Kata Rizal Ramli Ekonomi RI 'Nyungsep', Cek Faktanya Nih!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 August 2019 12:44
Kata Rizal Ramli Ekonomi RI 'Nyungsep', Cek Faktanya Nih!
Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia bakal 'nyungsep' di tahun 2019.

Itulah anggapan dari Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli. Dalam sebuah dialog di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rizal memperkirakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah tidak akan tercapai.

"Pemerintah awal tahun mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal 5,2% tapi data terakhir 5,0%. Dugaan kami anjlok terus jadi 4,5%. Kemudian indikator makro menunjukkan kecenderungan makin merosot," ujar Rizal, seperti dikutip dari detikfinance.

Namun apakah benar perekonomian Indonesia semakin mengarah ke bawah?

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI sepanjang semester I-2019 hanya sebesar 5,06% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jika melihat data historis, angka pertumbuhan tersebut merupakan yang paling kecil sejak tahun 2017 (dibandingkan antar semester I).

Salah satu penyebab lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sektor manufaktur yang tampak semakin suram.

Pada semester I-2019, pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur hanya sebesar 3,7% YoY. Ini merupakan angka pertumbuhan yang paling kecil setidaknya sejak tahun 2011.

Pertumbuhan sektor manufaktur yang masih terus berada dalam tren perlambatan tersebut membuat selisih (spread) dengan pertumbuhan ekonomi total menjadi semakin besar.



Per semester I-2019, spread antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan manufaktur mencapai 1,36% atau tertinggi sejak Semester II-2013.

Hal itu menjadi salah satu indikasi bahwa penduduk Indonesia semakin meninggalkan semangat untuk mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah.

Lantas bagaimana nasib pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 nanti? Akan lebih buruk?

Perlu diketahui pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi RI masih berada pada kisaran 5%-an, tepatnya di level 5,17%. Capaian tersebut merupakan yang paling tinggi di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) jilid I.

Sementara pada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, pemerintah dengan jelas memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%

Jika saja nanti pertumbuhan ekonomi semester II-2019 tidak dapat digenjot dan lebih rendah dibanding semester I-2019, maka sudah pasti pertumbuhan ekonomi total akan lebih rendah dari tahun 2018.

Melihat data historis, memang ada peluang yang cukup besar bahwa pertumbuhan ekonomi di semester II memburuk dibandingkan semester sebelumnya.



Pasalnya, ada lima kejadian dimana pertumbuhan ekonomi semester II lebih rendah dibanding semester I dalam delapan tahun terakhir (2011-2018). Sementara kasus dimana pertumbuhan ekonomi semester II lebih tinggi dari semester I hanya terjadi sebanyak dua kali kali. Sementara ada satu kejadian dimana angka pertumbuhan ekonomi semester I dan semester II sama.

Hal ini berkaitan dengan belanja pemerintah dan pembayaran proyek pembangunan yang biasanya dikebut menjelang akhir tahun. Alhasil pembelian bahan baku impor untuk proyek-proyek pembangunan kemungkinan juga akan dilakukan di semester II. Aliran deras impor bisa membuat pertumbuhan ekonomi semakin terhambat.

Dari tinjauan Produk Domestik Bruto (PDB), ada benarnya jika Rizal Ramli mengatakan bahwa perekonomian Indonesia semakin buruk.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>> Arus Devisa Semakin Mengkhawatirkan
Akhir pekan lalu (9/8/2019), Bank Indonesia (BI) mengumumkan nilai defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal II-2019 mencapai US$ 8,44 miliar atau setara 3,04% PDB. Angka CAD tersebut lebih dalam dibanding kuartal II-2018 yang hanya US$ 7,9 miliar atau 3,01% PDB.

Transaksi berjalan sendiri merupakan rekaman arus devisa yang keluar masuk Indonesia melalui sektor riil. Devisa yang masuk dari sektor riil lebih bertahan lama, ketimbang yang masuk dari portofolio. Hal itu menyebabkan transaksi berjalan punya peran penting dalam stabilitas keuangan di Indonesia.

Sayangnya, pembengkakan CAD tersebut terjadi karena ada penurunan kinerja pada hampir semua pos transaksi di dalamnya, seperti transaksi barang, transaksi jasa, dan pendapatan primer.

Hanya post pendapatan sekunder saja yang bisa membukukan peningkatan kinerja.



Transaksi barang di kuartal II-2019 hanya mampu membukukan surplus yang minim, yaitu US$ 187 juta. Sangat jauh dibanding kuartal I-2019 yang mencapai US$ 1,18 miliar. Bahkan lebih rendah dibanding kuartal II-2018 yang masih bisa sebesar US$ 277 juta.

Sementara harapan lain, yaitu transaksi jasa juga mengalami penurunan kinerja.

Defisit transaksi jasa di kuartal II-2019 mencapai US$ 1,96 miliar yang mana lebih dalam dibanding kuartal II-2018 yang hanya US4 1,83 miliar.

Jasa perjalanan (pariwisata) yang digadang-gadang menjadi unggulan Indonesia pada kenyataannya juga mengalami penurunan kinerja. Di kuartal II-2019 surplus transaksi jasa pariwisata hanya US$ 80juta. Jauh lebih rendah dibanding kuartal II-2018 yang bisa menyentuh angka US$ 1,03 miliar.

Disamping itu semua, pendapatan primer merupakan yang paling buruk kinerjanya. Defisit pendapatan primer di kuartal II-2019 mencapai US$ 8,7 miliar, jauh lebih dalam dibanding tahun sebelumnya (kuartal II-2018 ) yang hanya US$ 8,02 miliar.
Hal itu terjadi karena ada kenaikan nominal pembayaran bunga utang luar negeri dan deviden atas investasi investor asing di Indonesia. Perlu diingat bahwa sebagian besar transaksi pada pendapatan primer adalah pembayaran deviden investasi dan bunga utang luar negeri.
Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal asing (PMA) masih mendominasi terhadap total investasi sektor riil di Indonesia. Dari total investasi sektor riil yang masuk sepanjang semester I-2019, 53% diantaranya datang dari investor asing, sementara investor domestik hanya 47%.
Maka wajar bila dari tahun ke tahun angka pembayaran deviden kepada investor asing meningkat. Sementara itu, pembayaran bunga utang juga akan semain meningkat kala jumlah utang luar negeri bertambah.
Jika di enam bulan terakhir tahun 2019 kinerja transaksi berjalan semakin buruk, maka sudah tentu CAD akan semakin melebar.

CAD yang melebar menandakan bahwa semakin banyak devisa yang tersedot ke luar negeri. Ibarat dompet, ya semakin tipis. Tanpa pasokan valas yang memadai, nilai tukar rupiah akan semakin mudah tertekan oleh mata uang negara lain. Itulah yang terjadi semenjak CAD muncul di akhir tahun 2011, dimana rupiah cenderung terus melemah hingga hari ini. BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Ditinjau dari perdagangan internasional (ekspor-impor) kinerja Indonesia juga tidak bisa dibilang bagus.

Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor sepanjang semester I-2019 hanya sebesar US$ 80,32 miliar atau turun 8,57% dibanding semester I-2018. Bahkan sudah delapan bulan berturut-turut nilai ekspor Indonesia terkontraksi secara tahunan. Teranyar pada Juni 2019, nilai ekspor Indonesia turun 8,98% YoY.

Sejauh ini, alasan perlambatan ekonomi global selalu dikaitkan dengan kinerja ekspor yang buruk.



Memang harus diakui bahwa faktor eksternal punya pengaruh terhadap perdagangan internasional. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang telah berkecamuk sejak 2018 pun turut berperan dalam menekan kinerja ekspor Tanah Air.

Akan tetapi pada kenyataannya, kinerja ekspor Indonesia merupakan yang paling buruk dibanding beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Bahkan Vietnam masih bisa mencatat pertumbuhan ekspor yang gemilang meski sama-sama terdampak perlambatan ekonomi global.

Buruknya kinerja ekspor Indonesia punya kaitan yang erat dengan gairah industri manufaktur.

Coba saja tengok komoditas ekspor andalan RI. BPS mencatat dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah golongan barang HS 27 (Bahan Bakar Mineral) dan HS 15 (Lemak dan Minyak Hewan/Nabati).



Perlu diketahui bahwa sebagian besar barang HS 27 Indonesia adalah batu bara, sementara HS 15 adalah minyak kelapa sawit. Bila ditotal, nilai ekspor kedua barang tersebut mencapai US$ 44 miliar atau hampir 30% dari total ekspor di tahun 2018.

Sementara berdasarkan data dari International Trade Centre (ITC), dua komoditas ekspor utama Vietnam adalah golongan barang HS 85 (Mesin/Peralatan Listrik) dan HS 64 (Alas Kaki).

Bahkan nilai ekspor Vietnam untuk golongan HS 85, yang notabene merupakan mesin-mesin yang memiliki nilai tambah cukup tinggi, mencapai US$ 117,2 miliar atau 40% dari total ekspor di tahun 2018.



Dari perbandingan-perbandingan tersebut bisa dilihat bahwa kinerja ekspor negara yang memiliki kekuatan manufaktur yang mumpuni akan lebih tahan terhadap gejolak eksternal.

Dengan kondisi sedemikian rupa, maka tak heran apabila ke depannya kinerja ekspor Indonesia masih akan terus berada dalam tekanan.

Setidaknya hingga kinerja manufaktur dalam negeri dapat diperbaiki.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular