
Kisah Etihad yang Berdarah-darah karena Investasi & Kompetisi
Prima Wirayani & Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 June 2019 12:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai Abu Dhabi, Etihad Airways, telah mengalami kerugian sekitar US$4,7 miliar (Rp 67 triliun) dalam tiga tahun terakhir karena investasi di beberapa maskapai dunia mulai tidak menguntungkan.
Etihada memang dikenal suka menyelamatkan maskapai lain yang tengah mengalami kesulitan, namun kini maskapai tersebut harus berdarah-darah. Investasinya di Alitalia, Air Berlin, dan Jet Airways India tidak lagi berbuah manis.
Pendapatan maskapai juga terus turun karena persaingan yang semakin ketat.
Kerugian maskapai nasional kedua Uni Emirat Arab (UEA) yang biasanya meraup banyak untung ini jelas mengejutkan. Bersama dengan Emirates Airlines, yang berbasis di Dubai, dan Qatar Airways, Etihad telah membantu mengubah penerbangan global dalam beberapa dekade terakhir dengan menggunakan hubnya di Teluk untuk menerbangkan jutaan orang dari bagian timur dan barat Bumi, dikutip dari Business Insider, Senin (10/6/2019).
Maskapai penerbangan Emirates, yang lebih tua dan lebih besar dari dua maskapai nasional lainnya, tetap menguntungkan selama tiga dekade. Pada 2017, mereka menyetujui kemitraan dengan maskapai berbiaya rendah FlyDubai yang mencakup mengoordinasikan jadwal mereka dan menyelaraskan operasi bandara mereka.
Emirates ramai disebut-sebut dapat menjadi penyelamat Etihad. Pada September lalu, Bloomberg melaporkan bahwa kedua maskapai tengah berbicara untuk menggabungkan bisnis mereka dan menciptakan maskapai terbesar di dunia berdasarkan lalu lintas penumpang.
Namun, kedua petinggi perusahaan membantah kabar itu.
CEO Etihad Tony Douglas membantah laporan Bloomberg dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan majalah Arabian Business.
Pada 2017, Presiden Emirates Tim Clark mengatakan "masih terlalu dini" untuk berbicara tentang merger dengan Etihad. Dia juga menjelaskan bahwa keputusan seperti itu hanya akan diambil oleh penguasa Dubai dan Abu Dhabi.
"Saya mengikuti arahan dari atasan saya. Jika mereka ingin melakukannya, kami bisa melakukan banyak hal," kata Clark dalam sebuah wawancara dengan CNN. "Tapi jika mereka ingin melangkah sejauh ini, saya tidak tahu."
Konsultan industri penerbangan John Strickland mengatakan kedua maskapai bisa bekerja bersama untuk "mencapai efisiensi biaya" tetapi dia tidak memperkirakan merger akan terjadi dalam waktu dekat.
Etihad berhasil menekan kerugiannya dari US$ 1,52 miliar pada 2017 menjadi US$ 1,28 miliar pada 2018.
Memangkas biaya hanya sebagian dari tantangan yang harus diselesaikan Etihad. Maskapai itu ternyata juga kesulitan mempertahankan jumlah penumpang ketika lalu lintas terus tumbuh.
Jumlah penumpang maskapai ini telah berkurang lebih dari satu juta orang pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu merugikan faktor keterisiannya (loading factor), yang mengukur berapa banyak kursi yang terisi pada setiap penerbangan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional memperkirakan akan ada 290 juta lebih banyak penumpang yang akan bepergian ke, dari dan di dalam kawasan Teluk pada 2037.
(prm) Next Article Berdarah-Darah, Etihad Akan Merger dengan Emirates?
Etihada memang dikenal suka menyelamatkan maskapai lain yang tengah mengalami kesulitan, namun kini maskapai tersebut harus berdarah-darah. Investasinya di Alitalia, Air Berlin, dan Jet Airways India tidak lagi berbuah manis.
Pendapatan maskapai juga terus turun karena persaingan yang semakin ketat.
Maskapai penerbangan Emirates, yang lebih tua dan lebih besar dari dua maskapai nasional lainnya, tetap menguntungkan selama tiga dekade. Pada 2017, mereka menyetujui kemitraan dengan maskapai berbiaya rendah FlyDubai yang mencakup mengoordinasikan jadwal mereka dan menyelaraskan operasi bandara mereka.
Emirates ramai disebut-sebut dapat menjadi penyelamat Etihad. Pada September lalu, Bloomberg melaporkan bahwa kedua maskapai tengah berbicara untuk menggabungkan bisnis mereka dan menciptakan maskapai terbesar di dunia berdasarkan lalu lintas penumpang.
![]() |
Namun, kedua petinggi perusahaan membantah kabar itu.
CEO Etihad Tony Douglas membantah laporan Bloomberg dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan majalah Arabian Business.
Pada 2017, Presiden Emirates Tim Clark mengatakan "masih terlalu dini" untuk berbicara tentang merger dengan Etihad. Dia juga menjelaskan bahwa keputusan seperti itu hanya akan diambil oleh penguasa Dubai dan Abu Dhabi.
"Saya mengikuti arahan dari atasan saya. Jika mereka ingin melakukannya, kami bisa melakukan banyak hal," kata Clark dalam sebuah wawancara dengan CNN. "Tapi jika mereka ingin melangkah sejauh ini, saya tidak tahu."
Konsultan industri penerbangan John Strickland mengatakan kedua maskapai bisa bekerja bersama untuk "mencapai efisiensi biaya" tetapi dia tidak memperkirakan merger akan terjadi dalam waktu dekat.
Etihad berhasil menekan kerugiannya dari US$ 1,52 miliar pada 2017 menjadi US$ 1,28 miliar pada 2018.
Memangkas biaya hanya sebagian dari tantangan yang harus diselesaikan Etihad. Maskapai itu ternyata juga kesulitan mempertahankan jumlah penumpang ketika lalu lintas terus tumbuh.
Jumlah penumpang maskapai ini telah berkurang lebih dari satu juta orang pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu merugikan faktor keterisiannya (loading factor), yang mengukur berapa banyak kursi yang terisi pada setiap penerbangan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional memperkirakan akan ada 290 juta lebih banyak penumpang yang akan bepergian ke, dari dan di dalam kawasan Teluk pada 2037.
(prm) Next Article Berdarah-Darah, Etihad Akan Merger dengan Emirates?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular