Maskapai Berdarah-darah, Saham Garuda & AirAsia Malah Hijau
tahir saleh, CNBC Indonesia
10 June 2019 12:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja bisnis maskapai penerbangan Tanah Air yang 'berdarah-darah' tampaknya belum tercermin terhadap harga saham emiten maskapai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Saat ini baru ada tiga perusahaan maskapai yang terdaftar di BEI yakni PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP), dan PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA). Emiten yang terakhir disebut ini dikendalikan oleh Grup MNC. Adapun Lion Air Group yang membawahi Lion Air, Wings Air, dan Batik Air belum tercatat di bursa.
Data perdagangan menunjukkan, pada penutupan sesi I, Senin (10/6/2019), saham GIAA naik 1,85% di level Rp 440/saham, dengan nilai transaksi Rp 6 miliar dan volume perdagangan sebanyak 13,69 juta saham. Dalam sepekan, saham Garuda naik 0,92% dan secara year to date atau tahun berjalan melesat 48%.
Saham AirAsia juga naik hari ini sebesar 4,62% di level Rp 204/saham dengan nilai transaksi relatif kecil Rp 24,25 juta dan volume perdagangan 120.900 saham. Sepekan terakhir perdagangan, saham CMPP naik vampir 10% kendati secara tahun berjalan sahamnya minus 1,92%.
Adapun saham IATA milik Grup MNC cenderung stagnan atau bahkan masuk saham tidur. Dalam 5 tahun terakhir saham IATA yang bisnisnya fokus pada pesawat charter ini minus 24%.
Penguatan harga saham maskapai penerbangan ini berbanding terbalik dengan kinerja bisnis maskapai yang diungkapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti, dalam keterangannya mengungkapkan bahwa kondisi maskapai penerbangan dalam negeri belum kondusif.
Lion Air Group bahkan diketahui meminta penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP-I.
Bahkan AirAsia juga mengalami kerugian yang mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia saja yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi.
Polana mengakui memang saat ini laporan keuangan Lion Air menunjukkan hal yang tidak begitu baik. Bahkan Lion Air masih terus dimonitor oleh Kemenhub. "Masih (Dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
"Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau enggak salah ya (kerugiannya)." "Ekuitasnya negatif. Tapi karena dia kan holding ya jadi bisa di-support," imbuh Polana.
Sebagai perbandingan, data laporan keuangan mencatat AirAsia Indonesia mencatatkan kerugian hingga Rp 907,29 miliar, hampir dua kali lipat dari kerugian tahun 2017 yang sebesar Rp 512,64 miliar. Ini artinya selama 4 tahun terakhir, Air Asia Indonesia belum pernah mencatatkan keuntungan.
Namun kabar baiknya, lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, dalam laporan 22 Mei lalu, memproyeksikan kinerja operasional dan performa keuangan industri penerbangan Tanah Air akan membaik di tahun 2019, meskipun pemerintah baru-baru ini menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) harga tiket pesawat untuk beberapa rute domestik.
Pada laporan 22 Mei 2019, Fitch menyampaikan bahwa kebijakan tarif yang baru tersebut sebetulnya hanya berdampak langsung pada penyedia jasa maskapai full service seperti Garuda Indonesia dan Batik Air. Garuda Indonesia dioperasikan oleh PT Garuda Indonesia Tbk, sementara Batik Air milik Lion Air Group.
Fitch juga memproyeksi bahwa permintaan yang tinggi selama liburan Idul Fitri pada bulan Juni mendatang akan membantu mempertahankan kinerja keuangan yang kokoh.
Simak strategi AirAsia dalam meningkatkan kinerja bisnis.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/hps) Next Article Soal AirAsia, Bos Garuda: Kami Tunggu Proposal Dulu
Saat ini baru ada tiga perusahaan maskapai yang terdaftar di BEI yakni PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP), dan PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA). Emiten yang terakhir disebut ini dikendalikan oleh Grup MNC. Adapun Lion Air Group yang membawahi Lion Air, Wings Air, dan Batik Air belum tercatat di bursa.
Data perdagangan menunjukkan, pada penutupan sesi I, Senin (10/6/2019), saham GIAA naik 1,85% di level Rp 440/saham, dengan nilai transaksi Rp 6 miliar dan volume perdagangan sebanyak 13,69 juta saham. Dalam sepekan, saham Garuda naik 0,92% dan secara year to date atau tahun berjalan melesat 48%.
Saham AirAsia juga naik hari ini sebesar 4,62% di level Rp 204/saham dengan nilai transaksi relatif kecil Rp 24,25 juta dan volume perdagangan 120.900 saham. Sepekan terakhir perdagangan, saham CMPP naik vampir 10% kendati secara tahun berjalan sahamnya minus 1,92%.
Adapun saham IATA milik Grup MNC cenderung stagnan atau bahkan masuk saham tidur. Dalam 5 tahun terakhir saham IATA yang bisnisnya fokus pada pesawat charter ini minus 24%.
Penguatan harga saham maskapai penerbangan ini berbanding terbalik dengan kinerja bisnis maskapai yang diungkapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti, dalam keterangannya mengungkapkan bahwa kondisi maskapai penerbangan dalam negeri belum kondusif.
Lion Air Group bahkan diketahui meminta penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP-I.
Bahkan AirAsia juga mengalami kerugian yang mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia saja yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi.
Polana mengakui memang saat ini laporan keuangan Lion Air menunjukkan hal yang tidak begitu baik. Bahkan Lion Air masih terus dimonitor oleh Kemenhub. "Masih (Dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
"Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau enggak salah ya (kerugiannya)." "Ekuitasnya negatif. Tapi karena dia kan holding ya jadi bisa di-support," imbuh Polana.
Sebagai perbandingan, data laporan keuangan mencatat AirAsia Indonesia mencatatkan kerugian hingga Rp 907,29 miliar, hampir dua kali lipat dari kerugian tahun 2017 yang sebesar Rp 512,64 miliar. Ini artinya selama 4 tahun terakhir, Air Asia Indonesia belum pernah mencatatkan keuntungan.
Namun kabar baiknya, lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, dalam laporan 22 Mei lalu, memproyeksikan kinerja operasional dan performa keuangan industri penerbangan Tanah Air akan membaik di tahun 2019, meskipun pemerintah baru-baru ini menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) harga tiket pesawat untuk beberapa rute domestik.
Pada laporan 22 Mei 2019, Fitch menyampaikan bahwa kebijakan tarif yang baru tersebut sebetulnya hanya berdampak langsung pada penyedia jasa maskapai full service seperti Garuda Indonesia dan Batik Air. Garuda Indonesia dioperasikan oleh PT Garuda Indonesia Tbk, sementara Batik Air milik Lion Air Group.
Fitch juga memproyeksi bahwa permintaan yang tinggi selama liburan Idul Fitri pada bulan Juni mendatang akan membantu mempertahankan kinerja keuangan yang kokoh.
Simak strategi AirAsia dalam meningkatkan kinerja bisnis.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/hps) Next Article Soal AirAsia, Bos Garuda: Kami Tunggu Proposal Dulu
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular