Masih Banyak 'Hantu' di Perekonomian RI yang Belum Diusir

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 July 2019 15:45
Masih Banyak 'Hantu' di Perekonomian RI yang Belum Diusir
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada hantu bergentayangan di perekonomian Indonesia. Hantu itu membuat pusing pengambil kebijakan, bikin serba salah. Mau ini salah, mau itu salah. 

Namanya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia tidak pernah merasakan surplus, selalu defisit. 



Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran (balance of payment) yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dinilai lebih berdimensi jangka panjang ketimbang dari kamar sebelah, yaitu transaksi modal dan finansial. 

Neraca Pembayaran secara keseluruhan akan menjadi dasar, fondasi, pijakan bagi kekuatan nilai tukar mata uang. Namun karena pos transaksi berjalan lebih berjangka panjang, maka pos ini kerap dipandang sebagai pemeran utama, penopang kekuatan suatu mata uang. 

Wajar saja, karena kalau terlalu mengandalkan transaksi modal dan finansial, utamanya arus modal portofolio di sektor keuangan (hot money), nilai tukar menjadi fluktuatif. Mata uang menjadi kuat kala arus modal deras mengalir, tetapi terpuruk kala investor menjauh. 

Faktor ini yang membuat rupiah melemah sampai nyaris 6% pada 2018. Arus modal menjauh dari Indonesia (dan negara-negara lainnya) karena Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves/ The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. 



Seretnya arus hot money membuat surplus transaksi finansial mengecil dari US$ 28,69 miliar pada 2017 menjadi US$ 25,11 pada 2018. Tidak mampu menutup defisit transaksi berjalan yang sebesar US$ 31,06 miliar sehingga Neraca Pembayaran secara keseluruhan negatif US$ 7,13 miliar. Tidak heran rupiah melemah begitu dalam.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Saat nilai tukar bergejolak, apalagi ke arah pelemahan, tentu bank sentral tidak tinggal diam. Untuk menjaga pasar keuangan Indonesia tetap atraktif bagi arus modal asing sembari mengarahkan defisit transaksi berjalan ke level aman, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali. 



Apa hubungannya transaksi berjalan dengan suku bunga? Bukankah transaksi berjalan adalah ekspor-impor barang dan jasa yang merupakan fenomena sektor riil? Apa hubungannya dengan kebijakan moneter? 

Ada, kawan... 

Dengan menaikkan suku bunga, BI bermaksud untuk mengerem aktivitas ekonomi baik itu konsumsi maupun investasi. Sebab, peningkatan aktivitas ekonomi di Indonesia sama saja dengan membuat impor membengkak. Maklum, industri dalam negeri belum bisa memenuhi peningkatan permintaan baik itu untuk barang konsumsi, barang modal, sampai bahan baku. 

Penurunan impor berarti defisit transaksi berjalan bisa diperkecil. Pasokan devisa dari perdagangan membaik dan fondasi rupiah menjadi lebih kuat. Kalau rupiah stabil, apalagi menguat, tentu BI bisa tenang. 

Nah, ini yang membuat serba salah. Defisit transaksi berjalan membuat kebijakan ekonomi menjadi sulit. Tidak ada pilihan ideal, yang ada pilihan terbaik. Pick the lesser evil

Jika defisit transaksi berjalan belum terpecahkan, maka setiap kali ekonomi Indonesia tumbuh akan membuat rupiah melemah. Akibatnya laju ekonomi harus sedikit direm agar impor menurun dan rupiah kembali stabil. 

Namun apakah kita mau ekonomi tumbuh begini-begini saja? Sudah lama ekonomi Indonesia terjebak di pertumbuhan sekitar 5%. Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat untuk menciptakan lapangan kerja. 

Dilemanya, kalau ekonomi dipacu maka impor akan banjir sehingga transaksi berjalan terpukul. Rupiah melemah, BI menaikkan suku bunga acuan, ekonomi cooling down lagi. Begitu saja terus, seperti lingkaran setan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Jadi pengambil kebijakan harus cermat, memilih yang terbaik di antara yang terburuk. BI akhirnya berani menurunkan suku bunga acuan bulan ini (penurunan pertama sejak September 2017) karena ada perkiraan arus modal hot money masih akan deras karena tren pelonggaran kebijakan moneter global. Untuk sementara urusan defisit transaksi berjalan bisa dinomorduakan karena situasinya sedang mendukung. 

Akan tetapi cuaca tidak selalu bersahabat. Kejadian seperti 2018 bisa kembali terulang pada masa mendatang.  

Oleh karena itu, hantu defisit transaksi berjalan harus diusir. Caranya adalah dengan membangun kembali industri nasional agar tidak sedikit-sedikit main impor ketika permintaan meningkat. Kala industri dalam negeri sudah kuat, maka pertumbuhan ekonomi yang kencang tetapi stabil bisa terwujud. 



Kalau hantu transaksi berjalan masih penasaran, maka Indonesia akan sulit menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tumbuh lebih tinggi sedikit saja impor sudah banjir. 

Kalau kata Raisa, serba salah...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular