
RI Gonta-Ganti Skema Kontrak Migas, Apa Sih Faedahnya?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 January 2020 13:27

Harga minyak yang kala itu anjlok dan menggunakan sistem cost recovery juga harus diperhatikan karena pendapatan negara bisa semakin menipis kala harga anjlok, tetapi biayanya membengkak.
Mengetahui hal tersebut, ketika duet Ignasius Jonan dan Archandra Tahar masuk ke jajaran kabinet, keduanya memperkenalkan skema bagi hasil baru yaitu gross split. Jika menganut sistem gross split yang diperkenalkan pada 2016, pemerintah dan kontraktor mendapat bagian yang hampir sama, tetapi untuk biaya operasional produksi tidak diganti oleh negara.
Mengutip informasi dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase Base Split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor.
Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya.
Skema gross plit memang memiliki keunggulan dibanding cost recovery. Beberapa keuntungan tersebut diantaranya, lebih simpel dan praktis dalam mengambil keputusan, penghematan uang negara, less bureaucratic dan mengurangi kerumitan proses audit.
Namun skema gross split bukan tanpa cela. Menurut Dewan Energi Nasional (DEN) skema gross split ini juga memiliki kelemahan. Hal ini sempat diungkapkan oleh Andang Bachtiar selaku anggota DEN tiga trahun silam. Menurutnya skema gross split memilki potensi kelemahan seperti :
Payung hukum yang jelas harus ada. Sampai saat ini masalah kebijakan masih jadi kendala utama menarik investor untuk menggarap sektor hulu migas tanah air. Indonesia dianggap sebagai negara yang tak menarik untuk investasi migas. Hal ini disampaikan langsung oleh Fraser Institute dalam sebuah laporan hasil survei dan kajiannya.
Menurut penelitian tersebut, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas dalam negeri yang cenderung berubah-ubah. "Indonesia secara cenderung plin-plan mengenai peraturan pemerintah dan kementerian terkait industri migas, yang mana menurunkan keputusan investasi" "Sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa" "Proses regulasi yang tidak pasti dan bias" Seperti yang ditulis di dalam penelitannya.
Itulah yang jadi alasan mengapa investasi di sektor hulu migas RI terus melorot. Hal ini tercermin dari angka realisasi investasi untuk eksploitasi dan eksplorasi yang terus menurun.
Menurut laporan SKK Migas, sejak 2012-2017 investasi untuk aktivitas ekploitasi dan eksplorasi migas terus mengalami penurunan. Untuk aktivitas eksplorasi sendiri pada 2012 realisasinya mencapai US$ 16,5 miliar. Jumlah tersebut turun menjadi US$ 10,1 miliar pada 2017.
Tak jauh berbeda dengan aktivitas eksplorasi, realisasi investasi untuk eksplorasi juga mengalami penurunan. Pada 2012 SKK Migas mencatat realisasi eksplorasi mencapai US$ 1,35 miliar dan turun menjadi US$ 200 juta pada 2017.
Eksplorasi membutuhkan uang yang tak sedikit dan membutuhkan peranan investor. Untuk mendatangkan investor iklim investasi dalam negeri harus diperbaiki. Regulasi harus jelas dan tidak tumpang tindih maupun kontradiktif, yang lebih penting lagi adalah memberikan kepastian hukum terhadap investor.
Jadi kalau memang investor diperbolehkan memilih di antara dua skema itu, ya buat payung hukumnya. Buat juga koridor dan batasan-batasan jelasnya. Jangan sampai di tengah jalan berubah lagi berubah lagi. Hal ini akan semakin membingungkan investor dan appetite investor untuk garap sektor hulu migas tanah air turun. Ujung-ujungnya bisa buat aktivitas eksplorasi dan produksi migas terhambat. Amit-amit jabang bayi, jangan sampai!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/gus)
Mengetahui hal tersebut, ketika duet Ignasius Jonan dan Archandra Tahar masuk ke jajaran kabinet, keduanya memperkenalkan skema bagi hasil baru yaitu gross split. Jika menganut sistem gross split yang diperkenalkan pada 2016, pemerintah dan kontraktor mendapat bagian yang hampir sama, tetapi untuk biaya operasional produksi tidak diganti oleh negara.
Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya.
Skema gross plit memang memiliki keunggulan dibanding cost recovery. Beberapa keuntungan tersebut diantaranya, lebih simpel dan praktis dalam mengambil keputusan, penghematan uang negara, less bureaucratic dan mengurangi kerumitan proses audit.
Namun skema gross split bukan tanpa cela. Menurut Dewan Energi Nasional (DEN) skema gross split ini juga memiliki kelemahan. Hal ini sempat diungkapkan oleh Andang Bachtiar selaku anggota DEN tiga trahun silam. Menurutnya skema gross split memilki potensi kelemahan seperti :
- Berkurangnya kontrol negara atas produksi migas dan pengelolaan reservoir migas yang pada gilirannya dapat menurunkan ketahanan energi nasional.
- Rencana pemerintah untuk eksplorasi jadi terhambat karena kontraktor-kontraktor gross split akan lebih menekankan efisiensi biaya mengingat beban operasionalnya tak lagi diganti pemerintah
- Enhanced Oil Recovery (EOR) berpotensi tak terlaksana karena biaya yang besar dan internal rate of return (IRR) yang kecil.
- Pemgembangan SDM, teknologi dan TKDN dan standardisasi susah untuk diimplementasikan karena kurang atau tidak adanya kontrol pemerintah terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi
Payung hukum yang jelas harus ada. Sampai saat ini masalah kebijakan masih jadi kendala utama menarik investor untuk menggarap sektor hulu migas tanah air. Indonesia dianggap sebagai negara yang tak menarik untuk investasi migas. Hal ini disampaikan langsung oleh Fraser Institute dalam sebuah laporan hasil survei dan kajiannya.
Menurut penelitian tersebut, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas dalam negeri yang cenderung berubah-ubah. "Indonesia secara cenderung plin-plan mengenai peraturan pemerintah dan kementerian terkait industri migas, yang mana menurunkan keputusan investasi" "Sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa" "Proses regulasi yang tidak pasti dan bias" Seperti yang ditulis di dalam penelitannya.
Itulah yang jadi alasan mengapa investasi di sektor hulu migas RI terus melorot. Hal ini tercermin dari angka realisasi investasi untuk eksploitasi dan eksplorasi yang terus menurun.
Menurut laporan SKK Migas, sejak 2012-2017 investasi untuk aktivitas ekploitasi dan eksplorasi migas terus mengalami penurunan. Untuk aktivitas eksplorasi sendiri pada 2012 realisasinya mencapai US$ 16,5 miliar. Jumlah tersebut turun menjadi US$ 10,1 miliar pada 2017.
![]() |
![]() |
Jadi kalau memang investor diperbolehkan memilih di antara dua skema itu, ya buat payung hukumnya. Buat juga koridor dan batasan-batasan jelasnya. Jangan sampai di tengah jalan berubah lagi berubah lagi. Hal ini akan semakin membingungkan investor dan appetite investor untuk garap sektor hulu migas tanah air turun. Ujung-ujungnya bisa buat aktivitas eksplorasi dan produksi migas terhambat. Amit-amit jabang bayi, jangan sampai!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/gus)
Pages
Most Popular