Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Rapor Mentan Amran: Ekspor Mantap, Urusan Beras Kacau!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 July 2019 13:49
Rapor Mentan Amran: Ekspor Mantap, Urusan Beras Kacau!
Jakarta, CNBC Indonesia - Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2014-2019 akan segera berakhir.

Namun berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi sekali lagi akan menjabat menjadi presiden untuk periode 2014-2024.

Bila tidak ada halangan, Jokowi akan kembali dilantik pada Oktober 2019 nanti. Namun hanya Jokowi dan wakilnya saja yang akan dilantik nanti. Menteri-menterinya belum.

Pelantikan menteri akan dilakukan setelahnya. Setelah Jokowi tuntas memutuskan jajaran menteri periode 2019-2014. Sebelum hal itu terwujud, mungkin ada baiknya untuk melihat kinerja pembantu-pembantu Jokowi dalam lima tahun ke belakang.

Salah satu sektor penting dalam pemerintahan Jokowi adalah pertanian. Wajar, karena pertanian merupakan salah satu fondasi perekonomian Indonesia.  Pertanian menyangkut ketersediaan pangan yang menjadi motor tenaga kerja. Persoalan yang menyangkut perut memang sulit untuk dikesampingkan.

Terutama beras.

Sudah sejak zaman Kerajaan Majapahit, sebagian besar masyarakat di wilayah Nusantara menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Bahkan untuk sebagian orang, belum makan nasi artinya belum makan sama sekali. Mau tak mau beras harus selalu tersedia.

Selain itu beras merupakan komoditas paling penting yang menentukan tingkat kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) beras memberi pengaruh sebesar 19,54% terhadap kemiskinan di perkotaan dan 25,52% di pedesaan. Jika harga beras naik, siap-siap melihat lonjakan pada tingkat kemiskinan.

Maka sudah sewajarnya apabila pemerintah menaruh perhatian yang tidak sedikit pada kondisi beras di Tanah Air.

Produksi Beras Lemas

Namun sayangnya, produksi beras Indonesia di zaman pemerintahan Jokowi tidak bisa dibanggakan. Tengok saja data dari Kementerian Pertanian, yang mana pertumbuhan produksi beras sepanjang 2014-2018 terus menurun.

Pada tahun 2015 pertumbuhan produksi beras masih bisa menyentuh 6,42% secara year-on-year (YoY). Namun angka pertumbuhan tersebut merosot jauh hingga tinggal 2,33% YoY di tahun 2018.

Mohon jangan salah. Angka pertumbuhan yang turun bukan berarti produksi turun. Produksi tetap naik. Hanya saja, angka pertumbuhan yang melandai akan mengganggu keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).



Pasalnya pertumbuhan konsumsi masyarakat atas makanan dan minuman (selain restoran) selalu berada di atas 5% sepanjang 2015-2018, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Kala konsumsi makanan naik 5%, tapi pertumbuhan produksi padi hanya 2% tentu saja yang terjadi adalah kekurangan pasokan.

Maka tidak heran apabila setiap tahun pemerintah selalu meloloskan izin impor beras. Bahkan tahun 2018 impor beras membengkak hingga lebih dari 2 juta ton.

Polemik Data Beras

Tak hanya faktor produksi saja yang membuat Indonesia masih terbelenggu masalah impor beras setiap tahun.

Data produksi beras yang sempat simpang siur juga memiliki andil cukup besar akan hal itu.

Puncaknya terjadi pada tahun 2018, dimana kala itu Kementerian Pertanian memprediksi produksi gabah kering giling (GKG) akan mencapai 80 juta ton. Jumlah tersebut setara dengan 46,5 juta ton beras.

Namun anehnya, BPS menyebut produksi GKG 2018 hanya sebesar 56,54 juta ton. Bila BPS benar, maka sejatinya jumlah produksi beras hanya sebesar 32,42 juta ton. Ada perbedaan 14 juta ton antara data Kementan dan BPS. Jumlah sebesar itu lebih dari cukup untuk membuat keputusan impor yang salah.

Perbedaan data tentu saja bukan masalah yang sepele.

Sebab, data beras merupakan dasar bagi pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan. Kala data yang tersaji di meja salah, maka kebijakan yang diambil tidak akan tepat sasaran.

Buktinya selama ini, impor terus dilakukan saat neraca beras Indonesia tengah mengalami surplus. Tak tanggung-tanggung, surplusnya pernah mencapai 20 juta ton di tahun 2016. Itu sudah lebih dari seperempat produksi padi di tahun yang sama.



Seringkali kondisi tersebut membuat harga di tingkat petani tertekan. Sedangkan di tingkat konsumen seakan tak ada perbedaan.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>

Impor Bagai Dua Sisi Mata Uang

Sebenarnya, impor tidak sepenuhnya buruk. Dengan melakukan impor, ketersediaan pasokan bisa terjamin, sehingga lonjakan harga bisa dihindari. Ujung-ujungnya, konsumsi masyarakat bisa terus dipertahankan, bahkan meningkat.

Namun perlu diingat bahwa impor adalah langkah antisipatif. Langkah yang perlu diputuskan dengan cepat karena bahaya sudah di depan mata.

Ceritanya akan berbeda apabila pemerintah sudah menyadari akan kebutuhan pangan di masa depan yang tinggi. Harapannya, kapasitas produksi pangan sudah dipersiapkan sejak jauh hari. Jika masalah pertumbuhan produksi beras tidak dicari solusinya, maka sudah tentu impor akan menjadi hal yang tidak bisa dihindari.



Bagi perekonomian Indonesia, impor akan membebani neraca transaksi berjalan. Transaksi berjalan sendirimerupakan komponen penting dalam stabilitas ekonomi Tanah Air karena mencerminkan aliran valas yang hilir mudik dari sektor riil. 

Sebagai informasi, sudah sejak tahun 2011 CAD muncul dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sejak saat itu pula nilai tukar rupiah punya kecenderungan untuk melemah. Berkali-kali Presiden Jokowi juga telah mengungkapkan kekesalannya karena defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang tak kunjung bisa diselesaikan.

Pertumbuhan Ekonomi Jadi Taruhan

Selain berakibat pada impor yang tak terbendung, produksi tanaman pertanian yang loyo akan sangat berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian secara luas.

Hal itu karena hingga akhir tahun 2018, 10,88% struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang dari sektor pertanian. Itu juga merupakan yang terbesar keempat, hanya kalah dari industri, perdagangan, dan konstruksi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi akan mendapat hambatan yang cukup kuat kala pertumbuhan pertanian tidak maksimal.



Sayangnya itulah yang terjadi selama ini. Sepanjang tahun 2015-2018, pertubuhan sektor pertanian hanya berkutat di kisaran 3%. Jauh lebih kecil dibanding total pertumbuhan ekonomi yang sekitar 5%.

Bahkan khusus untuk subsektor tanaman pangan kinerjanya lebih buruk lagi.

Sepanjang 2015-2018, pertumbuhan PDB di subsektor tanaman pangan terus mengalami penyusutan. Tahun 2018 pertumbuhan subsektor tanaman pangan hanya sebesar 1,48%.

Untuk itu, Jokowi tampaknya perlu memberi perhatian tambahan akan permasalahan pertanian pada periode kepemimpinan 2019-2024.  Jika tidak, akan banyak masalah yang sulit untuk dipecahkan mulai dari kemiskinan, CAD, hingga pertumbuhan ekonomi.



BERLANJUT KE HALAMAN 3>>>


Tenang, tidak semuanya buruk kok.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, impor tak selamanya buruk. Impor dapat menambah ketersediaan bahan pangan di Indonesia sehingga harga dapat terjaga. Itulah yang terjadi pada masa kepemimpinan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman.

Buktinya, rata-rata inflasi kelompok bahan makanan sepanjang periode 2015-2018 hanya sebesar 3,82% saja, berdasarkan data dari BPS.

Angka rata-rata inflasi tersebut jauh lebih kecil dibanding periode 2011-2014 yang mencapai 7,81%.

Sebagai informasi, angka inflasi menunjukkan tingkat kenaikan harga di tingkat konsumen. Kala inflasi rendah, artinya harga yang diterima oleh konsumen di Indonesia juga tidak banyak  berubah.

Dampaknya, jumlah kemiskinan yang dapat dikurangi. Dalam hal ini, kemiskinan di sektor pertanian dapat diwakili oleh penduduk perdesaan.

Jika per September 2014 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 17,37 juta jiwa, maka per September 2018 telah berkurang hingga 15,54 juta jiwa. Fakta tersebut menunjukkan ada perbaikan kesejahteraan dari para penggiat pertanian. Tentu bukan hal yang buruk.

Selain itu, di tangan Menteri Amran, ekspor komoditas pertanian masih bisa terus ditingkatkan dari tahun ke-tahun.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2014, Indonesia mengekspor komoditas pertanian dengan total berat mencapai 3,15 juta ton. Dengan rata-rata pertumbuhan 7,49%, ekspor komoditas pertanian di tahun 2018 telah mencapai 4,34 juta ton.

Artinya masih ada pertumbuhan ekspor yang setidaknya dapat mengurangi beban dari neraca transaksi berjalan.

Hal-hal seperti ini tentunya harus dilanjutkan dan semakin ditingkatkan oleh pemerintahan periode 2019-2024.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular