merupakan komponen penting dalam perekonomian Indonesia. Pasalnya, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menyumbang 32,2% terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) Indonesia tahun 2018, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Perlu diketahui bahwa komponen PMTB terdiri dari seluruh investasi, baik yang dilakukan oleh investor asing, domestik, maupun pemerintah.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan akan dipengaruhi secara signifikan oleh perkembangan investasi.
Tahun 2019, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi berada di level 5,3%. Jika tercapai, maka akan sedikit lebih baik dibanding tahun 2018 yang sebesar 5,17%. Itu juga akan menjadi laju pertumbuhan ekonomi paling tinggi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Namun beberapa kali Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 akan "berada di batas bawah kisaran 5-5,4%."
Itu artinya, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di kisaran 5-5,2% saja, yang artinya tidak sampai 5,3%.
Salah satu hal yang tampaknya akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah perihal investasi.
Pasalnya, sepanjang kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) selama ini, (sejak 2015), tren pertumbuhan investasi kerap kali berada dalam tekanan.
Tengok saja data pertumbuhan total investasi yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Data itu mencatat seluruh investasi yang masuk di sektor riil.
Pada 2015, pertumbuhan investasi masih bisa menyentuh level 17,8%. Selanjutnya, pertumbuhan terus berada dalam tren penurunan dan mencapai posisi terendah pada 2018, yaitu hanya 4,1% saja.
Teranyar, sepanjang semester I-2019 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan total realisasi investasi mencapai Rp 390,2 triliun, atau tumbuh 7,9% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Angka pertumbuhannya juga naik tipis dari semester I-2018 yang sebesar 7,4%.
Dalam hal ini, Kepala BKPM, Thomas Lembong, mengatakan minat investor asing terhadap Indonesia sudah mulai bangkit.
Pasalnya, bila dihitung dalam rupiah, total Penanaman Modal Asing (PMA) sudah mencapai Rp 212,8 triliun di semester I-2019, atau tumbuh 4% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Capaian tersebut tentunya menggembirakan sejumlah pihak karena pada semester I-2018 pertumbuhan PMA negatif alias terkontraksi sebesar 1,1% (dihitung dalam Rupiah).
Namun jangan keburu senang berlebihan.
Karena jumlah PMA yang masuk sepanjang semester I-2019 bila dihitung dalam satuan dolar AS hanya sebesar US$ 13,07 miliar saja.
Itu artinya, angka pertumbuhan PMA semester I-2019 malah menunjukkan adanya kontraksi atau penurunan 14,4%. Nilai kontraksi tersebut jauh lebih dalam ketimbang semester I-2018 yang sebesar 1,8%.
Penyebab perbedaan angka pertumbuhan PMA yang dihitung dalam rupiah dan dolar adalah perubahan kurs.
Tercatat sepanjang semester I-2019, rata-rata nilai tukar rupiah sudah mencapai Rp 14.188/US$. Artinya, rata-rata kurs rupiah sudah melemah 3,09% terhadap rata-rata semester I-2018.
Hal itu menyebabkan investor asing tidak perlu menggelontorkan investasi yang lebih besar karena rupiah semakin murah.
Namun itu menunjukkan sejatinya investor asing belum berminat untuk lebih banyak menggelontorkan dana investasi ke Indonesia.
Bahayanya, investasi asing punya peran penting. Nilainya mencapai lebih dari 50% terhadap total investasi. Setidaknya untuk saat ini.
Artinya, tanpa investasi asing yang mumpuni, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sangat rentan. Kala investasi asing loyo, akan semakin sulit bagi Indonesia untuk keluar dari zona pertumbuhan ekonomi 5%-an yang sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir.
Padahal awalnya, Pak Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi ada di level 7%. Meski banyak yang menilai sangat ambisius.
Memang benar faktor global memiliki peran dalam menggiring daya tarik investor. Namun selayaknya pemerintah juga mengakui iklim investasi di Indonesia belum cukup memberikan daya tarik bagi investor asing.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank/WB) kepada 754 perusahaan internasional, faktor kestabilan politik dan keamanan merupakan kunci utama dalam keputusan investasi. Sementara kepastian hukum menjadi faktor kedua yang hampir sama pentingnya.
Hal ini dapat dimengerti karena ketidakpastian merupakan musuh utama investasi.
 Foto: Taufan Adharsyah |
Sayangnya, sejauh ini ada banyak kebijakan maju-mundur yang diperlihatkan oleh pemerintahan Jokowi.
Salah satu contohnya adalah wacana penambahan objek pajak baru yang sempat mencuat pada 2018.
Mungkin kita semua masih ingat pada Juli 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sempat melempar wacana akan mengenakan pajak atas laba ditahan (retained earnings).
Saat itu Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan, mengaku pengenaan pajak atas laba ditahan sedang dibahas dalam perumusan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Bahkan sudah ada proses sosialisasi terhadap pihak-pihak yang terkait.
Namun beberapa waktu berselang, setelah dikonfirmasi oleh CNBC Indonesia, ternyata pembahasan atas pengenaan pajak atas laba ditahan sudah tidak dilanjutkan.
"Pajak atas laba ditahan memang pernah menjadi bahan diskusi tentang kebijakan perpajakan setahun yang lalu, tapi tidak pernah dibahas lebih lanjut di level pimpinan Kementerian Keuangan [...] Jadi, kita bisa lupakan hal tersebut saat ini," ujar Direktur Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga kepada CNBC Indonesia melalui pesan singkat, Minggu (21/7/2019).
Sebenarnya kabar tersebut membuat pelaku usaha lega. Wajar, karena laba ditahan milik mereka tidak jadi dikenakan pajak.
Namun untuk investor yang akan menanamkan modal, ketidakpastian arah kebijakan (apalagi perpajakan) bisa menjadi penghalang investasi.
Urus Izin LambatSelain itu, untuk mengurus perizinan di BKPM dalam beberapa waktu ke belakang juga masih sangat lambat. Jangan sampai masalah klasik ini makin parah tanpa pengawasan.
Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia pada hari Jumat (19/7/2019), pelaku usaha yang ingin mengurus izin ke BKPM harus datang setidaknya pukul 05:00 WIB hanya untuk mengantre demi mendapatkan nomor antrean. Belum lagi hanya ada kuota 200 nomor untuk mengurus perizinan.
"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, biasanya pada datang sekitar jam 05.00 pagi untuk isi absen. Nanti jam 07.30 pagi baru ambil nomor antrean. Jam 08.00 baru mulai pelayanan," kata petugas help desk di BKPM.
Barulah mulai Senin pekan lalu (22/7/2019), BKPM memberlakukan pengambilan nomor antrean layanan Online Single Submission (OSS) yang dapat dilakukan melalui situs resmi BKPM satu hari sebelumnya.
Itu artinya, sebelum ada sistem baru tersebut, pengurusan izin yang dilakukan oleh calon investor sangat lambat. Tak heran apabila realisasi kian terhambat.
TIM RISET CNBC INDONESIA