
Australia Terapkan Anti Dumping, Ekspor Kertas RI Anjlok 40%
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
20 December 2018 15:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Australia menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) hingga 33% terhadap impor produk kertas A4 asal Indonesia. Kebijakan itu berlaku sejak 20 April 2017. Atas hal ini, Indonesia akhirnya menggugat Australia via WTO dalam kasus DS529: Australia Anti-Dumping Measures on A4 Copy Paper.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menjelaskan, pengenaan BMAD itu mengakibatkan turunnya kuantitas ekspor produk kertas RI ke Australia yang berdampak pada penurunan nilai ekspor.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, nilai ekspor kertas A4 ke Australia anjlok 42,56% dari tahun 2016 sebesar US$ 34,34 juta menjadi US$ 19,72 juta di 2017.
Dalam periode Januari-September tahun ini, nilai ekspor tersebut bahkan hanya mencapai US$ 9,47 juta, alias kembali turun drastis hingga 36,8% secara year-on-year (yoy). Padahal, dalam medio 2013-2016 ekspor kertas A4 ke Negeri Kanguru tumbuh positif 23,22%.
"Justifikasi yang digunakan Australia untuk menuduhkan dumping kepada kertas Indonesia kami anggap tidak benar," kata Liana kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/12/2018).
Liana menerangkan, industri kertas RI dituduh telah menerima bantuan dari pemerintah melalui beragam kebijakan, salah satunya pelarangan ekspor kayu bulat yang disebut Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk subsidi dari negara
Australia sendiri menganggap kebijakan itu telah menimbulkan kondisi pasar khusus (particular market situation/PMS) yang akhirnya mendistorsi harga bubur kertas (pulp) sebagai bahan baku produksi.
"Padahal kenyataannya, kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk mengatasi illegal logging yang banyak terjadi di Tanah Air, bukan sebagai bentuk subsidi yang menguntungkan industri pulp dan kertas. Jadi, tuduhan-tuduhan tersebut tidak benar adanya," jelas Liana.
Liana mengimbau industri kertas nasional untuk tidak takut dan terus maju melanjutkan kasus ini ke WTO untuk melakukan pembuktian. Ini karena tuduhan dumping ini dapat menghambat akses pasar di berbagai negara tujuan ekspor.
"Ke depannya, pemerintah diharap lebih berhati-hati sebelum membuat kebijakan agar tidak lagi digugat dengan tuduhan-tuduhan yang merugikan industri dalam negeri," imbuhnya.
(miq/miq) Next Article RI Menang Lawan Australia 'Tempur' Soal Kertas di WTO
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menjelaskan, pengenaan BMAD itu mengakibatkan turunnya kuantitas ekspor produk kertas RI ke Australia yang berdampak pada penurunan nilai ekspor.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, nilai ekspor kertas A4 ke Australia anjlok 42,56% dari tahun 2016 sebesar US$ 34,34 juta menjadi US$ 19,72 juta di 2017.
"Justifikasi yang digunakan Australia untuk menuduhkan dumping kepada kertas Indonesia kami anggap tidak benar," kata Liana kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/12/2018).
Liana menerangkan, industri kertas RI dituduh telah menerima bantuan dari pemerintah melalui beragam kebijakan, salah satunya pelarangan ekspor kayu bulat yang disebut Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk subsidi dari negara
Australia sendiri menganggap kebijakan itu telah menimbulkan kondisi pasar khusus (particular market situation/PMS) yang akhirnya mendistorsi harga bubur kertas (pulp) sebagai bahan baku produksi.
"Padahal kenyataannya, kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk mengatasi illegal logging yang banyak terjadi di Tanah Air, bukan sebagai bentuk subsidi yang menguntungkan industri pulp dan kertas. Jadi, tuduhan-tuduhan tersebut tidak benar adanya," jelas Liana.
Liana mengimbau industri kertas nasional untuk tidak takut dan terus maju melanjutkan kasus ini ke WTO untuk melakukan pembuktian. Ini karena tuduhan dumping ini dapat menghambat akses pasar di berbagai negara tujuan ekspor.
"Ke depannya, pemerintah diharap lebih berhati-hati sebelum membuat kebijakan agar tidak lagi digugat dengan tuduhan-tuduhan yang merugikan industri dalam negeri," imbuhnya.
(miq/miq) Next Article RI Menang Lawan Australia 'Tempur' Soal Kertas di WTO
Most Popular