Derita Maskapai Tanah Air: Ada yang Modalnya Negatif!
Muhammad Choirul, CNBC Indonesia
10 June 2019 11:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai penerbangan Lion Air Group diketahui meminta penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP-I.
Bahkan PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) atau AirAsia juga mengalami kerugian yang mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia saja yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi.
Sederet berita tersebut memberikan fakta nyata industri penerbangan kian berdarah-darah.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti, mengakui memang saat ini laporan keuangan Lion Air menunjukkan hal yang tidak begitu baik. Bahkan Lion Air masih terus dimonitor oleh Kemenhub.
"Masih (Dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
"Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau nggak salah ya (kerugiannya)."
"Ekuitasnya negatif. Tapi karena dia kan holding ya jadi bisa di-support," imbuh Polana.
Dijelaskan Polana, Kemenhub tengah melakukan analisis lebih jauh. Apa yang perlu pemerintah cermati lebih jauh dan mungkin subsidi diberikan.
"Kita analisis kira-kira apa sih yang mereka (mungkin butuhkan). Memang tidak ada subsidi sama sekali ya."
Khusus Lion Air, diketahui ada penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada AP I ini dijelaskan secara lengkap oleh pihak Lion Air. Seperti diketahui, jasa kebandarudaraan meliputi sewa check-in counter, parking fee, hingga ground and baggage handling.
"Yang saya monitor demikian ada surat permohonan dari pihak Lion, lebih lanjut saya cek lagi. Nanti saya info lanjut," kata Humas AP I Awaluddin kepada CNBC Indonesia.
Berikut pernyataan Lion Air melalui Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro :
Sehubungan dengan perkembangan pemberitaan mengenai penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan, Lion Air Group menyampaikan bahwa:
Industri penerbangan tanah air memang menghadapi situasi sulit. Dari biaya avtur yang mahal, membuat tiket pun mahal. Alhasil tingkat keterisian maskapai juga tak pernah penuh. Apalagi low season di awal tahun disinyalir semakin berat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara, AirAsia Indonesia mencatatkan kinerja kurang menggembirakan sepanjang 2018. AirAsia mencatat rugi (sebelum pajak) sebesar Rp 998 miliar di 2018.
Namun dalam laporan keuangan perusahaan yang belum diaudit, perseroan sebetulnya mencatatkan pendapatan sebesar Rp 4,20 triliun, naik 11% dibandingkan tahun 2017.
Pertumbuhan pendapatan didukung peningkatan jumlah penumpang sebesar 13% menjadi 5.2 juta, seiring dengan pertumbuhan kapasitas sebesar 16% dibandingkan tahun sebelumnya.
Beban usaha tahun lalu meningkat lebih tinggi disebabkan oleh pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS di sepanjang tahun dan beban avtur meningkat 53% dengan harga avtur rata-rata sebesar US$ 85 per barel. Tahun sebelumnya, harga avtur rata-rata US$ 64 per barel.
(dru/wed) Next Article Ini Dia Biang Kerok Kosongnya Kursi Pesawat Terbang
Bahkan PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) atau AirAsia juga mengalami kerugian yang mencapai Rp 1 triliun. Hanya Garuda Indonesia saja yang mencatatkan keuntungan walaupun dari kerja sama WiFi dengan Mahata Aero Teknologi.
Sederet berita tersebut memberikan fakta nyata industri penerbangan kian berdarah-darah.
"Masih (Dimonitor). Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," kata Polana di kantornya, Senin (10/6/2019).
"Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau nggak salah ya (kerugiannya)."
"Ekuitasnya negatif. Tapi karena dia kan holding ya jadi bisa di-support," imbuh Polana.
Dijelaskan Polana, Kemenhub tengah melakukan analisis lebih jauh. Apa yang perlu pemerintah cermati lebih jauh dan mungkin subsidi diberikan.
"Kita analisis kira-kira apa sih yang mereka (mungkin butuhkan). Memang tidak ada subsidi sama sekali ya."
Khusus Lion Air, diketahui ada penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada AP I ini dijelaskan secara lengkap oleh pihak Lion Air. Seperti diketahui, jasa kebandarudaraan meliputi sewa check-in counter, parking fee, hingga ground and baggage handling.
"Yang saya monitor demikian ada surat permohonan dari pihak Lion, lebih lanjut saya cek lagi. Nanti saya info lanjut," kata Humas AP I Awaluddin kepada CNBC Indonesia.
Berikut pernyataan Lion Air melalui Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro :
Sehubungan dengan perkembangan pemberitaan mengenai penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan, Lion Air Group menyampaikan bahwa:
- Lion Air Group meminta kepada pengelola bandar udara agar hal yang terkait dengan kewajiban pembayaran diperlakukan sama dengan operator penerbangan lainnya.
- Lion Air Group sudah menyampaikan hal tersebut secara tertulis dan resmi melalui surat kepada pengelola bandar udara.
- Kewajiban pembayaran yang Lion Air Group minta untuk dibuatkan termin pembayarannya adalah kewajiban Januari, Februari dan Maret 2019.
- Lion Air Group bersama pihak pengelola bandar udara sebagaimana dimaksud telah melakukan pertemuan resmi dan sudah menyepakati secara tertulis terkait dengan termin pembayaran kewajiban Januari, Februari, Maret 2019 dan pembayaran sudah dilaksanakan.
- Pembayaran kewajiban April dan seterusnya dilakukan secara normal (tidak ada penundaan).
Industri penerbangan tanah air memang menghadapi situasi sulit. Dari biaya avtur yang mahal, membuat tiket pun mahal. Alhasil tingkat keterisian maskapai juga tak pernah penuh. Apalagi low season di awal tahun disinyalir semakin berat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara, AirAsia Indonesia mencatatkan kinerja kurang menggembirakan sepanjang 2018. AirAsia mencatat rugi (sebelum pajak) sebesar Rp 998 miliar di 2018.
Namun dalam laporan keuangan perusahaan yang belum diaudit, perseroan sebetulnya mencatatkan pendapatan sebesar Rp 4,20 triliun, naik 11% dibandingkan tahun 2017.
Pertumbuhan pendapatan didukung peningkatan jumlah penumpang sebesar 13% menjadi 5.2 juta, seiring dengan pertumbuhan kapasitas sebesar 16% dibandingkan tahun sebelumnya.
Beban usaha tahun lalu meningkat lebih tinggi disebabkan oleh pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS di sepanjang tahun dan beban avtur meningkat 53% dengan harga avtur rata-rata sebesar US$ 85 per barel. Tahun sebelumnya, harga avtur rata-rata US$ 64 per barel.
(dru/wed) Next Article Ini Dia Biang Kerok Kosongnya Kursi Pesawat Terbang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular