RI Gonta-Ganti Skema Kontrak Migas, Apa Sih Faedahnya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 January 2020 13:27
RI Gonta-Ganti Skema Kontrak Migas, Apa Sih Faedahnya?
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan fleksibilitas kepada kontraktor migas untuk memilih skema bagi hasil antara gross split atau cost recovery. Kedua skema tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memastikan bahwa investor migas sudah boleh memilih salah satu antara dua skema bagi hasil. "Udah bisa dua" begitu ungkapnya singkat di kantor Kementerian ESDM (10/1/2020).

Sebelum membahas lebih lanjut terkait gross split dan cost recovery, mari ulas terlebih dahulu perbedaan keduanya. Keduanya merupakan skema bagi hasil untuk industri hulu migas terutama terkait produksi migas melalui kontrak kerja sama.

Untuk mengetahui perbedaan mendasar keduanya, mari gunakan analogi pemilik sawah, sawah dan penggarap. Di sini pemilik sawah adalah pemerintah, sawah sendiri adalah ladang minyak dan penggarap lahan berperan sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Dalam mekanisme bagi hasil cost recovery, Pemerintah memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk melakukan aktivitas produksi minyak. Dari produksi tersebut misal 85% diklaim pemerintah sedangkan 15% merupakan hak dari kontraktor ini untuk minyak. Jika kasusnya gas maka pembagiannya 70 : 30 untuk pemerintah dan kontraktor.

Namun dalam skema cost recovery ongkos produksi alias biaya operasional yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diganti oleh negara. Ongkos produksi yang diganti pemerintah dilakukan setelah dipotong bagian yang harus disisihkan (First Tranche Petroleum).

Sekilas, negara mendapat keuntungan besar dari skema bagi hasil ini. Namun tunggu dulu, bagi hasil 85:15 tak seindah yang dibayangkan. Skema cost recovery yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad ini sempat membuat penerimaan negara kecil dan pengeluarannya bengkak.

Sebagai contoh pada 2016, biaya cost recovery US$ 10,4 miliar atau setara dengan Rp 138 triliun, sementara dari segi penerimaan negara hanya Rp 110,4 triliun saja. Ada dugaan penyelewengan terutama dari sisi cost recovery yang membengkak.

Setelah dilakukan audit BPK kala itu, ternyata ada penyimpangan cost recovery di Chevron Pasific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd dan Premier Oil Natuna Sea B.V. Menurut laporan BPK tersebut, ada dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery. Itulah salah satu kelemahan sistem Cost Recovery.

Selain itu, kala cost recovery ini ditawarkan pada 2015 dan 2015 bisa dikatakan tak laku. Perlu diketahui bersama kala itu adalah periode anjloknya harga minyak mentah dunia. Sehingga kegiatan eksplorasi dan produksi atau hulu migas dinilai berisiko tinggi. Sehingga investor lebih berhati-hati dalam menggarap sektor hulu migas. Faktor keekonomisan jadi pertimbangan utama investor untuk menggarap sektor hulu migas.
Harga minyak yang kala itu anjlok dan menggunakan sistem cost recovery juga harus diperhatikan karena pendapatan negara bisa semakin menipis kala harga anjlok, tetapi biayanya membengkak.



Mengetahui hal tersebut, ketika duet Ignasius Jonan dan Archandra Tahar masuk ke jajaran kabinet, keduanya memperkenalkan skema bagi hasil baru yaitu gross split. Jika menganut sistem gross split yang diperkenalkan pada 2016, pemerintah dan kontraktor mendapat bagian yang hampir sama, tetapi untuk biaya operasional produksi tidak diganti oleh negara.

Mengutip informasi dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase Base Split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor.

Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya.

Skema gross plit memang memiliki keunggulan dibanding cost recovery. Beberapa keuntungan tersebut diantaranya, lebih simpel dan praktis dalam mengambil keputusan, penghematan uang negara, less bureaucratic dan mengurangi kerumitan proses audit.

Namun skema gross split bukan tanpa cela. Menurut Dewan Energi Nasional (DEN) skema gross split ini juga memiliki kelemahan. Hal ini sempat diungkapkan oleh Andang Bachtiar selaku anggota DEN tiga trahun silam. Menurutnya skema gross split memilki potensi kelemahan seperti :
  1. Berkurangnya kontrol negara atas produksi migas dan pengelolaan reservoir migas yang pada gilirannya dapat menurunkan ketahanan energi nasional.
  2. Rencana pemerintah untuk eksplorasi jadi terhambat karena kontraktor-kontraktor gross split akan lebih menekankan efisiensi biaya mengingat beban operasionalnya tak lagi diganti pemerintah
  3. Enhanced Oil Recovery (EOR) berpotensi tak terlaksana karena biaya yang besar dan internal rate of return (IRR) yang kecil.
  4. Pemgembangan SDM, teknologi dan TKDN dan standardisasi susah untuk diimplementasikan karena kurang atau tidak adanya kontrol pemerintah terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi
Memang keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pemerintah yang kini membebaskan skemanya di antara dua itu dianggap lebih fleksibel. Namun yang perlu disoroti adalah bagaimana nasib kontraktor yang sudah teken kerja sama dengan gross split selama ini?

Payung hukum yang jelas harus ada. Sampai saat ini masalah kebijakan masih jadi kendala utama menarik investor untuk menggarap sektor hulu migas tanah air. Indonesia dianggap sebagai negara yang tak menarik untuk investasi migas. Hal ini disampaikan langsung oleh Fraser Institute dalam sebuah laporan hasil survei dan kajiannya.

Menurut penelitian tersebut, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas dalam negeri yang cenderung berubah-ubah.

"Indonesia secara cenderung plin-plan mengenai peraturan pemerintah dan kementerian terkait industri migas, yang mana menurunkan keputusan investasi"

"Sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa"

"Proses regulasi yang tidak pasti dan bias" Seperti yang ditulis di dalam penelitannya.

Itulah yang jadi alasan mengapa investasi di sektor hulu migas RI terus melorot. Hal ini tercermin dari angka realisasi investasi untuk eksploitasi dan eksplorasi yang terus menurun.

Menurut laporan SKK Migas, sejak 2012-2017 investasi untuk aktivitas ekploitasi dan eksplorasi migas terus mengalami penurunan. Untuk aktivitas eksplorasi sendiri pada 2012 realisasinya mencapai US$ 16,5 miliar. Jumlah tersebut turun menjadi US$ 10,1 miliar pada 2017.
Menimbang Untung Rugi Cost Recovery vs Gross SplitSumber : SKK Migas
Tak jauh berbeda dengan aktivitas eksplorasi, realisasi investasi untuk eksplorasi juga mengalami penurunan. Pada 2012 SKK Migas mencatat realisasi eksplorasi mencapai US$ 1,35 miliar dan turun menjadi US$ 200 juta pada 2017.
Menimbang Untung Rugi Cost Recovery vs Gross SplitSumber : SKK Migas
Eksplorasi membutuhkan uang yang tak sedikit dan membutuhkan peranan investor. Untuk mendatangkan investor iklim investasi dalam negeri harus diperbaiki. Regulasi harus jelas dan tidak tumpang tindih maupun kontradiktif, yang lebih penting lagi adalah memberikan kepastian hukum terhadap investor.

Jadi kalau memang investor diperbolehkan memilih di antara dua skema itu, ya buat payung hukumnya. Buat juga koridor dan batasan-batasan jelasnya. Jangan sampai di tengah jalan berubah lagi berubah lagi. Hal ini akan semakin membingungkan investor dan appetite investor untuk garap sektor hulu migas tanah air turun. Ujung-ujungnya bisa buat aktivitas eksplorasi dan produksi migas terhambat. Amit-amit jabang bayi, jangan sampai!





TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular