Akuisisi Freeport Rp 56 T, Inalum Jamin Keuangan Tetap Aman

Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
20 December 2018 12:07
Mampukah Inalum membayar kupon untuk obligasi yang diterbitkan dalam pendanaan akuisisi Freeport?
Foto: Penandatanganan Sales & Purchase Agreement antara PT Inalum, PT Freeport-McMoRan Inc dan PT Rio Tinto Indonesia (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kembalinya PT Freeport Indonesia ke pangkuan Ibu Pertiwi hanya menghitung waktu. Kabar beredar penandatanganan akuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia bisa dilakukan sore ini atau besok.

Biaya akuisisi Freeport mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (pada kurs Rp 14.500) dan merupakan akuisisi terbesar yang pernah dilakukan perusahaan pelat negara selama Indonesia berdiri dan merupakan akusisi terbesar ke-6 di Asia Tenggara dalam 10 tahun terakhir.

Untuk membiayai akuisisi ini, holding BUMN tambang PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pun telah menerbitkan obligasi valuta asing (global bond) senilai US$ 4 miliar. Ini bukan hanya obligasi valas pertama Inalum, tetapi juga yang terbesar yang pernah diterbitkan oleh BUMN.

Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 5 tahun dan paling panjang 30 tahun. Kupon obligasi ini ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991%. Kesuksesan ini membuat pembiayaan akuisisi PTFI bukan menjadi isu lagi.

Namun, pertanyaan baru muncul di pelaku pasar. Mampukah Inalum membayar kupon untuk obligasi tersebut? Bagaimana kondisi keuangan Inalum setelah adanya obligasi tersebut?

Berdasarkan data Inalum, beban keuangan yang harus dikeluarkan untuk pembayaran kupon global bond tersebut rata-rata adalah Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.

Sementara itu, pendapatan Inalum konsolidasi yang mencakup seluruh kinerja perusahaan tambang negara pada 2018 diprediksi menyentuh Rp 58,2 triliun, atau meningkat 23,36% dari posisi 2017 Rp 47,18 triliun. Dengan pencapaian pendapatan Inalum pada Semester I-2018 sebesar Rp 29,85 triliun, maka lebih dari 50% target proforma telah tercapai.

Secara konsolidasi, selain menghasilkan EBITDA yang lebih raksasa, Rp 9,03 triliun pada Semester I-2018, profitabilitas keuangan perusahaan juga terlihat semakin moncer. Sementara laba bersih holding BUMN tambang mencapai Rp 5,43 triliun dengan motor utama Inalum dengan perolehan Rp 4,67 triliun.

Pendapatan tersebut berperan dalam peningkatan EBITDA yang diprediksi mencapai Rp 17,72 triliun pada 2018, meningkat 41% dibandingkan dengan 2017 sebesar Rp 12,57 triliun.

Sementara itu, EBITDA pada semester I-2018 mencapai Rp 9,04 triliun, sekitar 51% dari target proforma. EBITDA margin holding tambang pun meningkat ke level 30,4% dari posisi akhir 2017 sebesar 26,6%.

Dengan kondisi tersebut, maka rasio EBITDA Inalum terhadap beban bunga (EBITDA/EV) berada pada 3,78 kali. Artinya pendapatan yang dihasilkan Inalum dalam 1 tahun mampu untuk membayar seluruh bunga untuk durasi 3 tahun 9 bulan.

DSCR Inalum pada level 3,5 kali cukup sehat karena utang yang diterima juga digunakan untuk ekspansi usaha, yakni akuisisi PTFI. Pada akhirnya, aksi korporasi ini akan mendatangkan laba bagi Inalum sehingga menambah EBITDA.



Perhitungan di atas mencerminkan Inalum memiliki kemampuan untuk membayar kupon obligasi valas US$ 4 miliar ataupun beban keuangan lainnya. Yang harus pula diperhitungkan bahwa Inalum secara konsolidasi memiliki kekuatan kas dan setara kas Rp 20,89 triliun pada Semester I-2018.

Ini menjadi modal bagi Inalum untuk tidak ketergantungan terhadap pembayaran deviden dari anak usaha, baik PTBA, Antam, Timah, dan PTFI, dalam membayar kupon jangka pendek.

[Gambas:Video CNBC]


(dob/gus) Next Article Terungkap, Ini 3 Program Inalum Usai Sukses Rebut Freeport

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular