
RI Gonta-Ganti Skema Kontrak Migas, Apa Sih Faedahnya?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 January 2020 13:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan fleksibilitas kepada kontraktor migas untuk memilih skema bagi hasil antara gross split atau cost recovery. Kedua skema tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memastikan bahwa investor migas sudah boleh memilih salah satu antara dua skema bagi hasil. "Udah bisa dua" begitu ungkapnya singkat di kantor Kementerian ESDM (10/1/2020).
Sebelum membahas lebih lanjut terkait gross split dan cost recovery, mari ulas terlebih dahulu perbedaan keduanya. Keduanya merupakan skema bagi hasil untuk industri hulu migas terutama terkait produksi migas melalui kontrak kerja sama.
Untuk mengetahui perbedaan mendasar keduanya, mari gunakan analogi pemilik sawah, sawah dan penggarap. Di sini pemilik sawah adalah pemerintah, sawah sendiri adalah ladang minyak dan penggarap lahan berperan sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Dalam mekanisme bagi hasil cost recovery, Pemerintah memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk melakukan aktivitas produksi minyak. Dari produksi tersebut misal 85% diklaim pemerintah sedangkan 15% merupakan hak dari kontraktor ini untuk minyak. Jika kasusnya gas maka pembagiannya 70 : 30 untuk pemerintah dan kontraktor.
Namun dalam skema cost recovery ongkos produksi alias biaya operasional yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diganti oleh negara. Ongkos produksi yang diganti pemerintah dilakukan setelah dipotong bagian yang harus disisihkan (First Tranche Petroleum).
Sekilas, negara mendapat keuntungan besar dari skema bagi hasil ini. Namun tunggu dulu, bagi hasil 85:15 tak seindah yang dibayangkan. Skema cost recovery yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad ini sempat membuat penerimaan negara kecil dan pengeluarannya bengkak.
Sebagai contoh pada 2016, biaya cost recovery US$ 10,4 miliar atau setara dengan Rp 138 triliun, sementara dari segi penerimaan negara hanya Rp 110,4 triliun saja. Ada dugaan penyelewengan terutama dari sisi cost recovery yang membengkak.
Setelah dilakukan audit BPK kala itu, ternyata ada penyimpangan cost recovery di Chevron Pasific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd dan Premier Oil Natuna Sea B.V. Menurut laporan BPK tersebut, ada dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery. Itulah salah satu kelemahan sistem Cost Recovery.
Selain itu, kala cost recovery ini ditawarkan pada 2015 dan 2015 bisa dikatakan tak laku. Perlu diketahui bersama kala itu adalah periode anjloknya harga minyak mentah dunia. Sehingga kegiatan eksplorasi dan produksi atau hulu migas dinilai berisiko tinggi. Sehingga investor lebih berhati-hati dalam menggarap sektor hulu migas. Faktor keekonomisan jadi pertimbangan utama investor untuk menggarap sektor hulu migas.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memastikan bahwa investor migas sudah boleh memilih salah satu antara dua skema bagi hasil. "Udah bisa dua" begitu ungkapnya singkat di kantor Kementerian ESDM (10/1/2020).
Sebelum membahas lebih lanjut terkait gross split dan cost recovery, mari ulas terlebih dahulu perbedaan keduanya. Keduanya merupakan skema bagi hasil untuk industri hulu migas terutama terkait produksi migas melalui kontrak kerja sama.
Dalam mekanisme bagi hasil cost recovery, Pemerintah memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk melakukan aktivitas produksi minyak. Dari produksi tersebut misal 85% diklaim pemerintah sedangkan 15% merupakan hak dari kontraktor ini untuk minyak. Jika kasusnya gas maka pembagiannya 70 : 30 untuk pemerintah dan kontraktor.
Namun dalam skema cost recovery ongkos produksi alias biaya operasional yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diganti oleh negara. Ongkos produksi yang diganti pemerintah dilakukan setelah dipotong bagian yang harus disisihkan (First Tranche Petroleum).
Sekilas, negara mendapat keuntungan besar dari skema bagi hasil ini. Namun tunggu dulu, bagi hasil 85:15 tak seindah yang dibayangkan. Skema cost recovery yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad ini sempat membuat penerimaan negara kecil dan pengeluarannya bengkak.
Sebagai contoh pada 2016, biaya cost recovery US$ 10,4 miliar atau setara dengan Rp 138 triliun, sementara dari segi penerimaan negara hanya Rp 110,4 triliun saja. Ada dugaan penyelewengan terutama dari sisi cost recovery yang membengkak.
Setelah dilakukan audit BPK kala itu, ternyata ada penyimpangan cost recovery di Chevron Pasific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd dan Premier Oil Natuna Sea B.V. Menurut laporan BPK tersebut, ada dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery. Itulah salah satu kelemahan sistem Cost Recovery.
Selain itu, kala cost recovery ini ditawarkan pada 2015 dan 2015 bisa dikatakan tak laku. Perlu diketahui bersama kala itu adalah periode anjloknya harga minyak mentah dunia. Sehingga kegiatan eksplorasi dan produksi atau hulu migas dinilai berisiko tinggi. Sehingga investor lebih berhati-hati dalam menggarap sektor hulu migas. Faktor keekonomisan jadi pertimbangan utama investor untuk menggarap sektor hulu migas.
Pages
Most Popular