Internasional
Perang Dagang, Industri China Berjuang Memperpanjang Napas
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
27 August 2018 17:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Mark Wang, pemilik pabrik di China, mengatakan bea masuk yang dikenakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat usahanya berada dalam ketidakpastian.
Pengusaha yang telah bergerak dalam industri oleh-oleh 20 tahun terakhir itu menerima sepucuk surat di awal Agustus dari pelanggan terbesarnya yang merupakan peritel besar AS. Peritel tersebut meminta untuk membagi biaya 10% dari bea masuk yang dikenakan oleh pemerintahan Trump.
"10% itu terlalu tinggi," kata Wang yang menyesalkan kebijakan ini. "Terlalu banyak untuk dapat kami serap."
Wang bersikeras untuk tidak disebutkan nama perusahaannya atas pertimbangan bisnis. Perusahaan yang bermarkas di kota industri Dongguan adalah salah satu pabrik dari banyaknya usaha di kota China selatan. Usaha ini telah menjadi tulang punggung ekspor tradisional negara itu.
Selama bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan besar AS, seperti Apple dan Walmart, telah mengandalkan pemasok China untuk membuat produk dan mengisi rak-rak toko mereka. Tetapi dengan meningkatnya biaya di China, banyak pabrikan yang berjuang untuk bertahan dan bea masuk hanya menambah beban.
Biaya tenaga kerja dan bahan bakunya naik sebanyak 15% dari tahun lalu. Bea masuk Trump akan mempengaruhi lebih dari separuh dari hasil penjualannya, kata Wang kepada CNBC International.
Dalam rangka berjuang untuk bertahan, Wang mengubah pasar utama bisnisnya dari AS dan mencari pelanggan baru di Eropa, Australia, dan Timur Tengah. Ia juga menghentikan produk dengan margin rendah dan mengurangi penjualan yang ditujukan untuk AS.
"Kami perlu mengecilkan volume produksi dan fokus pada hal terbaik yang dapat kami lakukan," katanya. "Jika tidak, kita tidak bisa bertahan hidup."
Baru-baru ini, upaya pemerintah dalam memberikan pendanaan secara langsung ke perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang bermasalah, juga tidak membantu, kata Wang. Pemilik pabrik itu juga mengatakan telah mempertimbangkan untuk meminjam uang, tetapi bank hanya akan meminjamkan kepada perusahaan dengan US$7,3 juta (Rp 106 miliar) atau lebih dari modal terdaftar.
Wang meneliti pindahnya produksi dari China ke negara-negara yang lebih murah seperti Vietnam. Namun, karena seluruh bahan baku dan pemasok dekat dengannya di China, dia memutuskan bahwa itu tidak akan masuk akal secara finansial. Di sekitar kantornya saja, ada 20 usaha sejenis dengan perusahaannya.
Wang percaya bahwa perang dagang akan bertahan lama jika Trump masih berkuasa dan sekarang ia khawatir tentang ancaman Trump yang menghukum barang-barang China senilai US$200 miliar, karena produknya juga bisa termasuk dalam daftar.
Bea masuk yang lebih besar dapat merusak hubungan pemasok China terhadap pelanggan dan harga keseluruhan untuk konsumen AS.
"Kami tidak dapat menyelesaikan pesanan yang tidak menghasilkan uang," kata Wang. "Kami tidak ingin bunuh diri dengan tetap fokus di pasar AS".
(prm) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Pengusaha yang telah bergerak dalam industri oleh-oleh 20 tahun terakhir itu menerima sepucuk surat di awal Agustus dari pelanggan terbesarnya yang merupakan peritel besar AS. Peritel tersebut meminta untuk membagi biaya 10% dari bea masuk yang dikenakan oleh pemerintahan Trump.
"10% itu terlalu tinggi," kata Wang yang menyesalkan kebijakan ini. "Terlalu banyak untuk dapat kami serap."
Wang bersikeras untuk tidak disebutkan nama perusahaannya atas pertimbangan bisnis. Perusahaan yang bermarkas di kota industri Dongguan adalah salah satu pabrik dari banyaknya usaha di kota China selatan. Usaha ini telah menjadi tulang punggung ekspor tradisional negara itu.
Biaya tenaga kerja dan bahan bakunya naik sebanyak 15% dari tahun lalu. Bea masuk Trump akan mempengaruhi lebih dari separuh dari hasil penjualannya, kata Wang kepada CNBC International.
Dalam rangka berjuang untuk bertahan, Wang mengubah pasar utama bisnisnya dari AS dan mencari pelanggan baru di Eropa, Australia, dan Timur Tengah. Ia juga menghentikan produk dengan margin rendah dan mengurangi penjualan yang ditujukan untuk AS.
"Kami perlu mengecilkan volume produksi dan fokus pada hal terbaik yang dapat kami lakukan," katanya. "Jika tidak, kita tidak bisa bertahan hidup."
Baru-baru ini, upaya pemerintah dalam memberikan pendanaan secara langsung ke perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang bermasalah, juga tidak membantu, kata Wang. Pemilik pabrik itu juga mengatakan telah mempertimbangkan untuk meminjam uang, tetapi bank hanya akan meminjamkan kepada perusahaan dengan US$7,3 juta (Rp 106 miliar) atau lebih dari modal terdaftar.
Wang meneliti pindahnya produksi dari China ke negara-negara yang lebih murah seperti Vietnam. Namun, karena seluruh bahan baku dan pemasok dekat dengannya di China, dia memutuskan bahwa itu tidak akan masuk akal secara finansial. Di sekitar kantornya saja, ada 20 usaha sejenis dengan perusahaannya.
Wang percaya bahwa perang dagang akan bertahan lama jika Trump masih berkuasa dan sekarang ia khawatir tentang ancaman Trump yang menghukum barang-barang China senilai US$200 miliar, karena produknya juga bisa termasuk dalam daftar.
Bea masuk yang lebih besar dapat merusak hubungan pemasok China terhadap pelanggan dan harga keseluruhan untuk konsumen AS.
"Kami tidak dapat menyelesaikan pesanan yang tidak menghasilkan uang," kata Wang. "Kami tidak ingin bunuh diri dengan tetap fokus di pasar AS".
(prm) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular