Internasional
'Trump Bukan Penyebab Perang Dagang AS-China'
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
17 September 2018 14:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Memanasnya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan terjadi dengan atau tanpa Presiden AS Donald Trump, kata para pakar di Singapore Summit pada hari Sabtu (15/9/2018).
Meskipun cara "gila" presiden AS sudah memperburuk keadaan, dia hanyalah gejala dari perkembangan dunia yang mempercepat munculnya ketegangan itu, bukan penyebabnya. Hal tersebut diutarakan oleh Dani Rodrik, seorang profesor di Harvard University.
"Menurut saya kita seharusnya tidak melebih-lebihkan pentingnya Trump," kata Rodrik, yang menjabat sebagai profesor ekonomi politik internasional di John F Kennedy School of Government di Harvard, dilansir dari CNBC International.
"Menurut saya Trump itu gejala dan bukan penyebab. Entah Trump presiden AS atau bukan, dengan banyak cara kita akan menghadapi tensi semacam ini," katanya, merujuk pada masalah struktural di perekonomian dunia dan kompetisi antara peningkatan perekonomian dan pengaruh politik.
"Terdapat reaksi meluas terhadap bentuk kebijakan ekonomi yang kita gapai selama seperempat abad terakhir."
"Sayangnya, Trump tidak mempermudah kita karena cara gila yang dilakukannya," tambah Rodrik.
Dia berkata di atas semua itu Trump memiliki "insting", tetapi sayangnya dia tidak memiliki strategi jangka panjang.
Beberapa contoh dari "insting dasarnya" adalah "ekspor itu baik, impor itu buruk," kata Rodrik. "Apapun yang baik untuk saya pasti buruk Anda, dan begitu pula sebaliknya," tambahnya.
"Di sisi lain, dia bukanlah tipe orang yang meneruskan, dia bisa dengan mudah dialihkan," pungkasnya.
AS dan China terlibat di dalam perang dagang dengan menerapkan tarif impor terhadap satu sama lain. Dalam tindakan Trump yang terbaru, kabarnya dia setuju untuk menjatuhkan bea masuk baru terhadap produk impor China senilai US$200 miliar (Rp 2.978 triliun) yang bisa diterapkan secepatnya pekan ini.
George Yeo, mantan Menteri Luar Negeri Singapura, dalam konferensi itu mengatakan "cerita besarnya" di sini adalah kebangkitan China. Perang Dagang adalah suatu manifestasi di dalam ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun, tambahnya.
Terdapat kekhawatiran yang meningkat di AS tentang kebangkitan China, kata Yeo yang saat ini menjabat sebagai Direktur perusahaan logistic Kerry Logistics Network. Dia merujuk pada bagaimana Kepala Strategis Gedung Putih Steve Bannon mengatakan yang sedang terjadi adalah "perang ekonomi" bukannya "perang dagang".
"Bagi Peter Navarro, ini adalah Kematian oleh China," tambah Yeo, merujuk pada penasihat dagang Trump sekaligus kritikus tajam Negeri Tirai Bambu yang menulis buku berjudul "Death by China".
"Tidaklah sulit untuk perang ekonomi berubah menjadi perang politik kemudian jadi perang sungguhan," katanya.
Kedua negara adikuasa perlu mencari sebuah bentuk "akomodasi" di dunia dengan berbagai kutub ini, kata Rodrik. China mungkin mengatakan bahwa pihaknya mengetahui cara mengelola perekonomian mereka, dan Barat perlu memahami perekonomian terbesar di Asia itu memiliki model ekonominya sendiri.
"Di sisi lain, menurut saya China perlu memahami bahwa negara itu menjadi penumpang gratis dari sistem yang diciptakan oleh AS, di bidang keterbukaan, dan negara itu akan menyediakan sejumlah ruang kebijakan untuk Eropa dan Amerika juga," katanya. Dia menambahkan bahwa ini akan menjadi sebuah contoh "hidup berdampingan yang damai".
"China memainkan permainan panjang," kata Rodrick, dan pertanyaannya adalah bagaimana dunia bisa mengakomodasi pengaruh baru semacam itu.
"Saya memandang Trump sungguh sebagai fenomena sementara, ada isu-isu yang lebih dalam," pungkasnya.
(prm) Next Article Koper sampai Lampu, Ini 9 Produk China Korban Perang Dagang
Meskipun cara "gila" presiden AS sudah memperburuk keadaan, dia hanyalah gejala dari perkembangan dunia yang mempercepat munculnya ketegangan itu, bukan penyebabnya. Hal tersebut diutarakan oleh Dani Rodrik, seorang profesor di Harvard University.
"Menurut saya kita seharusnya tidak melebih-lebihkan pentingnya Trump," kata Rodrik, yang menjabat sebagai profesor ekonomi politik internasional di John F Kennedy School of Government di Harvard, dilansir dari CNBC International.
"Terdapat reaksi meluas terhadap bentuk kebijakan ekonomi yang kita gapai selama seperempat abad terakhir."
"Sayangnya, Trump tidak mempermudah kita karena cara gila yang dilakukannya," tambah Rodrik.
Dia berkata di atas semua itu Trump memiliki "insting", tetapi sayangnya dia tidak memiliki strategi jangka panjang.
![]() |
Beberapa contoh dari "insting dasarnya" adalah "ekspor itu baik, impor itu buruk," kata Rodrik. "Apapun yang baik untuk saya pasti buruk Anda, dan begitu pula sebaliknya," tambahnya.
"Di sisi lain, dia bukanlah tipe orang yang meneruskan, dia bisa dengan mudah dialihkan," pungkasnya.
AS dan China terlibat di dalam perang dagang dengan menerapkan tarif impor terhadap satu sama lain. Dalam tindakan Trump yang terbaru, kabarnya dia setuju untuk menjatuhkan bea masuk baru terhadap produk impor China senilai US$200 miliar (Rp 2.978 triliun) yang bisa diterapkan secepatnya pekan ini.
George Yeo, mantan Menteri Luar Negeri Singapura, dalam konferensi itu mengatakan "cerita besarnya" di sini adalah kebangkitan China. Perang Dagang adalah suatu manifestasi di dalam ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun, tambahnya.
Terdapat kekhawatiran yang meningkat di AS tentang kebangkitan China, kata Yeo yang saat ini menjabat sebagai Direktur perusahaan logistic Kerry Logistics Network. Dia merujuk pada bagaimana Kepala Strategis Gedung Putih Steve Bannon mengatakan yang sedang terjadi adalah "perang ekonomi" bukannya "perang dagang".
"Bagi Peter Navarro, ini adalah Kematian oleh China," tambah Yeo, merujuk pada penasihat dagang Trump sekaligus kritikus tajam Negeri Tirai Bambu yang menulis buku berjudul "Death by China".
"Tidaklah sulit untuk perang ekonomi berubah menjadi perang politik kemudian jadi perang sungguhan," katanya.
Kedua negara adikuasa perlu mencari sebuah bentuk "akomodasi" di dunia dengan berbagai kutub ini, kata Rodrik. China mungkin mengatakan bahwa pihaknya mengetahui cara mengelola perekonomian mereka, dan Barat perlu memahami perekonomian terbesar di Asia itu memiliki model ekonominya sendiri.
"Di sisi lain, menurut saya China perlu memahami bahwa negara itu menjadi penumpang gratis dari sistem yang diciptakan oleh AS, di bidang keterbukaan, dan negara itu akan menyediakan sejumlah ruang kebijakan untuk Eropa dan Amerika juga," katanya. Dia menambahkan bahwa ini akan menjadi sebuah contoh "hidup berdampingan yang damai".
"China memainkan permainan panjang," kata Rodrick, dan pertanyaannya adalah bagaimana dunia bisa mengakomodasi pengaruh baru semacam itu.
"Saya memandang Trump sungguh sebagai fenomena sementara, ada isu-isu yang lebih dalam," pungkasnya.
(prm) Next Article Koper sampai Lampu, Ini 9 Produk China Korban Perang Dagang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular