
Nih, yang Bikin Pengusaha Gerah Ingin Revisi UU Tenaga Kerja
S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
03 July 2019 16:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah waktunya direvisi.
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, baik buruh maupun pengusaha sama-sama tidak menyukai UU Ketenagakerjaan ini.
Bagi pengusaha, UU ini menyebabkan tidak banyak yang mau berinvestasi di sektor industri padat karya (labor-intensive).
Pengusaha, baik yang tergabung di dalam Apindo maupun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sudah lama berdiskusi dengan serikat buruh soal perlunya revisi UU Ketenagakerjaan.
Menurutnya, hanya 5-6 pasal dalam UU tersebut yang harus direvisi, agar betul-betul bisa dicari jalan tengahnya dari persoalan penentuan upah, pesangon dan outsourcing yang selama ini selalu jadi isu antara pengusaha dan buruh.
"Ini bisa diperbaiki karena kita sudah ada pemahaman bersama untuk memperbaiki, dan ada take and give-nya yang kami lakukan, dan sudah dibuat juga surveinya. Serikat buruh dan kita udah dikasih masukan, Kementerian Ketenagakerjaan juga sudah memberikan masukan, hanya butuh perubahan 5-6 pasal," kata Sofjan kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/7/2019).
1. Upah
Menurut Sofjan, upah sebaiknya tidak ditentukan oleh kepala daerah (gubernur, bupati maupun walikota) karena mereka tidak mengerti kondisi perusahaan dan mereka umumnya memiliki kepentingan politik.
"Kalau mau pilkada pasti dinaikkan upahnya agar buruh memilih mereka. Ini tidak sehat. Patokan paling baik adalah upah minimum nasional yang ditentukan serikat buruh perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan yang besar bisa membayar upah besar, dan perusahaan kecil membayar yang kecil. Upah minimum perlu tetap dipertahankan," jelasnya.
2. Pesangon
Menurutnya, ketentuan nominal pesangon yang ada saat ini begitu tinggi, mencapai 36 kali gaji untuk karyawan yang sudah bekerja di atas 10 tahun.
Akibatnya, pengusaha seringkali berkonflik dengan serikat buruh dan sebagian besar keluar dari sektor padat karya. Kalaupun masih ada pengusaha yang mau berinvestasi di padat karya, mereka lebih sedikit menggunakan karyawan dan menggantikannya dengan mesin-mesin (otomasi).
"Coba lihat perusahaan padat karya, mana ada yang bayar pesangon kalau sudah bangkrut. Sebagian besar perusahaan yang sudah bangkrut lari saja ke luar negeri, lawyer ditinggalkan di sini karena dia nggak bisa bayar. Jadi pesangon harus dibicarakan," tegasnya.
3. Outsourcing
Persoalan outsourcing tak kalah pelik. Kalangan serikat buruh menghendaki semua bidang usaha tak boleh ada outsourcing. Sedangkan kalangan pengusaha masih menghendaki, terutama dari ketentuan yang saat ini berlaku pada 5 sektor, antara lain cleaning service, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan.
"Ada sektor yang butuh outsourcing misalnya pembangunan, paling kan 2-3 tahun selesai. Bagaimana mau jadi tetap kan mereka harus diganti, ada juga di pertambangan, setiap saat kan habis," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Ini Alasan Pengusaha Ngebet UU Ketenagakerjaan Direvisi
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, baik buruh maupun pengusaha sama-sama tidak menyukai UU Ketenagakerjaan ini.
Bagi pengusaha, UU ini menyebabkan tidak banyak yang mau berinvestasi di sektor industri padat karya (labor-intensive).
Pengusaha, baik yang tergabung di dalam Apindo maupun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sudah lama berdiskusi dengan serikat buruh soal perlunya revisi UU Ketenagakerjaan.
Menurutnya, hanya 5-6 pasal dalam UU tersebut yang harus direvisi, agar betul-betul bisa dicari jalan tengahnya dari persoalan penentuan upah, pesangon dan outsourcing yang selama ini selalu jadi isu antara pengusaha dan buruh.
"Ini bisa diperbaiki karena kita sudah ada pemahaman bersama untuk memperbaiki, dan ada take and give-nya yang kami lakukan, dan sudah dibuat juga surveinya. Serikat buruh dan kita udah dikasih masukan, Kementerian Ketenagakerjaan juga sudah memberikan masukan, hanya butuh perubahan 5-6 pasal," kata Sofjan kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/7/2019).
1. Upah
Menurut Sofjan, upah sebaiknya tidak ditentukan oleh kepala daerah (gubernur, bupati maupun walikota) karena mereka tidak mengerti kondisi perusahaan dan mereka umumnya memiliki kepentingan politik.
"Kalau mau pilkada pasti dinaikkan upahnya agar buruh memilih mereka. Ini tidak sehat. Patokan paling baik adalah upah minimum nasional yang ditentukan serikat buruh perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan yang besar bisa membayar upah besar, dan perusahaan kecil membayar yang kecil. Upah minimum perlu tetap dipertahankan," jelasnya.
2. Pesangon
Menurutnya, ketentuan nominal pesangon yang ada saat ini begitu tinggi, mencapai 36 kali gaji untuk karyawan yang sudah bekerja di atas 10 tahun.
Akibatnya, pengusaha seringkali berkonflik dengan serikat buruh dan sebagian besar keluar dari sektor padat karya. Kalaupun masih ada pengusaha yang mau berinvestasi di padat karya, mereka lebih sedikit menggunakan karyawan dan menggantikannya dengan mesin-mesin (otomasi).
"Coba lihat perusahaan padat karya, mana ada yang bayar pesangon kalau sudah bangkrut. Sebagian besar perusahaan yang sudah bangkrut lari saja ke luar negeri, lawyer ditinggalkan di sini karena dia nggak bisa bayar. Jadi pesangon harus dibicarakan," tegasnya.
3. Outsourcing
Persoalan outsourcing tak kalah pelik. Kalangan serikat buruh menghendaki semua bidang usaha tak boleh ada outsourcing. Sedangkan kalangan pengusaha masih menghendaki, terutama dari ketentuan yang saat ini berlaku pada 5 sektor, antara lain cleaning service, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan.
(hoi/hoi) Next Article Ini Alasan Pengusaha Ngebet UU Ketenagakerjaan Direvisi
Most Popular