
Ekonomi RI Lemah-Letih-Lesu, Mana Kebijakan 'Gila' Jokowi?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 June 2019 07:16

Kini, sudah waktunya bagi Jokowi untuk segera mengarahkan anak buahnya guna meluncurkan kebijakan ‘gila’ yang sudah digembar-gemborkan. Sebelum membahas kebijakan ‘gila’ yang harus diambil sang presiden, mari sedikit membahas mengenai hasil pertemuan Bank Indonesia (BI) pada bulan ini.
Pada bulan ini, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini.
Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas dalam waktu dekat.
Tak hanya pelaku pasar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun juga sebelumnya sudah ‘menyindir’ BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.
Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Baru-baru ini, ‘sindiran’ kembali dilontarkan oleh Sri Mulyani. Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang guna memacu pertumbuhan ekonomi, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, ya jagalah hot money yang masuk supaya tak mudah dibawa kabur.
Caranya: kombinasikan kebijakan moneter dengan fiskal. Kini, kita berbicara mengenai kebijakan ‘gila’ yang harus diambil Jokowi. Kebijakan yang harus diambil presiden adalah memangkas tingkat PPh korporasi.
Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah. Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.
Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.
"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.
Nah, kebijakan ini harus segera dieksekusi. Kalau tidak, Perry Warjiyo dan kolega bisa berpikir berkali-kali sebebelum memangkas tingkat suku bunga acuan. Pasalnya seperti yang sudah disebutkan tadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan tanpa diimbangi kebijakan fiskal akan membuat hot money yang masuk ke tanah air hanya akan bertahan sebentar. Ujung-ujungnya, rupiah loyo lagi dan dampaknya ke sektor riil tidak ada.
Pemangkasan tarif PPh korporasi sangatlah mendesak. Pasalnya, insentif fiskal lain yang ditawarkan pemerintah berupa tax allowance dan tax holiday benar-benar ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Jadi, daripada sekedar ‘berteriak’ meminta pemangkasan tingkat suku bunga acuan kepada Perry dan kolega, ada baiknya Sri Mulyani ikut berkontribusi dalam membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
(ank/dru)
Pada bulan ini, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini.
Tak hanya pelaku pasar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun juga sebelumnya sudah ‘menyindir’ BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.
Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Baru-baru ini, ‘sindiran’ kembali dilontarkan oleh Sri Mulyani. Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang guna memacu pertumbuhan ekonomi, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, ya jagalah hot money yang masuk supaya tak mudah dibawa kabur.
Caranya: kombinasikan kebijakan moneter dengan fiskal. Kini, kita berbicara mengenai kebijakan ‘gila’ yang harus diambil Jokowi. Kebijakan yang harus diambil presiden adalah memangkas tingkat PPh korporasi.
Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah. Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.
Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.
"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.
Nah, kebijakan ini harus segera dieksekusi. Kalau tidak, Perry Warjiyo dan kolega bisa berpikir berkali-kali sebebelum memangkas tingkat suku bunga acuan. Pasalnya seperti yang sudah disebutkan tadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan tanpa diimbangi kebijakan fiskal akan membuat hot money yang masuk ke tanah air hanya akan bertahan sebentar. Ujung-ujungnya, rupiah loyo lagi dan dampaknya ke sektor riil tidak ada.
Pemangkasan tarif PPh korporasi sangatlah mendesak. Pasalnya, insentif fiskal lain yang ditawarkan pemerintah berupa tax allowance dan tax holiday benar-benar ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Jadi, daripada sekedar ‘berteriak’ meminta pemangkasan tingkat suku bunga acuan kepada Perry dan kolega, ada baiknya Sri Mulyani ikut berkontribusi dalam membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
(ank/dru)
Next Page
Ruang Fiskal Masih Lebar
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular