
Revisi UU Tenaga Kerja: Usul Nih, UMP Tak Perlu Tunggu Pemda
S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
04 July 2019 14:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) maupun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kompak menyuarakan revisi Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pengusaha menilai revisi UU ini - terutama terkait masalah upah, pesangon, dan jangka waktu outsourcing - sudah sangat mendesak. Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, baik buruh maupun pengusaha sama-sama tidak menyukai UU Ketenagakerjaan ini.
Bagi pengusaha, UU ini menyebabkan tidak banyak yang mau berinvestasi di sektor industri padat karya (labor-intensive). Padahal, Indonesia saat ini sangat membutuhkan industri padat karya menggeliat kembali untuk mengatasi masalah pengangguran.
Selain itu, Indonesia juga membutuhkan industri bernilai tambah tinggi yang tentunya akan menghasilkan probabilitas upah yang lebh tinggi.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Bob Azzam mengritik mekanisme penentuan upah saat ini yang lebih banyak ditentukan oleh pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, maupun Walikota) daripada pengusaha dan serikat buruhnya sendiri.
"Harapan kita diberikan fleksibilitas untuk industri padat karya. Dan yang lebih penting adalah kembalikan otoritas penentuan upah ke mekanisme bipartit, antara perusahaan dan serikat pekerja. Jadi jangan tripartit, kan mereka [pemda] tidak tahu kondisi perusahaan masing-masing," ujar Bob usai diskusi, Rabu (3/7/2019).
Bob mengimbau pemerintah daerah untuk tidak menggunakan kenaikan upah minimum sebagai upaya untuk menarik dukungan buruh setiap menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti yang lazim terjadi saat ini.
"Kalau mereka memang concern dengan buruh, jangan menaikkan upah minimum, tapi anggarkan di APBD subsidi untuk buruh, baik itu untuk perumahan ataupun transportasi. Baru itu namanya berpihak pada buruh. Kalau naikkan upah saja dan yang membayar pengusaha, di mana keberpihakannya," jelas dia.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf juga mengusulkan agar ada mekanisme subsidi atau jaminan sosial yang bisa memberikan rasa aman bagi buruh. Ia menyebut transportasi dan akomodasi sebagai dua hal yang menjadi beban terbesar bagi buruh. Seharusnya pemerintah daerah bisa ikut mengatur di situ, bukan pada penentuan upah.
"Pekerja melihat tak hanya UMP dan UMR saja. Bisa nggak pemerintah menyuplai biaya hidup? Contohnya transportasi dan akomodasi, ini dua hal yang jadi beban terbesar pekerja. Kalau kita lihat, wilayah yang berkembang jadi kawasan industri pasti biaya hidupnya akan naik. Kalau biaya hidup naik, gaji berapapun yang diterima akan berkurang," kata Dede dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Rabu (3/7/2019).
"Nah, di sini intervensi pemerintah harus bisa menekan biaya hidup lewat subsidi sehingga take home pay (THP) pekerja bisa punya tabungan dan aman secara finansial," imbuhnya.
Sebelumnya, Sofjan Wanandi juga sudah berkomentar soal polemik UMP ini. Menurutnya, upah sebaiknya tidak ditentukan oleh kepala daerah (gubernur, bupati maupun walikota) karena mereka tidak mengerti kondisi perusahaan dan mereka umumnya memiliki kepentingan politik.
"Kalau mau pilkada pasti dinaikkan upahnya agar buruh memilih mereka. Ini tidak sehat. Patokan paling baik adalah upah minimum regional (UMP) yang ditentukan serikat buruh dan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan yang besar bisa membayar upah besar, dan perusahaan kecil membayar yang kecil. Upah minimum tentu perlu tetap dipertahankan," ujar Sofjan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (1/7/2019).
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani juga mengusulkan agar formula perhitungan UMR juga memasukkan angka inflasi daerah (regional inflation) sebagai indikator, bukan hanya angka pertumbuhan daerah saja.
"Jadi jangan hanya melihat pertumbuhan daerah, tapi juga tingkat inflasi daerah itu. Ini yang perlu diperhatikan, bagaimana kita mengkaji ulang dengan kepentingan bersama. Kita juga ingin ini diterima buruh, tapi yang adil lah," kata Shinta kepada CNBC Indonesia di kantornya, beberapa waktu lalu.
(hoi/hoi) Next Article 'Musim Panas Upah Buruh', Pengusaha: Semua Menderita
Pengusaha menilai revisi UU ini - terutama terkait masalah upah, pesangon, dan jangka waktu outsourcing - sudah sangat mendesak. Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, baik buruh maupun pengusaha sama-sama tidak menyukai UU Ketenagakerjaan ini.
Bagi pengusaha, UU ini menyebabkan tidak banyak yang mau berinvestasi di sektor industri padat karya (labor-intensive). Padahal, Indonesia saat ini sangat membutuhkan industri padat karya menggeliat kembali untuk mengatasi masalah pengangguran.
Selain itu, Indonesia juga membutuhkan industri bernilai tambah tinggi yang tentunya akan menghasilkan probabilitas upah yang lebh tinggi.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Bob Azzam mengritik mekanisme penentuan upah saat ini yang lebih banyak ditentukan oleh pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, maupun Walikota) daripada pengusaha dan serikat buruhnya sendiri.
"Harapan kita diberikan fleksibilitas untuk industri padat karya. Dan yang lebih penting adalah kembalikan otoritas penentuan upah ke mekanisme bipartit, antara perusahaan dan serikat pekerja. Jadi jangan tripartit, kan mereka [pemda] tidak tahu kondisi perusahaan masing-masing," ujar Bob usai diskusi, Rabu (3/7/2019).
Bob mengimbau pemerintah daerah untuk tidak menggunakan kenaikan upah minimum sebagai upaya untuk menarik dukungan buruh setiap menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti yang lazim terjadi saat ini.
"Kalau mereka memang concern dengan buruh, jangan menaikkan upah minimum, tapi anggarkan di APBD subsidi untuk buruh, baik itu untuk perumahan ataupun transportasi. Baru itu namanya berpihak pada buruh. Kalau naikkan upah saja dan yang membayar pengusaha, di mana keberpihakannya," jelas dia.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf juga mengusulkan agar ada mekanisme subsidi atau jaminan sosial yang bisa memberikan rasa aman bagi buruh. Ia menyebut transportasi dan akomodasi sebagai dua hal yang menjadi beban terbesar bagi buruh. Seharusnya pemerintah daerah bisa ikut mengatur di situ, bukan pada penentuan upah.
"Pekerja melihat tak hanya UMP dan UMR saja. Bisa nggak pemerintah menyuplai biaya hidup? Contohnya transportasi dan akomodasi, ini dua hal yang jadi beban terbesar pekerja. Kalau kita lihat, wilayah yang berkembang jadi kawasan industri pasti biaya hidupnya akan naik. Kalau biaya hidup naik, gaji berapapun yang diterima akan berkurang," kata Dede dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Rabu (3/7/2019).
"Nah, di sini intervensi pemerintah harus bisa menekan biaya hidup lewat subsidi sehingga take home pay (THP) pekerja bisa punya tabungan dan aman secara finansial," imbuhnya.
Sebelumnya, Sofjan Wanandi juga sudah berkomentar soal polemik UMP ini. Menurutnya, upah sebaiknya tidak ditentukan oleh kepala daerah (gubernur, bupati maupun walikota) karena mereka tidak mengerti kondisi perusahaan dan mereka umumnya memiliki kepentingan politik.
"Kalau mau pilkada pasti dinaikkan upahnya agar buruh memilih mereka. Ini tidak sehat. Patokan paling baik adalah upah minimum regional (UMP) yang ditentukan serikat buruh dan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan yang besar bisa membayar upah besar, dan perusahaan kecil membayar yang kecil. Upah minimum tentu perlu tetap dipertahankan," ujar Sofjan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (1/7/2019).
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani juga mengusulkan agar formula perhitungan UMR juga memasukkan angka inflasi daerah (regional inflation) sebagai indikator, bukan hanya angka pertumbuhan daerah saja.
"Jadi jangan hanya melihat pertumbuhan daerah, tapi juga tingkat inflasi daerah itu. Ini yang perlu diperhatikan, bagaimana kita mengkaji ulang dengan kepentingan bersama. Kita juga ingin ini diterima buruh, tapi yang adil lah," kata Shinta kepada CNBC Indonesia di kantornya, beberapa waktu lalu.
(hoi/hoi) Next Article 'Musim Panas Upah Buruh', Pengusaha: Semua Menderita
Most Popular