayarkan oleh pemerintah," papar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara di Gedung DPR RI, Selasa (25/6/2019).

Selalu ada risiko keuangan negara setiap subsidi membengkak dan hal ini yang coba diatasi pemerintah. Pemerintah ingin subsidi lebih tepat sasaran, sejak 2016 sudah mulai dilakukan pendataan dan pengelompokan keluarga mana yang akan menerima subsidi.

Di 2017, terdapat kebijakan pemerintah untuk tidak ada kenaikan tarif listrik sampai saat ini, yang berujung pemberian kompensasi puluhan triliun. "Namun kami tidak ingin berlarut-larut, karena itu salah satu arah kebijakan ke depan adalah kurangi kompensasi ini."

Ia menyadari kebijakan ini bakal berimplikasi nantinya baik ke keuangan BUMN maupun keuangan negara.

Termutakhir, pemerintah memastikan akan mencabut subsidi untuk listrik 900 Va terlebih dulu di tahun depan.

Kementerian ESDM berencana untuk menerapkan penyesuaian tarif (tariff adjustment) ke pelanggan listrik non-subsidi mulai 2020. Adapun, golongan pelanggan Rumah Tangga Mampu (RTM) 900 VA masuk dalam kajian yang dikenakan penyesuaian tarif tersebut.

Bukan tanpa alasan pelanggan RTM 900 VA masuk dalam kajian. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan, hal tersebut dilakukan agar pemerintah mampu mengurangi beban APBN dan mengalokasikan anggaran untuk membantu 710 ribu rumah tangga miskin di Indonesia yang tak mampu membayar biaya penyambungan listrik.

Jika penyesuaian tarif listrik tak diberlakukan, maka pemerintah kembali mensubsidi golongan 900 VA RTM yang sebenarnya masuk golongan pelanggan non-subsidi. Dalam data itu, diperkirakan jumlah pengguna listrik 900 VA RTM mencapai 24,4 juta dengan total konsumsi listriknya mencapai 30,57 tWh.

Rida menuturkan, jika 24,4 juta pelanggan 900 VA RTM tak disesuaikan tarif listriknya, negara harus menanggung beban sebesar Rp 5,90 triliun. Padahal, uang sebanyak itu bisa dialokasikan untuk pembangunan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular