Lion Air Cs Berdarah-darah, Apa yang Jadi Biang Keroknya?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 June 2019 15:58
Lion Air Cs Berdarah-darah, Apa yang Jadi Biang Keroknya?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bisnis penerbangan di Indonesia sedang jadi sorotan. Selain tarif penerbangan yang tinggi, persoalan kinerja keuangan juga jadi perhatian.

Salah satu pemain utama maskapai penerbangan, Lion Air, dikabarkan melakukan penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada Angkasa Pura I (AP-I), selaku pengelola bandara. Jasa kebandarudaraan meliputi sewa check-in counter, parking fee, serta ground and baggage handling.

Penundaan pembayaran ini bisa jadi salah satu indikator bahwa kondisi keuangan perusahaan sedang bermasalah. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Polana B. Pramesti mengatakan secara tersirat kondisi keuangan Lion Air sedang tidak baik.

"Masih (dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp1 triliun kalau nggak salah ya [kerugiannya]."

Selama ini, bahan bakar pesawat menyumbang pembentukan biaya penerbangan yang signifikan. Mengutip Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA), pada 2018 komponen bahan bakar menyumbang hingga 23,5% dari total biaya operasi penerbangan. Saat itu rata-rata harga minyak mentah jenis Brent berada di level US$ 71,67/barel.



Sehingga fluktuasi harga minyak mentah global akan memiliki hubungan yang erat pada biaya operasi maskapai. Pada 2018, IATA mencatat adanya kenaikan biaya bahan bakar hingga 20,5% dibanding 2017. Pada periode yang sama harga minyak mentah naik sebesar 30,9%.

IATA mencatat biaya bahan bakar pada 2018 sudah hampir dua kali lipat dibanding 2005, kala itu harga minyak mentah masih US$ 55,5/barel.

Sumber: IATA


Data Refinitiv, mencatat harga minyak mentah dunia pada 2018 termasuk yang tinggi. Rata-rata tahunan, harga minyak 2018 tertinggi sejak 2014. Melihat data-data tersebut, agak wajar apabila pada 2018 kinerja keuangan maskapai penerbangan terbebani oleh harga minyak.

Laporan keuangan salah satu maskapai lokal, Garuda Indonesia bisa jadi contohnya. Pada 2018, pendapatan Garuda yang berasal dari penerbangan hanya naik 2,75% year-on-year (YoY). Namun di saat yang sama, beban operasional penerbangan melonjak hingga 10,41% YoY.



Komponen biaya operasional penerbangan Garuda Indonesia yang melesat paling tinggi adalah bahan bakar, yakni mencapai 20,83% YoY. Garuda tampak sudah berusaha melakukan efisiensi pada biaya operasional penerbangan. Marjin operasional penerbangan Garuda 2018 turun menjadi 29% dari yang semula 37%.



BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>

Fluktuasi harga minyak yang masih terus terjadi bisa berpeluang membawa berkah pada kinerja maskapai penerbangan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang suram akibat adanya perang dagangan Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah mitranya telah menurunkan proyeksi permintaan minyak dunia. Pasokan pun berpotensi melimpah dan membuat harga minyak tertekan.

Saat ini rata-rata harga minyak Brent 2019 masih sebesar US$ 66,44/barel, atau lebih turun 7,3% dibanding 2018. Pun harga Brent tahun ini diprediksi akan berada di kisaran US$ 70/barel, atau sedikit berada di bawah rata-rata 2018.



Di dalam negeri tanda-tandanya juga sudah dapat dilihat. Berdasarkan data dari Pertamina Aviation, harga avtur yang dijual oleh Pertamina per 10 Juni 2019 secara rata-rata nasional sebesar Rp 9.700/liter. Harga tersebut sudah turun 4,12% dibandingkan posisinya pada Mei 2018.

Bahkan kondisi tersebut sudah dikombinasikan dengan peningkatan harga tiket pesawat yang cukup signifikan sejak pertengahan 2018. Hingga saat ini. Artinya maskapai punya peluang untuk mendapatkan keuntungan tahun ini.

Namun, industri penerbangan Tanah Air menghadapi permasalahan lain di samping harga minyak mentah global.

Adalah disparitas harga avtur di berbagai daerah yang masih sangat tinggi. Sebab melihat data perkembangan harga avtur, penurunan harga paling tinggi ada di daerah Jakarta, yaitu sekitar 6%. Sedangkan pada daerah-daerah lain, penurunan harga avtur hanya pada kisaran 4%.

Hal tersebut membuah disparitas harga avtur di Jakarta dan daerah lain semakin besar. Contohnya saja perbedaan antara Jakarta dan Palembang yang mencapai 16,78%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular