
Menlu AS Sindir Rencana Uni Eropa Hindari Sanksi Iran
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
27 September 2018 21:01

Washington DC, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo melontarkan kritikan tajam kepada Uni Eropa (UE). Kritikan itu terkait rencana UE dan negara lain yang tersisa dalam kesepakatan nuklir membangun mekanisme demi menghindari sanksi dari AS.
Berbicara kepada United Against a Nuclear Iran selama pertemuan Majelis Umum PBB, Rabu (26/9/2018), Pompeo mengaku terganggu dan kecewa dengan keputusan UE menciptakan special purpose vehicle/SPV). Tujuannya agar UE tetap bisa berbisnis dengan Iran.
Intinya, SPV didesain sehingga memungkinkan perdagangan dengan Iran menggunakan mata uang euro. Kendati begitu, mekanisme yang diumumkan bersama-sama dengan Rusia dan China itu masih membutuhkan perincian teknis.
"Ini adalah salah satu langkah paling kontraproduktif untuk perdamaian dan keamanan kawasan serta global," ujar Pompeo seperti dilansir CNBC International, Kamis (27/9/2018).
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini mengumumkan SPV awal pekan ini. Pengumuman itu muncul terlebih dahulu ketimbang sanksi kedua AS untuk menekan sektor perminyakan Iran. Sanksi itu akan berlaku mulai 4 November nanti.
Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton turut mencibir langkah UE. Ia juga mempertanyakan kelaikan rencana tersebut.
"Uni Eropa kuat dalam hal retorika dan lemah dalam mengikutinya. Kami tidak berniat membiarkan sanksi kami dihindari oleh Eropa atau siapapun." kata Bolton.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Teheran setelah keluar dari kesepakatan nuklir Iran, Mei lalu. Kesepakatan yang dinegosiasikan di bawah pemerintahan Obama itu ditandatangani oleh AS, Iran, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia dan China pada 2015.
Dengan kesepakatan itu, Iran harus membatasi program nuklir supaya sanksi-sanksi negeri itu dicabut. Trump menyebut kesepakatan itu sebagai "kesepakatan terburuk yang pernah ada".
Mogherini mengatakan perincian teknis SPV akan dikerjakan para pakar dalam pertemuan selanjutnya. Akan tetapi, lanjut dia, negara anggota UE akan menetapkan entitas hukum guna memfasilitasi transaksi keuangan yang sah dengan Iran.
Hal itu memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa terus berdagang dengan republik Islam itu.
Rial, mata uang Iran, berada di level terendah di tengah pemberlakukan sanksi. Ini karena ratusan bisnis yang sebelumnya berencana mengakses pasar Iran harus banting setir.
Para analis memprediksi antara 500 ribu hingga satu juta barel minyak per hari bisa terpangkas dari pasar. Sebab, penghasil minyak mentah terbesar ketiga di antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak itu kehilangan konsumen.
Presiden Iran Hassan Rouhani menuduh pemerintahan Trump mengupayakan perubahan rezim. Sebab, Trump mendesak Iran untuk berdiskusi dan menyepakati kesepakatan lebih luas.
Sebagian besar pakar meragukan keberlangsungan mekanisme keuangan itu. Hal itu terutama karena kemampuan sanksi kedua AS, di mana para peserta SPV sebenarnya tidak akan terisolasi.
Jikapun mereka terisolasi, AS akan menyesuaikan cakupan sanksi. Negeri Paman Sam bahkan berpotensi mendesain SPV-nya sendiri meskipun secara politik berisiko.
"Untuk saat ini, kemungkinan entitas UE tidak akan melihat model ini sebagai penawaran perlindungan berarti dari dampak sanksi kedua AS," ujar Senior Director at Dechert LLP's International Trade and EU Law practice Roger Matthews kepada CNBC International, Rabu (26/9/2018).
(miq/miq) Next Article Mau Lengser Bukannya Tobat, Trump Bombardir Sanksi ke Iran
Berbicara kepada United Against a Nuclear Iran selama pertemuan Majelis Umum PBB, Rabu (26/9/2018), Pompeo mengaku terganggu dan kecewa dengan keputusan UE menciptakan special purpose vehicle/SPV). Tujuannya agar UE tetap bisa berbisnis dengan Iran.
Intinya, SPV didesain sehingga memungkinkan perdagangan dengan Iran menggunakan mata uang euro. Kendati begitu, mekanisme yang diumumkan bersama-sama dengan Rusia dan China itu masih membutuhkan perincian teknis.
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini mengumumkan SPV awal pekan ini. Pengumuman itu muncul terlebih dahulu ketimbang sanksi kedua AS untuk menekan sektor perminyakan Iran. Sanksi itu akan berlaku mulai 4 November nanti.
Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton turut mencibir langkah UE. Ia juga mempertanyakan kelaikan rencana tersebut.
"Uni Eropa kuat dalam hal retorika dan lemah dalam mengikutinya. Kami tidak berniat membiarkan sanksi kami dihindari oleh Eropa atau siapapun." kata Bolton.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Teheran setelah keluar dari kesepakatan nuklir Iran, Mei lalu. Kesepakatan yang dinegosiasikan di bawah pemerintahan Obama itu ditandatangani oleh AS, Iran, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia dan China pada 2015.
Mogherini mengatakan perincian teknis SPV akan dikerjakan para pakar dalam pertemuan selanjutnya. Akan tetapi, lanjut dia, negara anggota UE akan menetapkan entitas hukum guna memfasilitasi transaksi keuangan yang sah dengan Iran.
Hal itu memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa terus berdagang dengan republik Islam itu.
Rial, mata uang Iran, berada di level terendah di tengah pemberlakukan sanksi. Ini karena ratusan bisnis yang sebelumnya berencana mengakses pasar Iran harus banting setir.
Para analis memprediksi antara 500 ribu hingga satu juta barel minyak per hari bisa terpangkas dari pasar. Sebab, penghasil minyak mentah terbesar ketiga di antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak itu kehilangan konsumen.
Presiden Iran Hassan Rouhani menuduh pemerintahan Trump mengupayakan perubahan rezim. Sebab, Trump mendesak Iran untuk berdiskusi dan menyepakati kesepakatan lebih luas.
Sebagian besar pakar meragukan keberlangsungan mekanisme keuangan itu. Hal itu terutama karena kemampuan sanksi kedua AS, di mana para peserta SPV sebenarnya tidak akan terisolasi.
Jikapun mereka terisolasi, AS akan menyesuaikan cakupan sanksi. Negeri Paman Sam bahkan berpotensi mendesain SPV-nya sendiri meskipun secara politik berisiko.
"Untuk saat ini, kemungkinan entitas UE tidak akan melihat model ini sebagai penawaran perlindungan berarti dari dampak sanksi kedua AS," ujar Senior Director at Dechert LLP's International Trade and EU Law practice Roger Matthews kepada CNBC International, Rabu (26/9/2018).
(miq/miq) Next Article Mau Lengser Bukannya Tobat, Trump Bombardir Sanksi ke Iran
Most Popular