Rusia-OPEC Tahan Kenaikan Produksi, Reli Harga Minyak Lanjut!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 September 2018 11:09
Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 tercatat naik 0,22% ke level US$81,38/barel hingga pukul 10.40 WIB
Foto: REUTERS/Lucas Jackson/
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 tercatat naik 0,22% ke level US$81,38/barel hingga pukul 10.40 WIB, pada perdagangan hari Senin (24/9/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 juga naik 0,19% ke level US$72,22/barel.

Kemarin, untuk pertama kalinya harga brent menembus level psikologis US$80/barel sejak November 2014. Hari ini nampaknya reli harga komoditas energi utama dunia ini masih berlanjut, meski lajunya tidak sekencang perdagangan kemarin.

BACA: Pertama Kali Sejak 2014, Harga Minyak Tembus US$80/barel!

Faktor yang mendorong penguatan harga sang emas hitam masih datang dari pelaku pasar yang masih mengkhawatirkan pasokan minyak yang seret menjelang berlakunya sanksi AS terhadap Iran.

Di sisi lain, aliansi Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia malah belum menyepakati kerangka kenaikan produksi untuk menambal kekurangan pasokan dari Iran.




Sanksi Amerika Serikat (AS) kepada Negeri Persia akan menyasar sektor perminyakan pada awal November mendatang. JP Morgan mengekspektasikan sanksi bagi Teheran dapat mengakibatkan hilangnya pasokan minyak global sebesar 1,5 juta barel/hari.

Sementara itu, para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia bertemu di Aljazair pada akhir pekan lalu. Dalam rapat tersebut, tidak ada kesepakatan formal untuk menambah suplai minyak.

Keputusan OPEC-Rusia itu seolah-olah tidak mengindahkan kritikan Presiden AS Donald Trump terhadap OPEC pada pekan lalu. Seperti diketahui, sebelumnya mantan taipan properti itu menekan OPEC untuk segera menurunkan harga minyak.

"Saya tidak bisa memengaruhi harga," ujar Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. Sebagai informasi, Arab Saudi adalah pemimpin OPEC secara de facto.

Menurut al-Falih, Arab Saudi punya kapasitas untuk menambah produksi tetapi belum dibutuhkan saat ini bahkan sampai tahun depan. Pasalnya, kenaikan produksi di negara-negara non-OPEC dinilai sudah memadai untuk memasok kebutuhan dunia.

"Pasar sudah terpasok dengan baik. Saya tidak melihat ada kilang yang membutuhkan tambahan minyak dan tidak bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, potensi (kenaikan produksi pada 2019) sangat kecil kecuali ada perubahan besar di suplai dan permintaan," jelas al-Falih.

Hal senada juga diutarakan oleh Menteri Energi Rusia Alaxander Novak. Novak berpendapat bahwa kenaikan produksi secara tiba-tiba belum diperlukan, meskipun dia percaya bahwa perang dagang AS-China sekaligus sanksi AS pada Iran merupakan tantangan baru bagi pasar minyak global.

"Permintaan minyak akan menurun pada kuartal IV tahun ini, dan kuartal I tahun depan. Sejauh ini, kita memutuskan untuk tetap berpegang pada kesepakatan Juni," ujar Novak, seperti dikutip dari Reuters.

Sebagai catatan, OPEC dan Rusia sepakat pada akhir 2016 untuk memangkas pasokan sekitar 1,8 juta barel/hari, dengan tujuan mengerek harga minyak dunia yang sedang loyo. Dua tahun setelahnya, pemangkasan produksi pun terjadi. Bahkan lebih banyak dari apa yang disepakati, sebagian besar karena penurunan dari Venezuela dan Libya. Hal ini lantas berhasil melambungkan kembali harga sang emas hitam.

Akan tetapi, pada Juni tahun ini, OPEC-Rusia setuju untuk menaikkan produksi dengan mengembalikan tingkat pemangkasan produksi ke angka 100% (atau sesuai kesepakatan pada akhir 2016). Kesepakatan itu diperkirakan setara dengan penambahan produksi sebesar 1 juta barel/hari.  Sayangnya, sejauh ini data produksi belum mencerminkan penambahan sebesar itu.

Merespon sikap OPEC-Rusia, pelaku pasar lantas membaca bahwa ada potensi kekurangan pasokan karena tidak ada kenaikan produksi. Berkurangnya pasokan tentu membuat harga minyak terkerek ke atas.

Terlebih, seretnya pasokan juga mulai terindikasi di AS. Dalam sepekan hingga tanggal 14 September, cadangan minyak Negeri Paman Sam turun 2,1 juta barel menjadi 394,1 juta barel. Cadangan minyak AS mencapai titik terendah sejak Februari 2015.

Sementara itu, level produksi minyak mentah Negeri Adidaya masih stabil di rekor 11 juta barel/hari. Akan tetapi, aktivitas pengeboran minyak AS saat ini menunjukkan adanya perlambatan produksi dalam beberapa waktu ke depan.  

(RHG/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular