Pengamat: PLN Rugi Rp 18 T Bukan karena Kurs

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
05 November 2018 16:07
Menurut pengamat PLN bukan merugi akibat kurs, tapi lebih karena BBM
Foto: Istimewa/Warta PLN/pln.co.id
Jakarta, CNBC Indonesia- PT PLN (Persero) mencatat kerugian sebesar Rp 18,48 triliun untuk kinerja kuartal III tahun ini. Kerugian itu terjadi karena terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan naiknya harga bahan bakar (komoditas).

Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka menjelaskan, pembukuan selisih atau rugi kurs ini disebabkan adanya keharusan perusahaan untuk melaporkan kinerja keuangan dalam mata uang rupiah.



Sehingga, lanjut Made, meskipun sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10-30 tahun mendatang, berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan maka pinjaman Valas tersebut harus diterjemahkan (kurs) kedalam mata uang Rupiah.

"Hal ini lah yang memunculkan adanya pembukuan rugi selisih kurs yang belum jatuh tempo (unrealised loss) sebesar Rp 17,33 triliun. Itu artinya kalau pinjaman valas itu jatuh tempo hari ini. Tapi kan kenyataannya, utang valas jangka waktunya lebih dari 20 tahun," terang Made kepada CNBC Indonesia saat dihubungi, Rabu (31/10/2018).

Kendati demikian, menurut pengamat energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi, klaim unrealised lost tersebut sebetulnya membingungkan, karena pada dasarnya, unrealised lost dibukukan untuk utang di tiga bulan terakhir di tahun itu.

"Saya agak tidak mengerti karena itu dilihat dari ketentuan akuntansi bagian mana sehingga bisa dibilang unrealised lost. Sebab, unrealised lost itu hanya bisa dibukukan selama tahun tersebut, Jadi kalau itu unrealised lost, harusnya untuk tiga bulan terakhir, Oktober-Desember," terang Elrika kepada media saat dijumpai di Jakarta, Senin (5/11/2018).

"Karena, laporan keuangan itu kan untuk satu tahun, jadi tidak bisa dia klaim kalau itu unrealised list karena ada pinjaman untuk 20 tahun ke depan yang dibukukan di depan," tambahnya.

Jadi, lanjut Elrika, sebenarnya, kerugian Rp 17-18 triliun tersebut utamanya datang dari pembelian BBm dan gas, yang harganya lagi tinggi. Untuk gas, meski ada cap harga, tetapi harganya pun masih tinggi. Plus, kalau dilihat, adanya Independent Power Producer (IPP) pun kontraknya dalam dolar AS. 

"Nah itu yang jadi kerugiannya ya, dari pembangkit dan bahan bakar," ujar Elrika.

Elrika juga menilai, kinerja keuangan dipastikan akan terus merugi sampai akhir tahun, jika melihat bahwa beban yang dibukukan naik lebih banyak dibanding kenaikan pendapatannya.

"Jadi sebenarnya, tetap akan merugi kinerja keuangannya," pungkasnya.

Sebelumnya, kinerja PLN tahun ini berbalik dengan tahun lalu, di mana perseroan bisa mencetak laba bersih Rp 3,05 triliun. Berdasar laporan keuangan yang dipublikasikan di situs Bursa Efek Indonesia, kerugian dipicu kenaikan beban usaha 12%. 

Beban terbesar masih berasal dari beban bahan bakar dan pelumas yang naik dari Rp 85,28 triliun menjadi Rp 101,88 triliun. PLN juga menderita pembengkakan kerugian karena selisih kurs. Jika pada kuartal III-2017 rugi dari selisih kurs mencapai Rp 2,23 triliun, maka pada kuartal III-2018 menjadi Rp 17,33 triliun.

Adapun, Kepala Divisi Pengadaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi PLN Chairani Rachmatullah, sempat mengungkapkan betapa sensitifnya harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap keuangan perusahaan listrik tersebut. 

Ia membeberkan setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100/US$, maka beban PLN bertambah Rp 1,2 triliun. Sementara jika setiap kenaikan harga minyak (ICP) US$ 1 per barel, maka beban keuangan yang ditanggung oleh BUMN setrum ini bertambah Rp 268 miliar.

Sebagai gambarannya, berarti jika ICP sebesar US$ 70 per barel, dengan harga gas yang dibeli PLN dari produsen sebesar 14,5% (sesuai dengan Permen ESDM 45/2017), maka harga gas yang dibeli yakni US$ 1,62 per mmbtu. Adapun, jika ICP menyentuh US$ 100 per barel, berarti harga gas yang dibeli PLN menjadi US$ 2,48 per mmbtu.

Sedangkan, untuk Tarif Dasar Listrik (TDL) tegangan rendah (TR) saat ini masih tetap yakni Rp 1.467,28 per kilo watt hour (kwh). Tarif ini tidak berubah hingga akhir tahun ini. Ini akan berdampak pada keuangan perusahaan. 

Adapun, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional untuk 2017 tercatat Rp 1.025 per kwh. Chairani menilai, baru beberapa provinsi saja yang BPP-nya sudah di bawah BPP nasional, misalnya provinsi yang ada di Jawa dan Bali. Sementara di luar Jawa seperti Aceh dan Kalimantan Timur masih memiliki BPP yang lebih tinggi dari nasional tahun ini.
(gus) Next Article PLN Rugi Rp 10 T Akibat Libur Panjang Lebaran

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular