Benarkah Neraca Migas Bikin CAD Bengkak? Nanti Dulu...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 August 2019 11:08
Benarkah Neraca Migas Bikin CAD Bengkak? Nanti Dulu...
Ilustrasi Kilang Minyak (Reuters/Edgar Su)
Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) menjadi momok bagi perekonomian Indonesia. Gara-gara masalah ini, upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi terbentur tembok tinggi.

Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap kali menyoroti isu transaksi berjalan. Bukan cuma sekali eks Gubernur DKI Jakarta itu memanggil para pembantunya ke Istana untuk mencari solusi.

Transaksi berjalan adalah pos di neraca pembayaran yang mencerminkan arus devisa dari ekspor barang dan jasa. Devisa dari transaksi berjalan dinilai lebih stabil, berjangka panjang, sehingga menjadi fondasi yang kokoh bagi stabilitas nilai tukar.

Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia selalu defisit. Puncaknya (atau dasar jurangnya?) terjadi pada kuartal II-2014, di mana kala itu defisit mencapai 4,26% dari Produk Domestik Bruto (PDB).



Saat transaksi berjalan defisit, maka nilai tukar rupiah cenderung melemah. Terlihat sejak 2011 mata uang Tanah Air cenderung terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat.



Ketika rupiah 'bergoyang', Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam karena mandat bank sentral adalah menjaga kestabilan nilai tukar. Salah satu langkah yang ditempuh BI adalah menaikkan suku bunga acuan untuk memperlambat aktivitas ekonomi sehingga impor berkurang, transaksi berjalan terbantu, dan rupiah bisa lebih stabil.

Namun ya itu tadi. Kebijakan BI menstabilkan nilai tukar dengan menaikkan suku bunga acuan punya efek samping yaitu perlambatan ekonomi. Memang serba salah.

Dengan kondisi Indonesia saat ini, upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi pasti menyebabkan impor membengkak. Sebab industri dalam negeri belum mampu menyediakan bahan baku dan barang modal untuk menampung kenaikan permintaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus impor.

Akan tetapi kalau impor terus, defisit transaksi berjalan yang semakin parah. Rupiah melemah, dan BI terpaksa 'turun gunung'. Kalau BI sudah beraksi dengan menaikkan suku bunga acuan, maka laju ekonomi melambat. Serba salah kan...?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sektor energi kerap kali menjadi kambing hitam defisit transaksi berjalan. Maklum, neraca migas memang terus-menerus defisit sehingga dituding menjadi beban bagi transaksi berjalan.



Eits, nanti dulu. Walau nominalnya besar, tetapi pertumbuhan impor migas terus melambat. Artinya, ada tren impor migas terus menurun.

Melihat tren impor sejak 2017, migas dan non-migas sama-sama turun. Namun penurunan impor migas lebih curam, lebih drastis.

xBadan Pusat Statistik

Dari sembilan barang migas dengan nilai impor terbesar, nyaris seluruhnya mengalami penurunan pada Januari-Mei 2019 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Impor migas Indonesia semakin berkurang, kedaulatan energi berjalan di trek yang benar. 



Tidak hanya itu, sektor migas juga perlahan-lahan tidak lagi menjadi beban bagi transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah. Setidaknya ada tiga kebijakan yang mendukung hal tersebut.

Pertama adalah pencampuran 30% bahan bakar nabati sebagai campuran diesel alias B-30. Bahan bakar nabati, yang sumbernya dari minyak sawit mentah (CPO), adalah salah satu komoditas andalan Indonesia.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan produksi CPO Indonesia pada 2017 adalah 35,36 juta ton. Naik 6,41% dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Kebijakan kedua adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Regulasi itu mengatur minyak bumi hasil produksi kontraktor kini dijual ke domestik, tidak lagi diekspor seluruhnya.

Berikut adalah potensi hasil minyak dari kontraktor yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, mengacu data semester I-2018:
  • Chevron Pacific Indonesia: 92.000 barel/hari.
  • ExxonMobil Indonesia: 30.000 barel/hari.
  • Petronas Carigali: 13.400 barel/hari.
  • CNOOC: 13.000 barel/hari.
  • Medco E&P Indonesia: 11.000 barel/hari.
  • Chevron Indonesia Company (CICO): 7.000 barel/hari. 

Ketiga, Indonesia juga terus meningkatkan penggunaan potensi gas alam. Sejak 2013, penggunaan gas untuk domestik lebih tinggi ketimbang ekspor.

xSKK Migas

Salah satu contoh nyata penggunaan gas di dalam negeri yang meningkat pembangunan 10.000 km jaringan gas dan 3.838 km jaringan gas untuk rumah tangga. Ini cukup efektif mengurangi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Pada Januari-Mei 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor LPG (yang dikenal sebagai propana dan butana cair) sebesar US$ 1,1 miliar. Turun 2,43% dibandingkan periode yang sama pada 2018 yang sebesar US$ 1,13 miliar.

Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan gas alam Indonesia yang melimpah dengan mempercepat pembangunan infrastruktur terkait. Jika infrastruktur gas semakin memadai, maka impor LPG akan terus turun dan tentu meringankan beban transaksi berjalan.

Untuk mendukung pembangunan infrastruktur gas, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga telah berkomitmen dalam menjaga pengembangan infrastruktur melalui Peraturan Menteri ESDM No 4/2018. Permen ini mengatur pengusahaan gas bumi pada kegiatan usaha hilir migas.

Salah satu ketentuan utama yang diatur dalam beleid tersebut adalah kewajiban bagi badan usaha untuk mengembangkan infrastruktur dalam wilayah pengelolaannya dan untuk menjamin pengembalian investasi diberikan juga eksklusivitas wilayah untuk berniaga. Selain itu juga ada kewajiban bagi badan usaha untuk melayani semua segmen konsumen termasuk rumah tangga dan transportasi jalan (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas/SPBG).

Dalam Public Expose di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 26 Juli 2019 lalu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dalam paparannya juga menyampaikan bahwa mereka menganggarkan belanja modal US$ 705 juta pada 2020, naik 41% dibandingkan 2019. Porsi penggunaan belanja modal ini adalah 52% untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan hilir, 32% untuk Saka Energi, 11-12% untuk kebutuhan di mid-stream LNG, serta 6% untuk fungsi pendukung. Belum termasuk pemain hilir gas bumi yang lain.

Apabila tren positif di sektor migas terus berlanjut, maka akan semakin sulit menjadikan impor migas sebagai kambing hitam defisit transaksi berjalan yang membengkak. Semoga terus berlanjut.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Jadi kalau sudah ada perbaikan di sisi migas, apa yang kemudian menjadi pekerjaan besar untuk menambal defisit transaksi berjalan? Kalau dilihat sedikit lebih dalam, defisit transaksi berjalan mayoritas disebabkan oleh tekornya pos pendapatan primer.

Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan secara nominal adalah US$ 8,44 miliar sementara defisit pendapatan primer adalah US$ 8,72 miliar. Sepanjang 2018 pun kondisinya tidak jauh berbeda. Dari defisit transaksi berjalan yang US$ 31,05 miliar, pos pendapatan primer 'menyumbang' minus US$ 30,43 miliar.

Dua pos utama di pendapatan primer adalah pembayaran dividen dan bunga utang. Pada kuartal II-2019, pembayaran dividen yang keluar tercatat US$ 5,25 miliar sementara Indonesia menerima pembayaran dividen sebesar US$ 1,04 miliar. Jadi secara net ada defisit US$ 4,05 miliar.

Sedangkan pembayaran bunga utang yang keluar pada kuartal II-2019 adalah US$ 221 juta dan pembayaran bunga utang yang diterima sebesar US$ 33 juta. Lagi-lagi tekor US$ 188 juta.

Kunci untuk menutup defisit di pendapatan primer adalah meningkatkan kapasitas ekonomi domestik. Agar pembayaran dividen ke luar negeri berkurang, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) harus jadi panglima.

Saat ini Penanaman Modal Asing (PMA) alias Foreign Direct Investment (FDI) masih mendominasi. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, porsi PMA masih lebih dominan dibandingkan PMDN dengan perbandingan 52:48.

 

Ketika PMDN menjadi raja di negeri sendiri, maka pembayaran dividen ke luar negeri akan berkurang. Tentu menjadi obat mujarab untuk mengobati luka di transaksi berjalan.

Selain PMDN, hal lain yang perlu digenjot adalah peningkatan akses pembiayaan domestik baik itu melalui perbankan atau pasar modal. Apabila sektor keuangan Indonesia masih belum bisa menyediakan pembiayaan secara optimal, maka penarikan Utang Luar Negeri (ULN) tidak dapat terhindarkan.

Bank Indonesia (BI) melaporkan ULN Indonesia pada kuartal II-2019 sebesar US$ 391,8 miliar. Jumlah tersebut naik 10,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year (YoY). ULN tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 195,5 miliar, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 196,3 miliar.



Penarikan ULN tentu harus dibayar, dan pembayaran bunga utang ke luar negeri menjadi beban bagi pos pendapatan primer dan transaksi berjalan. Jadi, pasar keuangan Indonesia harus lebih dalam lagi agar mampu menyediakan pembiayaan aktivitas ekonomi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular