Apa Iya Rakyat Untung Bila Ibu Kota tak Lagi Jakarta?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
30 April 2019 07:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari yang saat ini berada di Jakarta kembali menjadi pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat.
Hal itu karena pada hari Senin (29/4/2019), Presiden Joko Widodo menjadikan pemindahan ibu kota sebagai salah satu topik pembahasan pada Rapat Kabinet Terbatas (Ratas).
"Rapat siang hari ini akan membahas rencana pemindahan ibu kota," kata Jokowi di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Tapi apa sih untung-ruginya apabila ibu kota dipindahkan? Atau malah lebih baik tidak dipindahkan?
Berdasarkan hasil penelitian yang disusun oleh Tim Nawa Cita pada tahun 2018, baik memindahkan maupun tidak memindahkan Ibu Kota memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.
Skenario Ibukota Tetap di Jakarta
Apabila Ibu Kota Indonesia tetap dipertahankan ada di Jakarta, ada dua manfaat yang bisa didapatkan.
Pertama, tentu saja tidak memerlukan tambahan biaya untuk pemindahan kota. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dibutuhkan untuk membuat ibu kota baru bisa mencapai Rp 466 triliun, seperti yang dikatakan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Uang sebesar itu setara dengan 3,14% produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2018 dan bisa digunakan untuk membangun kota di atas tanah seluas 40.000 hektare.
Ada pula opsi luas tanah 30.000 hektare dengan biaya Rp 322 triliun.
Kedua, tidak ada guncangan baru secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Memindahkan ibu kota juga berarti memindahkan manusianya.
Tentu saja gelombang migrasi besar-besaran akan terjadi bila ibu kota berpindah. Tidak hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan pindah, sejumlah kegiatan usaha lain yang memiliki hubungan erat dengan pemerintahan juga akan mengikuti.
Kedatangan jumlah manusia yang begitu masif ke suatu daerah tentu saja akan menimbulkan gesekan antara penduduk sekitar. Selain itu peta perekonomian juga harus beradaptasi dengan kondisi geografis yang berubah.
Akan tetapi, bila tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, ada potensi 'harga' yang harus dibayar.
Biaya yang harus dibayar untuk skenario ini adalah kualitas kota Jakarta secara pasti akan menurun , baik dalam jangka pendek (10 tahun), jangka menengah (25 tahun), dan jangka panjang (50 tahun).
Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan kepadatan penduduk, kemacetan, dan potensi banjir yang akan semakin parah jika pembangunan terus dipusatkan di Jakarta.
Kala kepadatan penduduk meningkat, kualitas lingkungan hidup otomatis akan terpangkas. Akibatnya, masyarakat akan semakin stress yang berujung pada penurunan tingkat kesehatan dan peningkatan kriminalitas. Akibatnya biaya penanggulangan hal tersebut akan semakin membengkak.
Dengan mempertimbangkan untung-rugi tersebut, Tim Nawa Cita Menilai manfaat yang akan didapat akan lebih kecil dibanding biaya yang harus dikeluarkan bila mempertahankan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota secara bersamaan.
Bagaimana jika ibu kota benar pindah?
BERLANJUT KE HALAMAN 2
Hal itu karena pada hari Senin (29/4/2019), Presiden Joko Widodo menjadikan pemindahan ibu kota sebagai salah satu topik pembahasan pada Rapat Kabinet Terbatas (Ratas).
"Rapat siang hari ini akan membahas rencana pemindahan ibu kota," kata Jokowi di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang disusun oleh Tim Nawa Cita pada tahun 2018, baik memindahkan maupun tidak memindahkan Ibu Kota memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.
Skenario Ibukota Tetap di Jakarta
Apabila Ibu Kota Indonesia tetap dipertahankan ada di Jakarta, ada dua manfaat yang bisa didapatkan.
Pertama, tentu saja tidak memerlukan tambahan biaya untuk pemindahan kota. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dibutuhkan untuk membuat ibu kota baru bisa mencapai Rp 466 triliun, seperti yang dikatakan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Uang sebesar itu setara dengan 3,14% produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2018 dan bisa digunakan untuk membangun kota di atas tanah seluas 40.000 hektare.
Ada pula opsi luas tanah 30.000 hektare dengan biaya Rp 322 triliun.
Kedua, tidak ada guncangan baru secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Memindahkan ibu kota juga berarti memindahkan manusianya.
Tentu saja gelombang migrasi besar-besaran akan terjadi bila ibu kota berpindah. Tidak hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan pindah, sejumlah kegiatan usaha lain yang memiliki hubungan erat dengan pemerintahan juga akan mengikuti.
Kedatangan jumlah manusia yang begitu masif ke suatu daerah tentu saja akan menimbulkan gesekan antara penduduk sekitar. Selain itu peta perekonomian juga harus beradaptasi dengan kondisi geografis yang berubah.
Akan tetapi, bila tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, ada potensi 'harga' yang harus dibayar.
Biaya yang harus dibayar untuk skenario ini adalah kualitas kota Jakarta secara pasti akan menurun , baik dalam jangka pendek (10 tahun), jangka menengah (25 tahun), dan jangka panjang (50 tahun).
Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan kepadatan penduduk, kemacetan, dan potensi banjir yang akan semakin parah jika pembangunan terus dipusatkan di Jakarta.
Kala kepadatan penduduk meningkat, kualitas lingkungan hidup otomatis akan terpangkas. Akibatnya, masyarakat akan semakin stress yang berujung pada penurunan tingkat kesehatan dan peningkatan kriminalitas. Akibatnya biaya penanggulangan hal tersebut akan semakin membengkak.
Dengan mempertimbangkan untung-rugi tersebut, Tim Nawa Cita Menilai manfaat yang akan didapat akan lebih kecil dibanding biaya yang harus dikeluarkan bila mempertahankan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota secara bersamaan.
Bagaimana jika ibu kota benar pindah?
BERLANJUT KE HALAMAN 2
Next Page
Skenario Pemindahan Ibu kota
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular