
Ekonomi Lesu, INDEF Sebut PDB RI Hanya Tumbuh 5,1% di 2020
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
04 September 2019 15:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 hanya akan tumbuh di level 5,1%. Pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati, asumsi makro 2020 untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.
Ekonom Senior INDEF Aviliani mengutarakan ada beberapa katalis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan masih akan stagnan, yakni belum membaiknya harga komoditas seperti batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), sedangkan Indonesia sangat tergantung pada komoditas tersebut.
"Pertumbuhan ekonomi 2020 masih di kisaran 5,1%," kata Aviliani kepada CNBC Indonesia, Rabu (4/9/2019).
Katalis lainnya, kata Avi, sapaan akrabnya, adalah masih berlarutnya mengenai belum adanya kejelasan terkait Inggris yang akan keluar dari Uni Eropa (Brexit).
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson secara implisit telah memperingatkan para pembuat undang-undang di Parlemen Inggris, bahwa ia akan mengupayakan adanya pemilihan jika parlemen terus menahan Brexit dan mengesampingkan penundaan yang terus berlanjut terkait Brexit pada 31 Oktober mendatang.
"Tahun depan ada pemilu Amerika Serikat, banyak kebijakan populis yang dilakukan Trump," kata Aviliani menambahkan.
Faktor lainnya yang juga tidak bisa dielakkan adalah masih tereskalasinya konflik dagang antara Amerika Serikat dan China. Sejumput sentiman global itu, jelas Avi akan berdampak bagi perekonomian domestik karena menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
Alhasil, dengan kondisi seperti itu, investor akan cenderung menahan diri dan aliran investasi langsung ke Indonesia akan ikut terhambat. "Investor tidak akan berinvestasi dengan kondisi seperti sekarang," ungkapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai cukup berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di 2020. Namun, bukan tidak mungkin untuk dicapai jika pemerintah melakukan usaha lebih ekstra.
Menurut Suhariyanto, beberapa perbaikan harus dilakukan pemerintah untuk mendorong kinerja perekonomian domestik terutama perbaikan industri pengolahan atau manufaktur. Hal ini untuk meningkatkan porsi industri tersebut ke perekonomian yang saat ini terus mengalami penurunan.
"Kalau saya berharapnya itu tadi, ada sedikit pembenahan di industri pengolahan. Kuncinya ada di sana, kalau industri pengolahan itu bergerak naik, karena share-nya gede sekali 19,5%, jadi kalau ada pergerakan sedikit saja dia akan bisa menaikkan, karena bobotnya gede," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Langkah berikutnya melakukan perbaikan di sisi hilirisasi untuk menciptakan lapangan kerja. Dengan lapangan kerja yang bagus maka pendapatan masyarakat juga akan naik yang akan berdampak juga kepada kenaikan daya beli. Hilirisasi juga sangat erat dengan industri manufaktur. Selanjutnya, menumbuhkan daya beli masyarakat dinilai sebagai langkah yang lebih baik daripada terus berharap pada kinerja ekspor yang saat ini memang sulit untuk naik.
(dru) Next Article Loyo! PDB Kuartal IV-2019 Tumbuh 4,97%, Terendah Sejak 2016
Ekonom Senior INDEF Aviliani mengutarakan ada beberapa katalis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan masih akan stagnan, yakni belum membaiknya harga komoditas seperti batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), sedangkan Indonesia sangat tergantung pada komoditas tersebut.
"Pertumbuhan ekonomi 2020 masih di kisaran 5,1%," kata Aviliani kepada CNBC Indonesia, Rabu (4/9/2019).
![]() |
"Tahun depan ada pemilu Amerika Serikat, banyak kebijakan populis yang dilakukan Trump," kata Aviliani menambahkan.
Faktor lainnya yang juga tidak bisa dielakkan adalah masih tereskalasinya konflik dagang antara Amerika Serikat dan China. Sejumput sentiman global itu, jelas Avi akan berdampak bagi perekonomian domestik karena menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
Alhasil, dengan kondisi seperti itu, investor akan cenderung menahan diri dan aliran investasi langsung ke Indonesia akan ikut terhambat. "Investor tidak akan berinvestasi dengan kondisi seperti sekarang," ungkapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai cukup berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di 2020. Namun, bukan tidak mungkin untuk dicapai jika pemerintah melakukan usaha lebih ekstra.
Menurut Suhariyanto, beberapa perbaikan harus dilakukan pemerintah untuk mendorong kinerja perekonomian domestik terutama perbaikan industri pengolahan atau manufaktur. Hal ini untuk meningkatkan porsi industri tersebut ke perekonomian yang saat ini terus mengalami penurunan.
"Kalau saya berharapnya itu tadi, ada sedikit pembenahan di industri pengolahan. Kuncinya ada di sana, kalau industri pengolahan itu bergerak naik, karena share-nya gede sekali 19,5%, jadi kalau ada pergerakan sedikit saja dia akan bisa menaikkan, karena bobotnya gede," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Langkah berikutnya melakukan perbaikan di sisi hilirisasi untuk menciptakan lapangan kerja. Dengan lapangan kerja yang bagus maka pendapatan masyarakat juga akan naik yang akan berdampak juga kepada kenaikan daya beli. Hilirisasi juga sangat erat dengan industri manufaktur. Selanjutnya, menumbuhkan daya beli masyarakat dinilai sebagai langkah yang lebih baik daripada terus berharap pada kinerja ekspor yang saat ini memang sulit untuk naik.
(dru) Next Article Loyo! PDB Kuartal IV-2019 Tumbuh 4,97%, Terendah Sejak 2016
Most Popular