
Jejak 12 Tahun Benci-Rindu AS & RI di Proyek Laut Dalam
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
25 July 2019 09:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelar dengan perkara revisi rencana pengembangan Lapangan Abadi Blok Masela, bukan berarti pemerintah langsung leha-leha. Sebab, masih tersisa revisi rencana pengembangan proyek gas laut dalam, Indonesia Deepwater Development (IDD), yang belum juga disetujui.
Proyek IDD yang digagas 2007 (12 tahun lalu) berada di Cekungan Kutai (Kutai Basin), Kalimantan Timur. IDD merupakan proyek laut dalam yang semula dikembangkan oleh Chevron Indonesia Company (Cico) melalui empat production sharing contract (PSC) yaitu: PSC Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau.
Data Kementerian ESDM mencatat, ada lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam proyek IDD ini yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.
Kini, megaproyek senilai US$ 5 miliar atau Rp 70 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/dolar AS) tersebut dikabarkan akan berganti operator. Raksasa migas AS, Chevron, yang semula bakal mengembangkan proyek ini disebut-sebut akan diganti.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia dari sumber di SKK Migas, isu bakal bergantinya operator tersebut jadi pembahasan hangat di lembaga tersebut.
(tas) Next Article Tunggu Chevron, Proyek Indonesia Deepwater Bisa Molor 2025
Proyek IDD yang digagas 2007 (12 tahun lalu) berada di Cekungan Kutai (Kutai Basin), Kalimantan Timur. IDD merupakan proyek laut dalam yang semula dikembangkan oleh Chevron Indonesia Company (Cico) melalui empat production sharing contract (PSC) yaitu: PSC Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau.
Data Kementerian ESDM mencatat, ada lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam proyek IDD ini yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.
![]() |
Kini, megaproyek senilai US$ 5 miliar atau Rp 70 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/dolar AS) tersebut dikabarkan akan berganti operator. Raksasa migas AS, Chevron, yang semula bakal mengembangkan proyek ini disebut-sebut akan diganti.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia dari sumber di SKK Migas, isu bakal bergantinya operator tersebut jadi pembahasan hangat di lembaga tersebut.
Namun, Wakil Kepala SKK Migas Sukandar membantah soal kabar pergantian operator ini. "Tetap Chevron," kata Sukandar dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Senin (22/7/2019).
Di sisi lain, External Affair Adviser Chevron Asia Pacific Cameron Van Ast menjawab formal dengan mengatakan, sampai saat ini perusahaan masih intens berkomunikasi dengan SKK Migas.
"Kami masih kontak secara reguler dengan SKK Migas. Bagaimanapun, sesuai dengan kebijakan kami, kami tidak bisa membuka rinci tentang pembahasan dengan SKK Migas tersebut," jawab Cameron dalam surat elektronik kepada CNBC Indonesia.
Jika Chevron benar-benar terdepak dari proyek IDD, maka ada kemungkinan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) bisa agak tegang.
Pasalnya, proyek migas dan mineral merupakan proyek yang erat kaitannya dengan hubungan politik suatu negara. Dalam hal ini, Chevron merupakan raksasa migas asal Negeri Paman Sam.
Ingat ketika dengan proses alot negosiasi Blok Migas Mahakam dengan pihak operator, Total (Prancis) dan Inpex (Jepang). Pada akhir Desember 2017, kontrak Total dan Inpex atas pengelolaan Blok Mahakam habis, sesuai dengan jadwal. Kedua perusahaan tersebut telah mengelola blok migas terbesar tersebut selama 50 tahun sebelumnya.
Pemerintah pun berencana mengalihkan operator kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), anak perusahaan PT Pertamina (Persero).
Namun pada Maret 2017 atau 9 bulan sebelum kontrak berakhir, Presiden Prancis saat itu Francois Hollande datang sendiri ke Indonesia. Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Meski pemerintah membantah, kunjungan Hollande ke Indonesia menjadi sinyal keseriusan Prancis untuk bekerja sama dengan Indonesia, melalui Total salah satunya.
Maka dari itu, hubungan baik Indonesia dengan AS berisiko merenggang jika Chevron benar-benar 'terdepak'.
Terlebih lagi saat ini, pucuk pimpinan Negeri Paman Sam tersebut dipegang oleh Donald Trump yang terkenal gemar melakukan kebijakan yang 'protektif'.
Salah satu yang paling santer adalah perang dagang dengan China, yang mana Trump mengenakan tarif pada produk impor asa China senilai US$ 200 miliar. Alasan pengenaan tarif tersebut adalah defisit perdagangan yang cukup besar dengan China.
Risiko itulah yang harus dihadapi Indonesia. Terlebih saat ini AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Pada 2018, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan hingga US$ 8,56 miliar dengan AS. Itu merupakan surplus terbesar kedua diantara perdagangan Indonesia dengan negara lain. Sedikit lebih kecil dibanding surplus dengan India yang sebesar SU$ 8,7 miliar.
Tentu saja pertimbangan perdagangan bukan hal yang bisa dianggap enteng, terlebih dengan negara tempat Indonesia mendapatkan keuntungan.
Ditambah lagi, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menekankan pentingnya menggenjot ekspor agar neraca transaksi berjalan Indonesia bisa terangkat. Hal itu sangat diperlukan karena transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan dalam negeri.
Di sisi lain, External Affair Adviser Chevron Asia Pacific Cameron Van Ast menjawab formal dengan mengatakan, sampai saat ini perusahaan masih intens berkomunikasi dengan SKK Migas.
"Kami masih kontak secara reguler dengan SKK Migas. Bagaimanapun, sesuai dengan kebijakan kami, kami tidak bisa membuka rinci tentang pembahasan dengan SKK Migas tersebut," jawab Cameron dalam surat elektronik kepada CNBC Indonesia.
Jika Chevron benar-benar terdepak dari proyek IDD, maka ada kemungkinan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) bisa agak tegang.
Pasalnya, proyek migas dan mineral merupakan proyek yang erat kaitannya dengan hubungan politik suatu negara. Dalam hal ini, Chevron merupakan raksasa migas asal Negeri Paman Sam.
Ingat ketika dengan proses alot negosiasi Blok Migas Mahakam dengan pihak operator, Total (Prancis) dan Inpex (Jepang). Pada akhir Desember 2017, kontrak Total dan Inpex atas pengelolaan Blok Mahakam habis, sesuai dengan jadwal. Kedua perusahaan tersebut telah mengelola blok migas terbesar tersebut selama 50 tahun sebelumnya.
Pemerintah pun berencana mengalihkan operator kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), anak perusahaan PT Pertamina (Persero).
Namun pada Maret 2017 atau 9 bulan sebelum kontrak berakhir, Presiden Prancis saat itu Francois Hollande datang sendiri ke Indonesia. Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Meski pemerintah membantah, kunjungan Hollande ke Indonesia menjadi sinyal keseriusan Prancis untuk bekerja sama dengan Indonesia, melalui Total salah satunya.
Maka dari itu, hubungan baik Indonesia dengan AS berisiko merenggang jika Chevron benar-benar 'terdepak'.
Salah satu yang paling santer adalah perang dagang dengan China, yang mana Trump mengenakan tarif pada produk impor asa China senilai US$ 200 miliar. Alasan pengenaan tarif tersebut adalah defisit perdagangan yang cukup besar dengan China.
Risiko itulah yang harus dihadapi Indonesia. Terlebih saat ini AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Pada 2018, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan hingga US$ 8,56 miliar dengan AS. Itu merupakan surplus terbesar kedua diantara perdagangan Indonesia dengan negara lain. Sedikit lebih kecil dibanding surplus dengan India yang sebesar SU$ 8,7 miliar.
Tentu saja pertimbangan perdagangan bukan hal yang bisa dianggap enteng, terlebih dengan negara tempat Indonesia mendapatkan keuntungan.
Ditambah lagi, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menekankan pentingnya menggenjot ekspor agar neraca transaksi berjalan Indonesia bisa terangkat. Hal itu sangat diperlukan karena transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan dalam negeri.
(tas) Next Article Tunggu Chevron, Proyek Indonesia Deepwater Bisa Molor 2025
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular