
Dikebut Habis Pilpres, Gross Split Didesak Masuk RUU Migas
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
21 March 2019 18:26

Jakarta, CNBC Indonesia- Komisi VII DPR menargetkan akan membahas kembali rancangan revisi UU Migas (RUU Migas) setelah melewati masa pilpres pada April 2019 mendatang.
"Usulan dari DPR sudah selesai, sudah diparipurnakan di masa sidang yang lalu, kemudian menunggu amanat Presiden (Ampres) baru kemudian dibahas. Mungkin karena ini mau pemilu jadi tertahan pembahasannya, mudah-mudahan setelah pemilu bisa dikebut," ujar anggota Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy saat dijumpai di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Lebih lanjut, Tjatur mengatakan, pihaknya menargetkan RUU Migas tersebut bisa selesai di periode masa bakti saat ini, atau sebelum September 2019.
Adapun, beberapa poin yang menjadi usulan dari DPR yakni soal badan usaha khusus (BUK) untuk sektor hulu dan hilir. Di hulu, pemerintah bebas menunjuk siapa saja, misalnya Pertamina. Sementara untuk di hilir, juga bisa siapa pun, asalkan pengawasannya ada di BPH Migas.
"Untuk impor dikonsultasikan dengan BPH Migas, tapi untuk kuota setahun, pemerintah dan DPR yang bahas," imbuh Tjatur.
Tidak ketinggalan juga poin usulan terkait skema gross split yang dinilai menghambat investasi migas karena ketidakjelasan dalam kepastian hukum. DPR menginginkan agar gross split disebutkan di dalam UU migas kelak.
Ekonom INDEF Berly Martawardaya menuturkan, selama ini gross split tertuang hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), dampaknya ketika pemerintahan berubah, maka peraturannya juga bisa berubah, hal ini membuat investor wait and see.
"Gross split terlalu kaku kategorisasinya, bidding-nya berdasarkan apa, kan split sudah dipatok. Gross split yang bagus itu yang di-bidding, bisa split berapa persen. Jadi itu yang diadu. Sekarang gross split kan sama semua, padahal tingkat kesulitan dan biaya beda-beda," tutur Berly dalam kesempatan yang sama.
"PP berubah, ke depan aja yang berubah. Tapi investor kan lihat sistem yang lebih bagus, mindset itu ada, selama UU belum ada, ya mereka wait and see dulu. Pemerintah kurang memahami sisi pandang KKKS, harus bisa win win," papar Berly.
Lalu bagaimana dengan nasib holding migas kelak?
Menurut Tjatur, hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan dari Kementerian BUMN.
"Pastinya akan berpengaruh ke holding migas, tapi nasibnya nanti bagaimana ya itu biar ditentukan oleh pihak Kementerian BUMN saja," pungkas Tjatur.
Saksikan video gross split di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Sah, Kontraktor Migas Tak Wajib Lagi Pakai Gross Split!
"Usulan dari DPR sudah selesai, sudah diparipurnakan di masa sidang yang lalu, kemudian menunggu amanat Presiden (Ampres) baru kemudian dibahas. Mungkin karena ini mau pemilu jadi tertahan pembahasannya, mudah-mudahan setelah pemilu bisa dikebut," ujar anggota Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy saat dijumpai di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Adapun, beberapa poin yang menjadi usulan dari DPR yakni soal badan usaha khusus (BUK) untuk sektor hulu dan hilir. Di hulu, pemerintah bebas menunjuk siapa saja, misalnya Pertamina. Sementara untuk di hilir, juga bisa siapa pun, asalkan pengawasannya ada di BPH Migas.
"Untuk impor dikonsultasikan dengan BPH Migas, tapi untuk kuota setahun, pemerintah dan DPR yang bahas," imbuh Tjatur.
Tidak ketinggalan juga poin usulan terkait skema gross split yang dinilai menghambat investasi migas karena ketidakjelasan dalam kepastian hukum. DPR menginginkan agar gross split disebutkan di dalam UU migas kelak.
Ekonom INDEF Berly Martawardaya menuturkan, selama ini gross split tertuang hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), dampaknya ketika pemerintahan berubah, maka peraturannya juga bisa berubah, hal ini membuat investor wait and see.
"Gross split terlalu kaku kategorisasinya, bidding-nya berdasarkan apa, kan split sudah dipatok. Gross split yang bagus itu yang di-bidding, bisa split berapa persen. Jadi itu yang diadu. Sekarang gross split kan sama semua, padahal tingkat kesulitan dan biaya beda-beda," tutur Berly dalam kesempatan yang sama.
"PP berubah, ke depan aja yang berubah. Tapi investor kan lihat sistem yang lebih bagus, mindset itu ada, selama UU belum ada, ya mereka wait and see dulu. Pemerintah kurang memahami sisi pandang KKKS, harus bisa win win," papar Berly.
Lalu bagaimana dengan nasib holding migas kelak?
Menurut Tjatur, hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan dari Kementerian BUMN.
"Pastinya akan berpengaruh ke holding migas, tapi nasibnya nanti bagaimana ya itu biar ditentukan oleh pihak Kementerian BUMN saja," pungkas Tjatur.
Saksikan video gross split di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Sah, Kontraktor Migas Tak Wajib Lagi Pakai Gross Split!
Most Popular