Sampai Jokowi Lengser di 2024, 'Hantu' CAD Belum Bisa Diusir

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 July 2019 07:23
Sampai Jokowi Lengser di 2024, 'Hantu' CAD Belum Bisa Diusir
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sampai 2024, sepertinya Indonesia belum berhasil mengusir 'hantu' yang bergentayangan sejak 2011 bernama defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Namun, defisit transaksi berjalan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua diusahakan terus turun. 

Mengutip Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, defisit transaksi berjalan rata-rata per tahun diperkirakan berada di kisaran 1,8-2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2024, akhir pemerintahan Jokowi, defisit transaksi berjalan diperkirakan sekitar 1,3-2% PDB. 

Jika ini terjadi, maka terjadi penurunan yang lumayan signifikan. Pada 2018, defisit transaksi berjalan berada di angka 2,98% PDB. 

 


"Secara keseluruhan, ekspor barang dan jasa tumbuh rata-rata 6,21-7,67% per tahun. Sementara impor barang dan jasa tumbuh rata 6,42-7,42% per tahun didorong oleh peningkatan permintaan domestik, terutama investasi. Kinerja perdagangan internasional yang membaik akan mendorong penguatan stabilitas eksternal, yang ditandai dengan perbaikan defisit transaksi berjalan menjadi 2-1,3% PDB dan peningkatan cadangan devisa menjadi US$ 161,1-184,8 miliar pada 2024," jelas dokumen RPJMN 2020-2024. 

Well, defisit transaksi berjalan yang menipis memang patut diapresiasi. Namun selama masih ada transaksi berjalan masih minus, Indonesia akan kesulitan dalam mempercepat pembangunan karena terbentur oleh stabilitas nilai tukar. 

Dengan kondisi Indonesia saat ini, menggenjot pertumbuhan ekonomi sama dengan membuat impor membanjir. Sebab, industri dalam negeri belum mampu memenuhi peningkatan permintaan, baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi.  

Industri dalam negeri yang kurang mumpuni juga membuat ekspor Indonesia kurang berdaya saing. Indonesia begitu tergantung kepada ekspor komoditas. Artinya Indonesia hanya punya keunggulan komparatif, bukan kompetitif. 

"Tidak berkembangnya industri pengolahan berdampak pada kinerja perdagangan internasional Indonesia. Hingga saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Rasio ekspor terhadap PDB terus menurun dari 41% pada tahun 2000 menjadi 21% pada tahun 2018. Akibatnya, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan, sementara beberapa negara peers sudah mencatatkan surplus," papar dokumen RPJMN 2020-2024. 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Ketika transaksi berjalan masih defisit, maka nilai tukar mata uang akan rentan melemah. Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran (balance of payment) yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dinilai lebih berdimensi jangka panjang ketimbang dari kamar sebelah, yaitu transaksi modal dan finansial. 

Neraca Pembayaran secara keseluruhan akan menjadi dasar, fondasi, pijakan bagi kekuatan nilai tukar mata uang. Namun karena pos transaksi berjalan lebih berjangka panjang, maka pos ini kerap dipandang sebagai pemeran utama, penopang kekuatan suatu mata uang. 

Wajar saja, karena kalau terlalu mengandalkan transaksi modal dan finansial, utamanya arus modal portofolio di sektor keuangan (hot money), nilai tukar menjadi fluktuatif. Mata uang menjadi kuat kala arus modal deras mengalir, tetapi terpuruk kala investor menjauh. 

Saat defisit transaksi berjalan membuat nilai mata uang tidak stabil, bahkan cenderung melemah, maka bank sentral tentu tidak tinggal diam. Sebab mandat bank sentral adalah menjaga kestabilan nilai tukar. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan bank sentral adalah menaikkan suku bunga acuan, agar hot money mengalir deras dan bisa menutup 'lubang' di transaksi berjalan. Namun efek sampingnya adalah ekspansi ekonomi terhambat.  

Kalau suku bunga tinggi, tentu dunia usaha dan masyarakat berpikir dua kali untuk mengambil kredit. Pertumbuhan penyaluran kredit yang melambat sama dengan perlambatan ekonomi.  

"Di tengah kondisi keuangan global yang ketat, peningkatan defisit transaksi berjalan menjadi penghambat bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat," demikian sebut dokumen RPJMN. 

Jadi memang berat. Selama transaksi berjalan masih defisit, berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bisa menemui tembok tinggi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular